Connect with us

Opini

Erdogan dan Mesin Represi yang Kian Sistematis

Published

on

Di jalan-jalan Istanbul yang ramai, ribuan mahasiswa turun ke aspal, meneriakkan kemarahan mereka atas penangkapan Ekrem Imamoglu, wali kota oposisi yang kini menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Demonstrasi ini, yang kembali membara setelah reda akibat penutupan universitas dan perayaan Ramadan, menandakan gelombang protes terbesar sejak 2013. Di Ankara, ratusan mahasiswa bergabung, dikelilingi polisi bersenjata lengkap.

Media sosial pun dipenuhi gambar-gambar kerumunan yang diverifikasi oleh Associated Press, memperkuat kesan bahwa ini bukan sekadar protes sporadis, melainkan luapan kekecewaan yang meluas. CHP, partai oposisi utama, dipimpin Ozgur Ozel, mendorong boikot ekonomi dan menyerukan lebih banyak aksi massa. Mereka menuduh Erdogan mengisolasi Turki dari Eropa. Di balik sorak sorai protes ini, ada pola represi sistematis yang tampak mengemuka kembali.

Pola itu mencuat lewat penangkapan Imamoglu bulan lalu atas tuduhan korupsi, pembentukan organisasi kriminal, dan dugaan kaitan dengan PKK—kelompok yang dianggap teroris oleh Turki. Penangkapan ini memicu kemarahan publik, dengan CHP menyebutnya sebagai “kudeta politik” untuk menyingkirkan rival utama Erdogan menjelang pemilu presiden. Pemerintah merespons dengan keras, menahan hampir 2.000 orang, termasuk mahasiswa dan jurnalis.

Tindakan ini mengingatkan pada crackdown sebelumnya. Jurnalis, baik lokal maupun asing, menjadi sasaran, memperkuat tuduhan bahwa Erdogan tidak hanya menargetkan politisi oposisi tetapi juga siapa saja yang berani melaporkan kebenaran. Ini bukan kejadian baru—Kementerian Kehakiman Turki mencatat lebih dari 160.000 investigasi atas “penghinaan terhadap presiden” sejak Erdogan menjabat pada 2014.

Dari jumlah itu, 39.000 orang menghadapi persidangan, menandakan mesin represi yang terus berputar tanpa henti. Ozgur Ozel, ketua CHP, menjadi target berikutnya dalam skema ini ketika Erdogan mengajukan gugatan pidana atas pernyataannya yang menyebut presiden memimpin “junta.” Tuduhan “penghinaan terhadap presiden” berdasarkan Pasal 299 KUHP Turki telah lama menjadi senjata favorit Erdogan.

Hukuman hingga empat tahun penjara mengintai mereka yang dianggap melintasi garis, dan garis itu sendiri sering kali kabur, ditentukan oleh interpretasi subjektif pemerintah. Kasus Ozel hanyalah satu dari ribuan. Sejak naik ke tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri pada 2003 dan kemudian presiden pada 2014, Erdogan telah menggunakan hukum ini untuk membungkam siapa saja yang berani mengkritik.

Dari politisi hingga warga biasa di media sosial, semua bisa menjadi sasaran. Ini adalah pola berulang: kritik muncul, hukum diterapkan, dan suara dissenting lenyap di balik jeruji atau ancaman hukuman. Ruang diskusi publik makin menyempit. Pola ini menjadi lebih terstruktur setelah percobaan kudeta 2016, titik balik yang memberi Erdogan alasan untuk memperluas cengkeramannya.

Dalam keadaan darurat pasca-kudeta, puluhan ribu orang—hakim, akademisi, guru, dan jurnalis—dibersihkan dari jabatan mereka atas tuduhan keterkaitan dengan gerakan Gulen, yang dituding Erdogan sebagai dalang kudeta. Lebih dari 130 outlet media ditutup, dan banyak lainnya diambil alih oleh sekutunya. Semua ini dilakukan di bawah payung hukum dan legitimasi darurat nasional.

Reporter Tanpa Batas menempatkan Turki di peringkat 153 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers 2023, sebuah penurunan drastis dari dekade sebelumnya. Penangkapan jurnalis selama protes Imamoglu hanyalah kelanjutan dari strategi lama: jika media tidak bisa berbicara, publik tidak akan mendengar, dan kritik akan mati dalam sunyi. Ini adalah represi yang halus tapi efektif.

Namun, represi ini tidak hanya soal hukum atau penangkapan; ada dimensi politik yang cerdas di baliknya. Penangkapan Imamoglu, yang terjadi tepat saat ia dipilih sebagai kandidat presiden CHP, menimbulkan spekulasi bahwa Erdogan mungkin mendorong pemilu dini sebelum 2028, saat ia akan mencapai batas masa jabatan. Untuk mempercepat pemilu, ia butuh persetujuan parlemen.

Menyingkirkan Imamoglu—rival yang karismatik dan populer—bisa memuluskan jalannya. Ini menggemakan taktik masa lalu, seperti pada 2019, ketika Imamoglu memenangkan pemilu wali kota Istanbul melawan kandidat AKP Erdogan, hanya untuk melihat hasilnya dibatalkan. Pola mendiskreditkan, menyingkirkan, atau mengintimidasi kembali muncul sepanjang kekuasaan Erdogan.

