Opini
Erdogan di Ujung Tanduk: Akankah Ia Bertahan?

Ratusan ribu orang turun ke jalan di Istanbul, berteriak menentang seorang pria yang namanya sudah tertulis dalam sejarah Turki modern—Recep Tayyip Erdogan. Mereka menggoyang pagar, mengacungkan poster Imamoglu, melawan gas air mata dan peluru karet. Polisi memblokade jalan, pemerintah menutup akses internet, dan Erdogan, seperti biasa, muncul di layar televisi sambil menuduh semua ini sebagai ulah teroris. Sebuah pemandangan yang mengingatkan kita bahwa di Turki, demokrasi adalah permainan bagi yang mengendalikan aturan.
Bukan pertama kalinya Erdogan menghadapi gelombang protes besar. Dari Gezi Park 2013 hingga unjuk rasa setelah kudeta 2016, jalanan Turki telah menjadi saksi dari kemarahan rakyat yang selalu berujung pada satu kesimpulan: Erdogan tetap berdiri, tak tergoyahkan. Sekarang, dengan penangkapan Imamoglu, dunia kembali bertanya—apakah kali ini akan berbeda? Apakah sang sultan modern akhirnya akan tersungkur? Jawabannya, sayangnya, kemungkinan besar tidak. Erdogan bukan sekadar pemain, ia adalah arsitek permainan.
Salah satu alasan utama mengapa Erdogan selalu selamat dari badai politik adalah karena Turki bukan lagi demokrasi dalam arti sebenarnya. Menurut teori Otoritarianisme Kompetitif yang dikemukakan Levitsky dan Way, sistem seperti Turki mengadakan pemilu, tetapi dengan aturan yang sudah dimanipulasi untuk memastikan kemenangan petahana. Erdogan telah menancapkan kukunya dalam setiap aspek institusi negara—dari peradilan, militer, hingga media. Oposisi boleh berteriak, tapi Erdogan yang memegang palu keadilan.
Jika ada satu hal yang dipahami Erdogan lebih baik daripada siapa pun, itu adalah cara menggunakan hukum sebagai senjata. Lihat saja bagaimana Imamoglu, wali kota Istanbul yang menjadi ancaman serius bagi Erdogan, dituduh melakukan korupsi dan berafiliasi dengan organisasi teroris. Tuduhan yang tidak memerlukan bukti kuat, cukup dengan hakim dan jaksa yang siap menerima telepon dari Ankara. Ini adalah strategi lama yang digunakan oleh para pemimpin otoriter, dari Putin di Rusia hingga Maduro di Venezuela.
Lebih jauh, keberhasilan Erdogan dalam bertahan dari berbagai gelombang demonstrasi juga dapat dijelaskan melalui teori Ketahanan Rezim Otoriter dari Andrew Nathan. Rezim otoriter yang berhasil bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi, dan Erdogan adalah juaranya. Ketika ekonomi mulai runtuh, ia mengalihkan perhatian rakyat dengan operasi militer di Suriah atau menargetkan musuh bersama—baik itu kaum sekuler, orang Kurdi, atau “agen asing”. Ketika ada kritik terhadap sistem pemilu, ia cukup memperbarui aturan dan membungkam pers agar suara-suara sumbang tak terdengar.
Tapi bukan hanya ketahanan institusional yang membuat Erdogan tetap bertahan. Ia juga memahami psikologi massa lebih baik daripada lawan-lawannya. Teori Struktur Peluang Politik dari Sidney Tarrow menunjukkan bahwa demonstrasi yang efektif membutuhkan celah dalam sistem kekuasaan—retaknya elite, membelotnya militer, atau melemahnya legitimasi rezim. Masalahnya, di Turki, Erdogan telah menutup semua celah itu. Militer yang dulu menjadi penyeimbang kekuasaan telah dijinakkan sejak pembersihan besar-besaran pascakudeta 2016. Media independen telah dihancurkan. Institusi hukum telah disulap menjadi alat politik.
Jadi, apakah protes kali ini akan menggulingkan Erdogan? Sayangnya, jawabannya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Demonstrasi tanpa dukungan dari dalam sistem hanyalah panggung teatrikal, di mana rakyat meneriakkan kemarahan mereka sementara pemerintah menertawakan mereka dari balik istana. Seperti yang dijelaskan Erica Chenoweth dalam studinya tentang perlawanan sipil, agar sebuah gerakan bisa berhasil, dibutuhkan partisipasi minimal 3,5% dari populasi yang terus bertahan. Tapi angka itu tidak cukup jika semua jalur politik dan media dikendalikan oleh rezim.
Erdogan, seperti diktator-diktator lain yang tetap bertahan meski diterpa gelombang protes, tahu kapan harus menggunakan represi dan kapan harus memberi kelonggaran. Ia akan menangkap beberapa pemimpin oposisi, memblokade beberapa jalan, lalu mungkin memberikan sedikit konsesi untuk meredakan situasi. Beberapa orang akan dibebaskan, beberapa tuntutan akan dicabut, tapi esensi dari kekuasaannya tetap utuh. Sejarah telah membuktikan bahwa massa yang marah tidak selalu cukup untuk menggulingkan seorang pemimpin yang telah mengakar begitu dalam di sistem.
Lihat saja bagaimana ia selalu menemukan jalan keluar. Ketika ekonomi Turki berada di ambang kehancuran, ia memainkan kartu agama. Hagia Sophia diubah menjadi masjid, rakyat diajak untuk tidak berpikir soal inflasi, tapi soal “kebangkitan kejayaan Islam”. Ketika kritik terhadapnya memuncak, ia meluncurkan operasi militer di perbatasan dan membakar sentimen nasionalisme. Dan ketika lawan politiknya semakin kuat, ia cukup menggunakan pasal karet untuk menjebloskan mereka ke penjara.
Namun, ada satu variabel yang belum sepenuhnya bisa dikendalikan Erdogan: waktu. Semua rezim otoriter pada akhirnya akan mencapai titik kelelahan, baik dari segi ekonomi maupun politik. Erdogan mungkin berhasil selamat kali ini, tapi setiap represi yang ia lakukan hanya memperpanjang ledakan yang lebih besar di masa depan.
Satu hal yang bisa membedakan situasi kali ini dari sebelumnya adalah momentum politik. Jika oposisi berhasil menggunakan kemarahan rakyat sebagai alat mobilisasi politik yang berkelanjutan, bukan sekadar demonstrasi sesaat, Erdogan bisa kehilangan pegangan. Jika elite dalam AKP mulai melihatnya sebagai beban politik dan mencari alternatif, kekuasaannya bisa mulai rapuh dari dalam. Tetapi itu membutuhkan kombinasi dari kegagalan ekonomi yang lebih besar, tekanan internasional yang lebih keras, dan keberanian dari elite oposisi untuk bersatu dan menghadapi risiko.
Sejarah telah menunjukkan bahwa penguasa otoriter sering kali tampak tak tergoyahkan—hingga tiba-tiba mereka jatuh. Zine El Abidine Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, bahkan Slobodan Milosevic di Serbia, semuanya pernah terlihat begitu kuat sebelum kekuatan massa akhirnya meruntuhkan mereka. Erdogan mungkin bisa menunda akhirnya, tetapi ia tidak bisa menghindarinya selamanya.
Jadi, apakah Erdogan akan lolos lagi kali ini? Kemungkinan besar iya. Namun… sejarah bukanlah garis lurus, dan kekuasaan yang terlihat abadi sering kali runtuh dalam sekejap ketika momen yang tepat tiba. Mungkin ini bukan gelombang yang menenggelamkannya, tetapi gelombang itu pasti datang.
Daftar Referensi:
- https://english.almayadeen.net/news/politics/hundreds-of-thousands-defy-erdogan–protest-imamoglu-s-arres
- https://www.turkishminute.com/2025/03/21/istanbul-bar-association-board-dismissed-over-terrorist-propaganda1/
- https://www.turkishminute.com/2025/03/21/erdogan-calls-protests-against-mayors-detention-street-terror-vows-to-fight-back4/
- https://www.turkishminute.com/2025/03/21/european-mayors-call-for-immediate-release-of-istanbul-counterpart4/
- https://www.turkishminute.com/2025/03/21/thousands-defy-erdogans-warning-against-marching-in-istanbul/
- https://www.turkishminute.com/2025/03/21/turkish-govt-seeks-to-contain-protests-with-detentions-investigations-bans4/