Opini
Erdogan: Diktator Berkedok Pemilu, Oposisi Dibungkam!

Istanbul kembali bergolak. Udara malam yang dingin tak mampu meredam panasnya amarah ribuan orang yang turun ke jalan, meneriakkan nama Ekrem Imamoglu, wali kota yang ditangkap dalam sebuah penggerebekan absurd di tengah malam. Sekitar seratus orang lainnya ikut dijaring, mulai dari pejabat kota, jurnalis, hingga seniman, dalam operasi yang lebih mirip penyisiran oposisi ketimbang penegakan hukum. Begini cara kerja seorang diktator elektoral: menggelar pemilu untuk menciptakan ilusi demokrasi, lalu menghancurkan lawannya dengan cara-cara yang bahkan Orde Baru akan malu menirunya.
Setiap rezim otoriter selalu punya alasan ketika menekan oposisi. Imamoglu dituduh terlibat korupsi, memimpin organisasi kriminal, bahkan berhubungan dengan PKK—tuduhan lama yang selalu jadi senjata andalan Erdogan ketika ingin menyingkirkan musuhnya. Ini bukan pertama kali skenario semacam ini dimainkan. Sejak kekuasaannya dimulai, Erdogan telah memenjarakan ratusan jurnalis, membungkam media, serta mengendalikan lembaga hukum dan militer. Demokrasi di Turki bukan sekadar cacat, ia telah dibunuh dan dikuburkan dengan pemakaman mewah bernama pemilu.
Pisau analisis Andreas Schedler tentang electoral authoritarianism membantu kita memahami keajaiban Erdogan: seorang pemimpin yang mempertahankan demokrasi tanpa harus benar-benar bersikap demokratis. Pemilu tetap ada, tetapi hanya sebagai formalitas. Partai oposisi boleh eksis, tetapi keberadaannya lebih seperti boneka yang harus siap dipukul kapan saja. Imamoglu, sebagai ancaman nyata bagi Erdogan, harus disingkirkan dengan cara apa pun. Tidak peduli betapa besarnya dukungan rakyat kepadanya, kekuasaan harus tetap berada dalam genggaman orang yang menganggap dirinya penentu nasib Turki.
Apa yang terjadi di Turki sekarang bukanlah sebuah keanehan, melainkan kelanjutan dari pola yang sudah dimulai sejak lama. Kita masih ingat bagaimana Erdogan menghadapi demonstrasi besar di Gezi Park pada 2013. Saat itu, pemuda-pemuda Turki berdiri tegak, menolak rencana pemerintah mengubah taman kota menjadi pusat perbelanjaan. Apa respons Erdogan? Gas air mata, pentungan, dan penangkapan massal. Demonstrasi itu tidak hanya dipadamkan secara brutal, tetapi juga menjadi pelajaran bagi siapa pun yang mencoba menantang kekuasaan. Sejak saat itu, oposisi dipukul mundur, satu per satu.
Steven Levitsky dan Lucan Way dalam teorinya tentang competitive authoritarianism menjelaskan bagaimana sebuah negara bisa terlihat demokratis tetapi pada dasarnya otoriter. Erdogan telah menciptakan sistem di mana pemilu ada, tetapi semua jalur kemenangan bagi oposisi telah disumbat. Imamoglu memenangkan Istanbul dalam pemilu yang adil, tetapi tetap saja dicari-cari kesalahannya. Jika ia dibiarkan bebas, bukan tidak mungkin rakyat akan memilihnya dalam pemilu 2028, dan itu adalah mimpi buruk bagi Erdogan. Maka, lebih baik menghancurkan musuh sekarang sebelum ia menjadi terlalu besar untuk dilawan.
Turki juga pernah menyaksikan upaya kudeta pada 2016, yang diduga didalangi oleh Fethullah Gulen. Apakah itu benar-benar upaya kudeta atau justru skenario yang dimainkan Erdogan untuk mengamankan kekuasaannya? Hingga kini, perdebatan itu masih berlangsung. Yang jelas, setelah peristiwa itu, Erdogan semakin menggila. Ribuan tentara dan pegawai negeri ditangkap, media yang tersisa semakin dipersempit ruang geraknya, dan kebebasan sipil dikorbankan atas nama stabilitas. Oposisi tidak boleh hanya dikalahkan—mereka harus dihancurkan.
Namun, seberapa kuat Erdogan bisa terus bertahan? Rezim otoriter punya batasnya, dan kekuasaan yang dibangun di atas ketakutan tak akan bertahan selamanya. Pisau analisis tentang stabilitas dan keruntuhan rezim otoriter menunjukkan bahwa ada empat faktor yang menentukan masa depan Erdogan: legitimasi, koalisi elit, ekonomi, dan gerakan sosial. Erdogan masih didukung oleh basis Islamis dan nasionalis, tetapi retakan mulai terlihat. Mantan loyalisnya seperti Ali Babacan dan Ahmet Davutoglu telah meninggalkannya. Jika perpecahan ini semakin dalam, pertahanan Erdogan bisa mulai runtuh dari dalam.
Ekonomi adalah ancaman terbesar bagi Erdogan saat ini. Mata uang lira terus anjlok, inflasi melambung, dan rakyat mulai merasakan dampaknya secara nyata. Seorang pemimpin bisa memenjarakan oposisi, mengendalikan media, bahkan membungkam kritik, tetapi ia tidak bisa memerintahkan harga roti agar tetap murah. Jika ekonomi semakin memburuk, gelombang ketidakpuasan bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya daripada sekadar demonstrasi. Erdogan mungkin bisa membungkam Imamoglu, tetapi bisakah ia membungkam kelaparan?
Demonstrasi yang kini mengguncang Istanbul mungkin tidak akan langsung menggulingkan Erdogan. Ia telah menghadapi hal serupa sebelumnya dan selalu menang. Namun, kali ini situasinya berbeda. Imamoglu bukan hanya lawan politik biasa; ia adalah simbol perlawanan bagi mereka yang masih percaya bahwa Turki bisa diselamatkan dari cengkeraman otoritarianisme. Jika gerakan ini terus berkembang, jika rakyat semakin kehilangan kesabaran, maka Erdogan harus mulai waspada.
Sejarah telah menunjukkan bahwa tidak ada diktator yang abadi. Setiap pemimpin yang mencoba mengendalikan segalanya dengan tangan besi pada akhirnya akan menemui titik kehancurannya. Erdogan mungkin berpikir bahwa ia bisa menghindari nasib yang menimpa banyak pemimpin otoriter lainnya. Ia mungkin percaya bahwa dengan menekan oposisi, mengontrol media, dan mengatur pemilu, ia bisa terus berkuasa selamanya. Tapi sejarah tidak pernah berpihak pada mereka yang terlalu percaya diri.
Ketika Gezi Park bergejolak pada 2013, banyak yang berpikir bahwa itu adalah awal dari akhir Erdogan. Tapi ia bertahan. Ketika kudeta 2016 terjadi, banyak yang berharap bahwa itu adalah titik balik. Tapi ia justru semakin kuat. Sekarang, dengan Imamoglu ditangkap dan demonstrasi kembali pecah, pertanyaannya adalah: apakah kali ini berbeda? Erdogan mungkin masih memiliki banyak trik di tangannya, tetapi satu hal yang pasti: semakin besar tekanan yang ia berikan kepada rakyatnya, semakin besar pula kemungkinan bahwa suatu hari nanti, rakyat akan membalasnya.
*Referensi:
- Ruling party, ally defend legality of Erdoğan rival’s detention
- Journalist detained in Gezi Park protest investigation
- 2 other mayors, journalists, businessmen among detainees in probe targeting İmamoğlu
- ‘Living in a dictatorship’: İstanbul mayor’s detention sparks anger
- İmamoğlu: İstanbul’s powerful mayor and Erdoğan’s biggest rival
- Turkey moving at ‘full speed towards a complete authoritarian state’