Connect with us

Opini

Erdogan Ketakutan: Dari Boikot Rakyat ke Ancaman Besar

Published

on

Presiden Recep Tayyip Erdogan tampaknya sedang mengalami alergi terhadap demokrasi. Seperti orang yang baru tersadar dari mimpi buruk, ia kini bergerak cepat, menangkapi lawan-lawan politiknya, menuduh mereka sebagai teroris, dan melabeli protes rakyat sebagai “teror jalanan.” Semua ini terjadi setelah ia dibuat gerah oleh gerakan boikot yang semakin meluas. Panik? Tentu saja. Bahkan, mungkin untuk pertama kalinya, Erdogan benar-benar ketakutan.

Seperti seorang raja yang kaget karena rakyatnya tiba-tiba enggan membayar upeti, Erdogan menatap dengan ngeri saat bisnis-bisnis pro-pemerintah mulai dijauhi oleh konsumen. Buku-buku tidak terbeli, kopi tak tersentuh, toko-toko yang dulunya ramai kini sunyi seperti makam. Apa yang dilakukan Erdogan? Tentu saja, ia tidak akan introspeksi atau bertanya mengapa rakyatnya marah. Sebaliknya, ia menuduh oposisi berkonspirasi menghancurkan ekonomi negara. Logika yang khas dari seorang otokrat yang lupa bahwa ekonomi berjalan atas kepercayaan, bukan ketakutan.

Setiap rezim otoriter memiliki kebiasaannya masing-masing. Beberapa memilih menyebarkan propaganda besar-besaran, sementara yang lain lebih suka menciptakan musuh di mana-mana. Erdogan tampaknya memilih keduanya. Boikot yang dilakukan oleh rakyat adalah reaksi alami terhadap kebijakan represifnya, tetapi dalam versinya, ini adalah konspirasi jahat yang bertujuan menghancurkan Turki dari dalam. Hanya ada satu masalah dengan narasi ini: yang melancarkan boikot bukanlah aktor asing, bukan pula dalang rahasia dari negeri jauh, melainkan rakyatnya sendiri.

Ketika penangkapan Imamoglu diumumkan, publik bereaksi dengan cara yang tak diduga oleh rezim. Mereka turun ke jalan, meskipun tahu akan berhadapan dengan gas air mata dan pentungan polisi. Mereka melawan bukan karena terprovokasi oleh siapa pun, tetapi karena muak dengan kebohongan yang dipertontonkan Erdogan selama bertahun-tahun. Imamoglu, yang secara politik telah tiga kali mengalahkan AKP di Istanbul, kini dipaksa masuk dalam pusaran hukum yang dibuat untuk melenyapkannya dari peta politik. Metode klasik dari seorang pemimpin yang tidak lagi percaya diri menghadapi pemilu secara adil.

Erdogan tak hanya berhenti di situ. Ia memberikan peringatan keras bahwa siapa pun yang mencoba merusak ekonomi akan dihadapkan ke pengadilan. Seolah-olah rakyat yang enggan membeli kopi dari bisnis pro-rezim adalah pengkhianat bangsa. Ini adalah pernyataan paling ironis yang keluar dari seorang presiden yang selama bertahun-tahun telah membuat keputusan ekonomi yang membawa Turki ke jurang inflasi dan melemahnya lira. Jika ada yang seharusnya diadili karena merusak ekonomi, bukankah Erdogan sendiri kandidat paling kuat?

Kemudian datanglah ancaman “bom besar.” Erdogan menyebut bahwa masih ada kejutan yang belum diumumkan. Ini bukan sekadar ucapan kosong; sejarah membuktikan bahwa Erdogan tidak pernah mengancam tanpa benar-benar melaksanakan sesuatu yang drastis. Jika ada yang masih ragu, cukup ingat bagaimana ia menggunakan kudeta gagal 2016 sebagai alasan untuk menangkap ribuan orang. Pembersihan besar-besaran bisa saja terjadi lagi, dan targetnya jelas: siapa pun yang berani melawan narasi tunggal yang ia ciptakan.

