Opini
Era Teroris Berakhir: Kemenangan Turki atau Strategi Baru?

Dengan kalimat penuh kemenangan, Presiden Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa “keruntuhan rezim Baath di Suriah adalah kemenangan bagi Turki.” Kemenangan itu bukan hanya milik rakyat Suriah yang selama ini hidup di bawah kekuasaan diktator Bashar al-Assad, tetapi juga kemenangan bagi negara tetangga yang dengan gigih berperan dalam menggulingkan rezim tersebut. Tentu saja, ini menarik untuk dibaca.
Bahkan lebih menarik lagi adalah kalimat Erdogan yang mengatakan bahwa “era pemanfaatan organisasi teroris sebagai alat untuk mencapai tujuan politik di kawasan telah berakhir.” Apa yang dimaksud dengan “era teroris”? Apakah ini artinya bahwa kelompok-kelompok yang sebelumnya disebut sebagai teroris, seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kini beralih menjadi sekutu yang sah dalam perjuangan menggulingkan Assad? Ini tentu saja menambah kehangatan cerita.
Sungguh, siapa yang tak terpesona dengan perubahan dramatis dalam politik dunia ini? Hanya beberapa tahun lalu, HTS yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, dianggap sebagai kelompok teroris yang penuh kebrutalan. Namun kini, dalam lanskap politik yang terus berubah, kelompok yang sama seakan mendapat label baru: pahlawan. Tak heran jika Turki, yang sebelumnya mendukung mereka dalam menggulingkan Assad, kini melihat mereka sebagai bagian dari kemenangan bersama.
Sementara itu, Erdogan dengan percaya diri memproklamirkan bahwa “era teroris telah berakhir” dan bahwa masa depan Suriah akan lebih aman tanpa menggunakan terorisme sebagai alat politik. Bukankah ini sedikit lucu? Kelompok yang dulu dianggap sebagai ancaman kini diberi panggung utama dalam sejarah baru Suriah. Apakah ini bentuk dari pragmatisme politik yang brilian atau justru cermin dari fleksibilitas ideologi yang menguntungkan?
Tentu saja, perubahan ini sangat melegakan. Bagi Turki, kemenangan berarti lebih dari sekadar menggulingkan Assad. Ini adalah kemenangan diplomatik yang merangkul kelompok-kelompok yang dulunya dihindari, bahkan dicap sebagai teroris. Mengapa? Karena mereka memiliki peran dalam menciptakan ketidakstabilan yang diperlukan untuk mengubah peta politik kawasan. Mungkin label teroris hanya masalah waktu, tergantung dari siapa yang memandang.
Namun, kita tidak boleh terlena dengan perubahan ini. Pada kenyataannya, meskipun ada pergeseran dalam dinamika politik internasional, HTS masih berjuang dengan warisan gelap mereka. Mereka mungkin kini lebih terorganisir dan siap meraih legitimasi internasional, tetapi jangan salah, banyak negara yang masih melihat mereka sebagai ancaman. Bagi mereka, label “teroris” bukanlah sesuatu yang mudah dicabut hanya karena perubahan arah politik.
Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa kenyataan sering kali lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan. Erdogan mungkin benar ketika mengatakan bahwa era teroris telah berakhir, tapi apakah itu berarti HTS yang kini memegang kendali di Suriah benar-benar telah berubah? Ataukah kita hanya melihat permainan politik yang menguntungkan beberapa pihak? Hanya Erdogan yang tahu jawabannya. Sebagai pengamat, kita hanya bisa berspekulasi.
Saya pribadi berpandangan bahwa pernyataan Erdogan ini lebih mengarah pada pembacaan pragmatis terhadap situasi yang sedang berkembang. Turki tentu saja tidak akan meninggalkan kelompok yang selama ini menjadi sekutunya, apalagi setelah mereka berhasil menggulingkan Assad bersama-sama. Namun, apakah itu berarti era teroris benar-benar usai? Tentu saja, jawabannya tidak sesederhana itu.
Pernyataan Erdogan adalah cerminan dari bagaimana politik internasional seringkali bersifat elastis dan penuh kompromi. Apa yang dulu dianggap teroris bisa saja berbalik menjadi sekutu yang sah jika mereka berperan dalam perubahan geopolitik yang besar. Pada akhirnya, siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kisah ini? Hanya waktu yang akan memberi jawabannya.