Opini
Erdogan, Sang Juru Selamat Eropa?

Hanya keanggotaan penuh Turki di Uni Eropa yang bisa menyelamatkan Eropa dari kehancuran, begitu kata Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Dengan penuh percaya diri, ia menyatakan bahwa Turki adalah “garis hidup” bagi ekonomi, politik, dan pertahanan Uni Eropa. Sebuah pernyataan luar biasa dari seorang pemimpin yang negaranya sedang berjuang melawan inflasi meroket, depresiasi mata uang, dan krisis sosial berkepanjangan.
Erdogan tampaknya lupa atau sengaja melupakan bahwa Turki sendiri sedang dalam kondisi genting. Inflasi di Turki sudah mencapai level yang cukup untuk membuat masyarakat berpikir dua kali sebelum membeli sepotong roti. Lira, mata uang kebanggaannya, tak ubahnya permen karet yang terus kehilangan rasa. Namun, entah bagaimana, ia masih percaya bahwa Turki bisa menyelamatkan Eropa.
Kepada siapa sebenarnya Erdogan berbicara? Apakah kepada pemimpin Uni Eropa yang jelas-jelas menolak Turki masuk Uni Eropa sejak 2016? Ataukah kepada rakyatnya sendiri yang semakin frustrasi dengan kenaikan harga dan ketidakpastian ekonomi? Kemungkinan besar, ini hanyalah retorika murahan untuk menyelamatkan citranya yang semakin memudar di dalam negeri.
Uni Eropa mungkin sedang mengalami berbagai masalah, tetapi tidak ada indikasi bahwa mereka membutuhkan “keajaiban ekonomi” dari Turki. Blok ini masih memiliki ekonomi terbesar di dunia, dengan Jerman, Prancis, dan Italia sebagai pemain utama. Jika ada yang butuh penyelamatan, itu bukanlah Eropa, melainkan Turki sendiri yang semakin terjerumus ke dalam krisis.
Ketika Erdogan berbicara tentang liberalisme di Eropa yang sedang runtuh, mungkin ia sebaiknya bercermin. Turki di bawah kekuasaannya telah mengalami penurunan demokrasi yang signifikan, dengan kebebasan pers dan hak-hak sipil semakin tergerus. Tetapi, dalam gaya khasnya, Erdogan tetap berusaha menempatkan diri sebagai pemimpin visioner yang melihat masalah dunia lebih baik daripada orang lain.
Yang paling ironis adalah bagaimana ia memperingatkan tentang meningkatnya Islamofobia dan gerakan sayap kanan di Eropa. Bukankah ia sendiri yang menggunakan narasi nasionalis dan Islamis untuk menggalang dukungan politik? Dengan menuding Eropa, ia berharap rakyat Turki melupakan bahwa minoritas di negaranya juga menghadapi diskriminasi yang tak kalah parah.
Dalam pidatonya, Erdogan juga menyebut bahwa Turki bisa menjadi “lifeline” bagi ekonomi Eropa yang menua. Ini seperti seorang pasien yang sedang sekarat menawarkan donor organ kepada orang yang sehat. Ekonomi Türkiye tengah berada dalam kekacauan, dengan kebijakan moneter yang tidak menentu dan intervensi pemerintah yang justru memperparah situasi. Investor asing pun semakin ragu untuk menanamkan modal di Turki.
Jika Uni Eropa benar-benar menganggap Turki sebagai penyelamat, mengapa mereka justru semakin menjauh? Sejak 2016, negosiasi keanggotaan Turki telah dibekukan, dengan alasan bahwa negara ini semakin melenceng dari standar demokrasi dan hak asasi manusia. Bahkan, beberapa negara anggota telah secara terbuka menyatakan bahwa Turki lebih cocok untuk tetap berada di luar Uni Eropa.
Namun, Erdogan tetap berkeras bahwa Turki memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Eropa. Mungkin yang ia maksud adalah politik otoriter yang semakin mengakar, atau kebijakan ekonomi yang tidak menentu. Atau mungkin juga ia berbicara tentang kemampuannya dalam menciptakan narasi besar tanpa dasar yang jelas. Dalam hal ini, ia memang jenius.
Erdogan tahu betul bahwa retorika seperti ini masih bisa dijual di dalam negeri. Dengan membangun citra Turki sebagai pemain global yang dihormati, ia berusaha menutupi realitas pahit yang sedang dihadapi rakyatnya. Sayangnya, dunia luar tidak begitu mudah tertipu oleh permainan ini. Uni Eropa sudah melihat terlalu banyak drama dari Erdogan.
Jadi, apakah Turki benar-benar bisa menyelamatkan Eropa? Ataukah ini hanya mimpi seorang pemimpin yang sedang mencari cara untuk tetap relevan? Jawabannya sudah jelas bagi siapa pun yang melihat realitas ekonomi dan politik Turki saat ini. Jika ada yang perlu diselamatkan, itu bukanlah Eropa, melainkan Erdogan sendiri yang semakin kehilangan pijakan.