Tentu saja, setiap diktator memiliki batasnya. Tidak peduli seberapa besar kontrolnya atas negara, tidak ada pemimpin yang bisa selamanya menghindari konsekuensi dari kebijakan represifnya sendiri. Erdogan mungkin bisa menangkap Imamoglu, bisa membungkam jurnalis, dan bisa membubarkan protes, tetapi ia tidak bisa mengendalikan ketidakpuasan yang membara di hati rakyat. Apakah ia benar-benar berpikir bahwa menangkapi 1.400 orang akan menghentikan gerakan ini? Justru sebaliknya, tindakan ini hanya akan memperkuat tekad mereka.

Lucunya, di tengah semua ini, Erdogan masih berusaha meyakinkan dunia bahwa situasi di Turki sepenuhnya terkendali. Seorang pejabat dari pemerintahannya bahkan menyatakan bahwa “otoritas dan aparat keamanan menunjukkan pengendalian diri yang luar biasa.” Tentu saja, pengendalian diri ini termasuk menangkap jurnalis yang sekadar melaporkan fakta dan memborbardir mahasiswa dengan tuduhan terorisme. Jika ini yang disebut pengendalian diri, kita bisa membayangkan bagaimana jadinya jika pemerintah benar-benar marah.

Di dunia internasional, reaksi terhadap krisis ini beragam. Amerika Serikat tampaknya masih mencoba bermain di dua sisi. Sementara Menteri Luar Negeri Marco Rubio menyatakan keprihatinannya atas penangkapan oposisi, Trump justru menyebut Erdogan sebagai “pemimpin yang baik.” Ini bukan pertama kalinya AS bersikap ambigu terhadap Turki. Bagaimanapun, selama Erdogan masih bisa memberi keuntungan bagi kepentingan geopolitik Barat, pelanggaran demokrasi di Turki tampaknya hanya akan dipandang sebagai “urusan domestik.”

Namun, ada satu hal yang Erdogan sepertinya lupa: rakyat Turki bukanlah massa yang bisa dipermainkan selamanya. Jika protes ini terus berkembang, jika gerakan boikot semakin luas, dan jika tekanan internasional semakin besar, ia mungkin akan menemui akhir yang tidak menyenangkan. Sejarah telah menunjukkan bahwa pemimpin otoriter sering kali jatuh bukan karena kekuatan asing, tetapi karena rakyatnya sendiri yang akhirnya mengatakan “cukup sudah.”

Jika Erdogan benar-benar percaya bahwa rakyat masih mendukungnya, mengapa ia begitu panik? Mengapa ia perlu menangkap oposisi, membubarkan protes, dan mengancam dengan “bom besar”? Jika kekuasaannya begitu kokoh, seharusnya ia bisa membiarkan rakyat memilih pemimpin mereka sendiri tanpa intervensi. Tapi di sinilah letak masalahnya—Erdogan tahu bahwa dalam pemilu yang adil, ia mungkin tidak akan menang. Itulah sebabnya ia memilih jalur represi, jalur ketakutan, jalur di mana oposisi harus dihancurkan sebelum mereka bahkan bisa mencapai kotak suara.

Pada akhirnya, setiap rezim otoriter memiliki titik balik. Ada momen di mana tindakan represif justru mempercepat kejatuhan mereka. Erdogan mungkin berpikir bahwa dengan menangkap lebih banyak orang, ia bisa meredam gelombang perlawanan. Namun, seperti yang telah terbukti dalam sejarah, semakin besar tekanan yang diberikan pada rakyat, semakin besar pula dorongan untuk melawan. Erdogan bisa menangkap orang, tapi ia tidak bisa menangkap gagasan tentang demokrasi yang kini telah tumbuh subur di benak rakyat Turki.

Jadi, Erdogan mungkin bisa terus mengancam dengan “bom besar,” tetapi ia seharusnya mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia sedang membangun stabilitas atau justru mempercepat kehancurannya sendiri?

 

Sumber:

https://www.turkishminute.com/2025/03/26/erdogan-vows-legal-action-against-economic-sabotage-amid-boycott-of-pro-govt-businesses/

https://www.turkishminute.com/2025/03/25/investigation-launched-into-turkish-education-union-following-academic-boycott-call/

https://www.turkishminute.com/2025/03/26/turkey-detains-nearly-1500-in-a-week-of-protests-over-istanbul-may1ors-detention/

https://english.almayadeen.net/news/politics/situation-in-turkey-under-control–protests-doomed-to-fail

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *