Opini
Erdogan dan Mimpi Buruk 2028: Akhir Sang Sultan?

Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa 73 persen rakyat Turki mendukung aksi protes yang meletus setelah penangkapan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoğlu. Angka ini bukan sekadar statistik biasa. Ini adalah suara rakyat yang selama ini ditekan oleh tangan besi sang Sultan. Recep Tayyip Erdoğan, yang dulu dielu-elukan sebagai penyelamat Turki, kini mulai menghadapi gelombang perlawanan yang semakin tak terbendung. Mimpi buruknya mulai terwujud: rakyat berbalik arah, dan tahta yang ia genggam erat mulai goyah.
Sejak 19 Maret, ribuan orang turun ke jalan, menuntut keadilan bagi Imamoğlu. Mereka bukan sekadar pendukung oposisi, bukan hanya massa bayaran yang dikirim oleh lawan politik. Mereka adalah rakyat Turki yang telah cukup muak dengan otoritarianisme Erdogan. Namun, seperti seorang penguasa yang tak paham kapan harus mundur, Erdogan memilih jalur klasik: membungkam suara-suara yang menentangnya dengan tangan besi. Ribuan orang ditangkap, termasuk jurnalis dan pengacara yang mencoba mengungkap kebenaran. Tapi apakah itu cukup untuk meredam gelombang kemarahan? Tentu tidak.
Penahanan Imamoğlu adalah blunder terbesar Erdogan dalam satu dekade terakhir. Ia mungkin berpikir, dengan mengunci rival terbesarnya, ia bisa mengamankan kekuasaan untuk 2028. Sayangnya, strategi ini malah menjadi bumerang. Sebuah ironi pahit: semakin ia mencoba menghilangkan ancaman, semakin besar ancaman itu tumbuh. Imamoğlu, yang sebelumnya hanya sekadar wali kota dengan elektabilitas tinggi, kini telah berubah menjadi simbol perlawanan nasional. Seorang tokoh yang dianiaya oleh rezim otoriter selalu memiliki daya tarik yang lebih besar dibanding mereka yang bebas berkampanye.
Apa yang dilakukan Erdogan saat ini bukanlah politik cerdas, melainkan desperasi seorang pemimpin yang mulai kehilangan kendali. Ia bukan lagi Sultan yang berkuasa dengan wibawa, tetapi seorang diktator yang takut akan bayangannya sendiri. Lihatlah bagaimana ia bereaksi terhadap protes. Alih-alih membiarkan rakyatnya menyampaikan suara, ia malah menggelar penangkapan massal. Lebih dari 1.400 orang telah ditahan, termasuk wartawan asing yang hanya melakukan tugas jurnalistik. Bahkan seorang jurnalis Swedia ditangkap, seolah-olah melaporkan realitas Turki adalah sebuah kejahatan.
Tindakan ini mengingatkan kita pada pemimpin-pemimpin otoriter yang pernah jatuh dengan cara tragis. Mereka selalu memulai dengan menekan oposisi, lalu menutup kebebasan pers, sebelum akhirnya menghadapi kemarahan rakyat yang tak lagi bisa dibendung. Erdogan tampaknya sedang berjalan di jalur yang sama. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia menyadari bahwa ketakutan dan represi bukanlah alat yang cukup untuk mempertahankan kekuasaan.
Lebih konyol lagi, Erdogan kini mencoba memainkan trik lama: mempercepat pemilu. Seolah-olah dengan mempercepat proses demokrasi yang ia manipulasi, ia bisa memastikan dirinya tetap berada di puncak. Ini adalah pertaruhan gila. Jika pemilu digelar dalam waktu dekat, dengan kondisi rakyat yang sedang marah dan dunia internasional yang mulai menyorot, peluangnya untuk menang semakin tipis. Namun, jika ia menunda, ia akan menghadapi lebih banyak gejolak sosial yang bisa menggulingkannya lebih cepat. Pilihan yang sulit bagi seorang pemimpin yang terbiasa memanipulasi keadaan.
Survei Konda Research menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Turki tidak hanya mendukung protes, tetapi juga menilai bahwa tindakan Erdogan sudah keterlaluan. 52 persen responden menyatakan bahwa demonstrasi sah selama tidak mengganggu ketertiban umum. Ini artinya, rakyat masih mencoba memberikan batasan. Tapi sampai kapan batasan itu bisa bertahan? Jika Erdogan terus-menerus menyulut kemarahan, bukan tidak mungkin demonstrasi ini akan berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih besar—mungkin revolusi.
Sebagai pemimpin yang telah mengubah sistem pemerintahan Turki menjadi model otoritarianisme yang dibalut demokrasi semu, Erdogan mungkin berpikir ia bisa terus berkuasa dengan cara-cara represif. Tapi sejarah selalu mengajarkan satu hal: tak ada kediktatoran yang bertahan selamanya. Setiap pemimpin yang mencoba menguasai rakyat dengan ketakutan pada akhirnya akan menghadapi kenyataan pahit. Dan kini, Erdogan sedang mendekati momen itu.
Turki bukan lagi negeri yang sama seperti satu dekade lalu. Ekonomi memburuk, kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin menurun, dan oposisi semakin kuat. Erdogan mungkin masih memiliki pendukung fanatik, tapi basisnya mulai terkikis. Dulu, ia dielu-elukan sebagai pemimpin yang membawa Turki keluar dari bayang-bayang kemunduran. Kini, ia justru menjadi simbol dari krisis yang ia ciptakan sendiri.
Pernyataan Erdogan yang menyebut demonstrasi sebagai “teror jalanan” hanya menunjukkan betapa terputusnya ia dari kenyataan. Ini adalah taktik lama: mendiskreditkan lawan dengan label ekstrem. Tapi rakyat Turki tidak lagi bodoh. Mereka tahu siapa yang sebenarnya menciptakan ketakutan dan kekacauan. Mereka tahu bahwa penangkapan Imamoğlu bukanlah soal hukum, melainkan upaya untuk membungkam lawan politik. Dan semakin keras Erdogan menekan, semakin jelas wajah otoritarianismenya terlihat di mata dunia.
Di titik ini, pertanyaan terbesar bukan lagi apakah Erdogan bisa mempertahankan kekuasaan, tetapi seberapa lama ia bisa bertahan sebelum segalanya runtuh. Jika sejarah mengajarkan sesuatu, maka akhir dari para pemimpin otoriter selalu sama: mereka jatuh dengan cara yang tidak mereka duga. Erdogan mungkin berpikir ia masih bisa mengendalikan situasi, tapi kenyataannya, ia sedang berjalan menuju jurang yang ia gali sendiri.
Mungkin ini bukan kejatuhan Erdogan yang instan. Tapi ini adalah tanda-tanda awal dari akhir sebuah era. Sang Sultan yang dulu tak tergoyahkan kini mulai kehilangan pijakan. Dan ketika seorang pemimpin kehilangan dukungan rakyat, tak ada kekuatan militer atau polisi yang bisa menyelamatkannya. Turki sedang menyaksikan babak baru dalam sejarahnya, dan Erdogan hanya tinggal menunggu giliran untuk menjadi catatan kaki dalam buku itu.