Komisi Eropa, dalam pernyataan pada 24 Maret, menyerukan Turki untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi dan menghormati hak demonstrasi damai. Kritik itu tajam, mengingat status Turki sebagai kandidat Uni Eropa. Ozel memperingatkan bahwa Erdogan mengisolasi Turki dari Eropa, ditandai dengan pembatalan kunjungan anggota Parlemen Eropa dan pertemuan di Forum Diplomasi Antalya.

Namun, bagi Erdogan, ini mungkin bukan kegagalan tetapi kemenangan—mengorbankan hubungan internasional demi kontrol domestik. Pendukungnya akan berargumen bahwa langkah-langkah ini diperlukan untuk melawan ancaman seperti terorisme PKK atau destabilisasi pasca-kudeta. Tetapi jumlah investigasi “penghinaan” yang mencapai ratusan ribu menunjukkan bahwa sasaran sebenarnya adalah kritik.

Ini adalah strategi untuk mempertahankan dominasi politik. Pola sistematis ini juga terlihat dalam cara Erdogan menangani protes. Gelombang demonstrasi sejak 2013, termasuk protes Gezi Park, selalu dihadapi dengan kekuatan polisi yang berlebihan, gas air mata, dan penangkapan massal. Protes terbaru atas Imamoglu tidak berbeda—polisi dikerahkan dalam jumlah besar.

Hampir 2.000 orang ditahan dalam hitungan hari. Ini adalah taktik yang teruji dan berulang: membubarkan kerumunan, menangkap pemimpin, dan menciptakan rasa takut yang membuat orang berpikir dua kali sebelum turun ke jalan lagi. Mahasiswa, sebagai kelompok yang sering memulai protes, menjadi target utama seperti yang terlihat di Istanbul dan Ankara.

Ini mengulangi represi terhadap generasi muda yang kritis sejak awal kekuasaan Erdogan. Setiap tindakan menjadi bagian dari upaya mensterilkan ruang publik dari perbedaan pendapat. Di balik semua ini, ada narasi yang dikembangkan Erdogan: bahwa kritik adalah pengkhianatan, bahwa oposisi adalah ancaman terhadap kedaulatan Turki.

Tuduhan terhadap Imamoglu soal kaitan dengan PKK, meskipun dibantah keras olehnya, adalah contoh klasik dari pola ini—melabeli lawan sebagai musuh negara untuk membenarkan tindakan keras. Strategi ini telah digunakan sejak awal karier politik Erdogan, namun kini menjadi lebih terstruktur seiring bertambahnya kekuasaan.

Dari penutupan media hingga pembersihan pasca-kudeta, dari gugatan hukum hingga penangkapan massal, setiap langkah dirancang untuk meminimalkan ruang bagi dissenting voices. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan di mana hanya suara Erdogan yang bergema. Ini adalah benteng represi yang dibangun dengan teliti, tetapi bukan tanpa celah.

Namun, pola ini bukannya tanpa risiko. Protes yang terus berlanjut, meskipun ditekan, menunjukkan bahwa rakyat Turki tidak sepenuhnya diam. Imamoglu, dalam pernyataannya di X, bersumpah untuk “berdiri tegak” dan “tidak pernah menyerah,” sebuah sikap yang mungkin menginspirasi lebih banyak perlawanan. Tekanan internasional terhadap Erdogan juga meningkat.

Dari Eropa hingga organisasi hak asasi manusia, tekanan tersebut mempersulit Erdogan untuk mempertahankan citra demokratis di panggung global. Pola membungkam kritik mungkin telah berhasil selama dua dekade, tetapi setiap represi baru menambah bahan bakar ke bara ketidakpuasan yang bisa suatu hari meledak. Ketegangan ini adalah medan tempur berikutnya bagi masa depan Turki.

Pada akhirnya, kisah Erdogan dan kritiknya adalah cerminan dari seorang pemimpin yang telah mengasah seni represi menjadi sistem yang hampir sempurna. Dari hukum yang ambigu hingga kekuatan polisi, dari penutupan media hingga penangkapan politik, ia membangun benteng di sekitar kekuasaannya. Tetapi benteng itu dibangun di atas fondasi yang rapuh.

Fondasi itu adalah kemarahan rakyat, harapan oposisi, dan sorotan dunia. Di jalan-jalan Istanbul dan Ankara, mahasiswa masih berteriak, dan di balik jeruji, suara seperti Imamoglu tetap bergema. Mereka menantang pola lama yang mungkin tidak bisa bertahan selamanya. Selama suara perlawanan masih berkumandang, tidak ada kekuasaan yang benar-benar aman dari guncangan perubahan.

 

*Sumber:

  1. https://english.almayadeen.net/news/politics/turkish-students-hold-fresh-protests-in-istanbul–ankara
  2. https://thecradle.co/articles/erdogan-files-criminal-complaint-against-opposition-leader

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *