Opini
Energi, Sanksi, dan Hipokrisi AS di Timur Tengah

Amerika Serikat sekali lagi menunjukkan keahliannya dalam seni menghancurkan ekonomi negara lain dengan dalih “menjaga stabilitas global.” Kali ini, Washington memutuskan untuk mencabut keringanan yang memungkinkan Irak membayar listrik Iran. Alasannya sederhana: Iran harus ditekuk, ditekan, dan jika memungkinkan, dicekik secara ekonomi hingga menyerah pada tuntutan imperium.
Maka, dengan langkah yang dipoles dengan jargon “keamanan” dan “perdamaian,” AS mengingkari kebutuhan listrik jutaan warga Irak yang selama ini bergantung pada pasokan energi dari Iran. Tidak ada belas kasihan dalam strategi ini, karena yang lebih penting adalah mempertahankan dominasi dolar dan memastikan Iran tetap dalam posisi tertindas.
Inilah inti dari ekonomi politik internasional ala AS: energi bukan sekadar komoditas, melainkan senjata. Dalam teori ekonomi politik global, ini disebut sebagai “weaponization of finance,” di mana akses terhadap pasar global, sistem pembayaran, dan sumber daya vital dikendalikan oleh negara hegemon untuk memperbudak mereka yang berani menentang.
AS tak hanya bermain dalam ranah diplomasi; mereka juga mendikte bagaimana dunia harus bergerak. Sanksi bukan hanya untuk Iran, tetapi siapa saja yang berani berdagang dengannya. Ini adalah monopoli ekonomi yang kasar, mengingatkan kita pada bagaimana kolonialisme dulu berjalan, hanya saja kini benderanya bergambar elang botak, bukan Union Jack.
Ironinya, Iran dan Irak adalah dua negara yang kaya energi, tapi justru menjadi korban dari perang energi global. Irak dihancurkan infrastrukturnya sejak invasi 2003, sedangkan Iran dicekik melalui sanksi yang tak berkesudahan. Padahal, kedua negara ini bisa saja menjadi kekuatan utama di sektor energi jika tidak ada gangguan dari sang “polisi dunia.”
Baghdad kini dipaksa mencari alternatif, seperti anak sekolah yang dipaksa mencari jawaban lain setelah diancam guru. AS menyambut baik rencana Irak untuk mengurangi ketergantungan pada Iran, meskipun realitasnya, ini bukan soal kemandirian, melainkan pemaksaan agar Irak tunduk pada kehendak geopolitik Washington.
Penting untuk memahami bahwa keputusan ini bukanlah keputusan impulsif. Ini adalah bagian dari grand strategy yang dikenal sebagai “Maximum Pressure.” Di balik klaim bahwa AS hanya ingin “mencegah Iran memiliki senjata nuklir,” sebenarnya ada motif yang lebih besar: menghancurkan Iran sebagai pesaing ekonomi dan politik di Timur Tengah.
Dalam sistem ekonomi global yang dikendalikan Barat, Iran tidak boleh memiliki akses ke teknologi canggih, investasi internasional, atau bahkan mekanisme pembayaran yang normal. Akibatnya, Iran harus mencari celah, berinovasi dalam keterbatasan, dan mengandalkan perdagangan bayangan yang penuh risiko dan biaya tinggi.
Begitu pula Irak, yang seharusnya bisa mandiri secara energi, kini harus berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Di satu sisi, mereka dipaksa mengurangi ketergantungan pada Iran; di sisi lain, mereka tidak diberi solusi konkret oleh AS selain janji-janji kosong dan investasi yang sering kali berujung pada eksploitasi.
Selama ini, pasar energi global dikontrol oleh mekanisme Barat, di mana dolar AS tetap menjadi mata uang utama. Dengan kata lain, siapa yang mengendalikan dolar, mengendalikan ekonomi dunia. Iran telah mencoba keluar dari sistem ini dengan berbagai cara, mulai dari memperdagangkan minyak dalam mata uang non-dolar hingga membangun aliansi ekonomi dengan negara-negara lain.
Namun, seperti biasa, siapa pun yang mencoba bermain di luar sistem akan dihukum. Iran mengalami tekanan yang sama seperti Venezuela, Rusia, dan negara-negara lain yang berani keluar dari sistem keuangan berbasis dolar. Bagi Washington, ini adalah perang eksistensial, bukan sekadar kebijakan luar negeri biasa.
Ada paradoks yang menarik di sini: AS mengklaim ingin membawa “demokrasi dan kebebasan ekonomi” ke dunia, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Mereka menggunakan sistem ekonomi sebagai alat pemerasan dan pemaksaan politik. Jika sebuah negara tidak mengikuti aturan main mereka, maka sanksi akan datang, proyek infrastruktur akan dihancurkan, dan perekonomian akan dibuat lumpuh.
Sementara Iran tetap bertahan dengan segala keterbatasan, Irak justru dipermainkan di antara kepentingan dua kekuatan. Mereka dipaksa untuk “mandiri” tanpa dukungan nyata, hanya demi memastikan Iran semakin tersudut. Ini adalah bentuk imperialisme modern yang lebih rapi dibandingkan invasi fisik, tetapi tetap memiliki efek yang sama: pemiskinan, ketidakstabilan, dan ketergantungan.
Washington ingin dunia percaya bahwa langkah-langkah ini diambil demi keamanan global. Namun, yang terjadi justru semakin memperburuk ketidakstabilan di Timur Tengah. Rakyat Irak yang harus menghadapi pemadaman listrik dan kelangkaan energi bukanlah prioritas bagi AS; yang penting adalah memastikan Iran tetap dalam posisi tersulitnya.
Namun, sejarah membuktikan bahwa setiap bentuk tekanan ekonomi memiliki batasnya. Iran telah berulang kali membuktikan bahwa mereka bisa beradaptasi dengan sanksi, menciptakan solusi alternatif, dan bahkan membangun industri domestik yang lebih kuat. Dengan setiap tekanan yang diberikan, muncul inovasi baru yang membuat Iran semakin mandiri.
Bahkan Irak, yang selama ini lebih patuh terhadap kebijakan AS, kini mulai mempertimbangkan ulang ketergantungannya pada Barat. Sadar bahwa mereka hanya menjadi bidak dalam permainan geopolitik besar, Baghdad tidak punya pilihan selain mencari keseimbangan antara tekanan AS dan kebutuhan domestik mereka.
Jika ada yang harus dipelajari dari skenario ini, maka itu adalah pelajaran tentang bagaimana ekonomi global bukanlah arena yang bebas dan adil. Ini adalah gelanggang pertempuran di mana negara-negara besar menggunakan setiap instrumen yang mereka miliki untuk mengontrol yang lebih lemah. Sanksi, manipulasi pasar, dan pemaksaan politik hanyalah beberapa alat yang digunakan dalam perang ekonomi modern ini.
Keputusan AS untuk menutup akses Irak terhadap pembayaran listrik Iran bukanlah kebijakan ekonomi biasa. Ini adalah bagian dari strategi panjang untuk menjaga dominasi mereka di Timur Tengah. Ini adalah bukti bahwa dalam ekonomi politik internasional, yang kuat selalu menentukan nasib yang lemah, kecuali jika yang lemah cukup cerdas untuk melawan dengan strategi mereka sendiri.