Opini
Erdogan dan Mimpi Membangkitkan Kejayaan Ottoman untuk Turki

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berbicara dengan penuh percaya diri, menyebutkan bahwa Turki tengah melangkah maju menuju tujuan besar: menjadi negara kuat yang memimpin abad baru. Namun, di balik klaim tersebut, ada satu narasi yang menarik—keinginan untuk menghidupkan kembali kejayaan Ottoman, yang tampaknya masih menjadi obsesi pribadi seorang presiden yang lebih terfokus pada masa lalu daripada masa depan. Turki, yang sudah memasuki abad ke-21, seharusnya tidak lagi terjebak dalam khayalan kebangkitan sebuah kekhalifahan yang sudah lama runtuh.
Sebagai contoh, dalam pidatonya pada 18 Desember 2024, yang beredar di media social, Erdogan berkata, “Turki lebih besar dari Turki itu sendiri. Sebagai sebuah bangsa, kita tidak boleh membatasi visi kita hanya pada 782.000 kilometer persegi [wilayah Turki saat ini]”—sebuah pengingat langsung akan narasi kebesaran Ottoman yang ingin ia hidupkan kembali. Namun, di saat yang sama, apakah Erdogan sadar bahwa dunia telah berubah? Kejayaan Ottoman memang sebuah bagian penting dalam sejarah, namun menghidupkannya kembali bukanlah solusi untuk masalah yang dihadapi Turki saat ini. Apakah Erdogan benar-benar berpikir bahwa kebangkitan Ottoman akan menyelesaikan persoalan domestik yang semakin rumit—seperti inflasi, pengangguran, dan ketimpangan sosial?
Lebih mengkhawatirkan lagi, ambisi Erdogan untuk memperbesar peran Turki di kawasan dan dunia tidak hanya berdampak pada negaranya sendiri, tetapi juga pada hubungan Turki dengan negara-negara lainnya. Keterlibatannya dalam konflik-konflik di Libya, Suriah, dan Somalia, yang kerap dikaitkan dengan ambisi mengembalikan pengaruh Ottoman, semakin memperuncing ketegangan internasional. Alih-alih berperan sebagai negara penengah yang mengedepankan diplomasi, Turki kini lebih sering dilihat sebagai kekuatan yang memaksakan kehendak dengan cara yang mengancam stabilitas kawasan. Seharusnya, Turki bisa mengambil posisi lebih strategis, berfokus pada pembangunan dalam negeri dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara besar. Tetapi, dengan fokus Erdogan yang terpusat pada ambisi pribadi dan simbolisme sejarah, Turki justru semakin terasingkan.
Namun, ada sesuatu yang lebih mendalam yang perlu dipertimbangkan. Meskipun Erdogan memproyeksikan gambaran besar tentang kebangkitan Turki, kenyataannya sangat berbeda. Menurut laporan dari Euronews pada 29 November 2024, ekonomi Turki mengalami kontraksi 0,2% pada kuartal ketiga tahun 2024 setelah penurunan serupa pada kuartal kedua, yang menandakan bahwa Turki sedang berada dalam resesi. Sebagai perbandingan, konsumsi rumah tangga turun 0,3% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, sementara konsumsi pemerintah juga tercatat menurun 0,4%. Di tengah kondisi ini, inflasi masih tinggi, mencatatkan angka 48,6% pada Oktober 2024. Keadaan ini semakin memperburuk ketidakpastian ekonomi dalam negeri.
Erdogan tampaknya lebih memilih fokus pada proyek geopolitiknya daripada menangani masalah yang lebih mendesak. Ekonom Nicholas Farr dari Capital Economics menyatakan, “Permintaan domestik yang melambat ini dapat meningkatkan ekspektasi bahwa bank sentral mungkin akan memangkas suku bunga pada pertemuan Desember,” meskipun ia menambahkan bahwa hal ini akan sangat tergantung pada kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. Namun, kenyataannya adalah, dengan suku bunga yang sudah tinggi selama beberapa bulan terakhir, dampaknya terhadap daya beli masyarakat semakin besar, dan ekonomi domestik semakin tertekan. Di saat yang sama, kebijakan luar negeri Erdogan yang penuh risiko justru memperburuk isolasi Turki di tingkat internasional.
Ketika kita melihat kebijakan luar negeri Erdogan, pertanyaan besar muncul: apakah ini benar-benar cita-cita rakyat Turki, atau hanya sebuah obsesi pribadi seorang pemimpin yang ingin dikenang sebagai pemimpin besar? Kebijakan ini, yang lebih berfokus pada pencapaian pribadi Erdogan daripada kebutuhan riil rakyat Turki, menimbulkan keraguan. Ekonomi Turki yang terpuruk, dengan inflasi yang meroket dan ketidakpastian yang menguasai kehidupan sehari-hari, tidak pernah menjadi prioritas utama dalam pidato-pidatonya. Alih-alih berfokus pada meningkatkan kualitas hidup rakyat, Erdogan lebih memilih untuk membangun narasi besar tentang kejayaan masa lalu yang tidak lagi relevan.
Pada akhirnya, Turki tidak membutuhkan kebangkitan Ottoman untuk menjadi negara besar. Apa yang diperlukan adalah sebuah visi yang realistis dan berfokus pada pemecahan masalah yang nyata, baik dalam negeri maupun di kancah internasional. Erdogan mungkin harus bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin yang membawa Turki ke puncak kejayaan baru atau sebagai pemimpin yang terjebak dalam khayalan masa lalu? Sebuah negara yang ingin maju seharusnya tidak membiarkan dirinya terbelenggu oleh mimpi yang tidak lagi punya tempat di dunia modern. Karena, jika kita terus menggali masa lalu, kita akan terus tertinggal dari masa depan.