Opini
Erdogan: Kekuasaan Pribadi atau Masa Depan Turki?

Laporan dari Turkish Minute pada 5 April 2025 mengungkap bahwa Partai Rakyat Republik (CHP) mengadakan kongres darurat menyusul penangkapan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, sorotan kembali tertuju pada dinamika politik Turki. Penangkapan Imamoglu pada 19 Maret 2025, yang diikuti oleh tuduhan korupsi dan suap, memicu protes besar-besaran, termasuk demonstrasi dua juta orang pada 29 Maret, seperti dilaporkan Al Mayadeen. Namun, di balik retorika stabilitas, tindakan pemerintah Erdogan menunjukkan pola yang lebih mengarah pada pelestarian kekuasaan ketimbang visi untuk Turki.
Pemerintah Turki, yang dipimpin oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) sejak 2002, memiliki keunggulan besar dengan kontrol atas alat negara. Turkish Minute mencatat bahwa investigasi terhadap CHP atas dugaan suap di kongres November 2023 bisa menjadi alasan untuk menunjuk pengurus pengadilan, sebuah taktik yang sebelumnya digunakan terhadap wali kota pro-Kurdi. Penangkapan Imamoglu, figur populer yang menang di Istanbul pada 2019 dan 2024, tampak sebagai langkah strategis untuk menyingkirkan ancaman politik utama.
Imamoglu bukan sembarang politisi. Dilaporkan oleh Al Mayadeen, ia resmi dicalonkan sebagai kandidat presiden CHP pada 23 Maret 2025, hari yang sama ia dipenjara. Kemenangannya di Istanbul, kota terbesar dan pusat ekonomi Turki, telah menjadikannya simbol harapan bagi oposisi. Penangkapannya, yang dikritik oleh kelompok hak asasi dan pengamat internasional sebagai motif politik, menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus menetralkan rival ketimbang membiarkan kompetisi demokratis demi masa depan negara.
Sejarah Erdogan memperkuat argumen ini. Sejak referendum 2017 yang mengubah Turki menjadi sistem presidensial, ia telah mengkonsolidasi kekuasaan secara sistematis. Menurut Freedom House, indeks kebebasan Turki merosot dari 38 pada 2013 menjadi 32 pada 2023 (skala 100), mencerminkan penurunan kebebasan pers dan independensi yudisial. Penangkapan Imamoglu dan tekanan pada CHP hanyalah bab terbaru dalam pola penindasan oposisi yang telah berlangsung selama dua dekade.
Protes massal yang dilaporkan Al Mayadeen—dengan lebih dari dua juta orang turun ke jalan—menunjukkan ketidakpuasan rakyat yang mendalam. CHP, di bawah Özgür Özel, menggelar aksi “Kebebasan untuk Imamoglu” mingguan, menuntut pemilu dini. Namun, pemerintah merespons dengan penahanan puluhan demonstran dan investigasi terhadap mereka yang menyerukan boikot ekonomi, seperti disebutkan dalam laporan. Ini bukan tanda pemerintahan yang percaya diri pada visi masa depan Turki, melainkan reaksi defensif untuk mempertahankan status quo.
Di panggung internasional, hubungan Turki dengan Uni Eropa (UE) juga mencerminkan prioritas kekuasaan Erdogan. Al Mayadeen melaporkan pernyataan Özel bahwa Erdogan menjauhkan Turki dari Eropa, ditandai dengan pembatalan kunjungan pejabat UE setelah penangkapan Imamoglu. Meski demikian, Politico pada 2025 mengungkap bahwa UE tetap mengalirkan miliaran euro—termasuk €9 miliar untuk pengungsi dan potensi €800 miliar untuk pertahanan—karena ketergantungan strategis pada Turki di bidang migrasi dan energi.
Ketergantungan ini memberi Erdogan ruang untuk bertindak tanpa tekanan berarti. Dimitar Bechev, dosen Universitas Oxford, dalam Politico, menyatakan bahwa UE akan “mengikuti” apa pun yang dilakukan Erdogan karena situasinya “tidak cukup parah” untuk tindakan tegas. Meskipun Dewan Eropa mengirim misi pencari fakta dan UE mengkritik “kemunduran demokrasi,” dana terus mengalir. Ini menunjukkan bahwa Erdogan memanfaatkan posisi geopolitik Turki untuk melindungi kekuasaannya, bukan untuk mempercepat reformasi demokratis.
Data ekonomi juga mendukung argumen ini. Menurut Bank Dunia, perdagangan Turki-UE mencapai lebih dari €200 miliar per tahun pada 2024, sementara peran Turki sebagai pusat energi meningkat sejak perang Ukraina 2022. Namun, di dalam negeri, inflasi melonjak ke 61,78% pada 2023 (data resmi Turki), dan kemiskinan meningkat. Jika fokusnya adalah masa depan Turki, mengapa sumber daya negara dan dukungan UE tidak diarahkan untuk mengatasi krisis ini ketimbang menekan oposisi?
Kritik terhadap Erdogan bukan berarti ia tak punya pencapaian. Infrastruktur berkembang, dan Turki menjadi pemain regional yang disegani. Namun, laporan Turkish Minute tentang penggunaan trustee dan penangkapan politik menunjukkan bahwa pencapaian ini sering kali menjadi alat untuk memperkuat narasi kekuasaan, bukan kesejahteraan rakyat. Imamoglu, dengan popularitasnya, bisa membawa visi alternatif—tapi ia dipenjara, bukan diberi panggung untuk bersaing secara adil.
Pemerintah mungkin berdalih bahwa tindakan mereka menjaga stabilitas di tengah tantangan global. Namun, stabilitas yang dibangun dengan mengorbankan demokrasi—seperti kebebasan memilih pemimpin melalui pemilu yang adil—hanya menguntungkan rezim yang ada, bukan rakyat Turki. Penelitian oleh Varieties of Democracy (V-Dem) pada 2024 menempatkan Turki pada peringkat 152 dari 179 negara dalam indeks demokrasi liberal, turun drastis dari posisi 100 pada 2010.
Bandingkan dengan CHP, partai yang didirikan Mustafa Kemal Atatürk, yang meski tak sempurna, secara historis memperjuangkan sekularisme dan parlementerisme. Kongres darurat mereka pada 6 April 2025, seperti dilaporkan Turkish Minute, adalah upaya untuk melawan intervensi pemerintah. Sementara itu, Erdogan tampak lebih tertarik memastikan AKP tetap berkuasa ketimbang membiarkan rakyat menentukan masa depan Turki melalui proses demokratis yang bebas.
Pola ini terlihat jelas dalam kasus lain. Menurut Human Rights Watch, lebih dari 50.000 orang ditahan pasca-kudeta gagal 2016, banyak di antaranya tanpa bukti kuat. Penutupan ratusan media dan penangkapan jurnalis—seperti 47 kasus pada 2023 menurut Reporters Without Borders—juga menunjukkan bahwa prioritas Erdogan adalah kontrol informasi, bukan diskusi terbuka yang bisa membentuk masa depan Turki yang lebih baik.
Lalu, apa artinya ini bagi Turki? Jika pemerintah benar-benar berjuang untuk masa depan negara, mereka akan membiarkan oposisi seperti Imamoglu bersaing dalam pemilu yang adil, bukan memenjarakannya dengan tuduhan yang dipertanyakan. Mereka akan menggunakan €9 miliar dari UE untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan hanya mengelola pengungsi demi kepentingan geopolitik. Tapi yang kita lihat adalah pola penindasan yang sistematis untuk menghilangkan ancaman politik.
Narasi resmi mungkin menyebut ini sebagai “kebutuhan stabilitas.” Namun, stabilitas tanpa demokrasi hanyalah stagnasi yang menguntungkan penguasa. Protes dua juta orang di Istanbul, sebagaimana dilaporkan Al Mayadeen, adalah bukti bahwa rakyat Turki menginginkan lebih dari sekadar kelangsungan kekuasaan satu orang atau satu partai. Mereka menginginkan suara mereka didengar, bukan dibungkam demi ambisi Erdogan.
Pada akhirnya, laporan-laporan ini—dari Turkish Minute, Al Mayadeen, hingga Politico—menunjukkan bahwa pemerintah Erdogan lebih fokus pada masa depan kekuasaannya sendiri. Dengan alat negara di tangan, mereka mampu menekan oposisi dan memanfaatkan posisi strategis Turki untuk menghindari tekanan internasional. Tapi masa depan Turki yang sejati—yang inklusif, demokratis, dan sejahtera—terlihat semakin jauh di bawah bayang-bayang ambisi politik yang sempit ini.
Sumber: