Connect with us

Opini

Empati Muda Inggris Terhadap Palestina Menggugah Hati

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk London yang sibuk dan dingin, ada kegelisahan yang nyaris tak terdengar. Sebagian besar generasi muda Inggris, yang mungkin lebih sering men-scroll media sosial daripada membaca buku sejarah, kini menyuarakan empati yang keras terhadap Palestina. Mereka menyamakan perlakuan Israel terhadap rakyat Palestina dengan kekejaman Nazi. Seketika, analogi itu memantik kontroversi, dan di mata sebagian orang, dikategorikan sebagai antisemitisme. Tapi, mari kita berhenti sejenak dan menimbang: apakah ini benar-benar soal kebencian, ataukah sekadar hati yang tersentuh oleh penderitaan sesama manusia?

Data survei YouGov bekerja sama dengan Campaign Against Antisemitism (CAA) mengungkapkan angka mengejutkan: 45 persen responden percaya Israel memperlakukan Palestina seperti Nazi memperlakukan Yahudi, sementara di kalangan 18-24 tahun, angka itu melonjak menjadi 60 persen. Kengerian? Bisa jadi. Ironi? Tentu. Tetapi ada lapisan yang lebih dalam: ini bukan tentang kebencian rasial, melainkan tentang empati yang membuncah. Anak-anak muda ini melihat blokade, pengusiran, serangan udara—penderitaan yang nyata—dan mereka merasa perlu memberi suara, memberi label ekstrem agar dunia mendengar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ironi menyelimuti survei itu sendiri. Lebih dari separuh responden, 54 persen, tidak tahu apa itu zionisme. Namun, ketidaktahuan itu tidak menghentikan mereka untuk menilai ketidakadilan. Sebaliknya, ia justru menegaskan sesuatu yang penting: manusia bisa merasakan ketidakadilan tanpa memahami semua teori politik. Rasa kemanusiaan tidak menunggu izin dari literasi sejarah; ia muncul begitu saja saat menyaksikan penderitaan yang mengiris nurani. Ini adalah pengingat bahwa solidaritas moral kadang lahir dari hati, bukan dari buku atau statistik.

Lebih lanjut, survei itu menunjukkan sisi gelap generasi muda Inggris yang kritis: hampir separuh mereka merasa tidak nyaman bersosialisasi dengan pendukung Israel yang terbuka, hanya 31 persen mengakui hak Israel sebagai tanah air Yahudi, dan sekitar 10 persen bersimpati pada Hamas. Angka-angka ini tentu membuat pundak kita terasa berat. Tetapi perlu diingat: ini bukan soal mendukung kekerasan, melainkan soal rasa frustrasi yang tak tersalurkan terhadap ketimpangan dan penderitaan sistematis. Analoginya kasar, provokatif, tapi tujuannya jelas—menyuarakan kemarahan terhadap ketidakadilan.

Di sisi lain, survei menyoroti paradoks publik Inggris. Sekitar 69 persen percaya bahwa demonstrasi pro-Palestina “tidak banyak atau tidak sama sekali” menghasilkan perubahan nyata. Sekitar 58 persen berpandangan bahwa biaya pengamanan dan pembersihan seharusnya dibebankan pada penyelenggara, bukan pajak warga. Ini menunjukkan bahwa solidaritas emosional dan kemarahan moral tidak selalu bertransformasi menjadi aksi politik yang terstruktur. Mereka merasa bersimpati, marah, dan tersentuh, namun sistem hukum dan politik tampak jauh dari jangkauan mereka.

Kita bisa menyindir hal ini dengan halus: generasi yang mengkritik tindakan Israel mungkin tidak memiliki peta sejarah lengkap, tetapi mereka memiliki kompas moral yang tajam. Kompas itu menuntun mereka untuk bersuara, bahkan jika kata-kata mereka kasar atau analogi mereka ekstrem. Di sinilah letak keindahan yang tragis: manusia bisa tersentuh oleh penderitaan orang lain, namun sistem global dan media mainstream kadang menafsirkan kepekaan itu sebagai kebencian.

Menyamakan Israel dengan Nazi memang kontroversial, tetapi itu bukan kebencian terhadap Yahudi. Ini adalah kritik terhadap kebijakan pemerintah, terhadap ketidakadilan yang nyata dan sistematis. Banyak orang Yahudi sendiri yang mengkritik kebijakan Israel, dan itu tidak menjadikan mereka musuh komunitas mereka sendiri. Jadi, kita perlu membedakan antara kebencian rasial dan kritik moral. Sayangnya, narasi resmi seringkali mencampuradukkannya, sehingga empati yang tulus tampak salah di mata sebagian pihak.

Fakta lain yang menarik: sekitar 21 persen orang dewasa Inggris setuju dengan empat atau lebih pernyataan antisemitik dalam survei, meningkat dua kali lipat dibanding 2021. Angka ini tentu mengkhawatirkan jika dikaitkan dengan kebencian rasial. Tetapi jika dikaitkan dengan konteks protes terhadap kebijakan Israel dan ketidakadilan yang mereka lihat, angka ini bisa dimaknai secara lebih nuansa: sebagian besar motivasi mereka adalah solidaritas dan kemarahan terhadap ketidakadilan, bukan kebencian terhadap Yahudi sebagai etnis.

Kita semua tahu, media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi. Video dan gambar yang viral dari Gaza atau Tepi Barat menimbulkan gelombang empati, sedangkan laporan resmi dari organisasi pro-zionis menekankan istilah “antisemitisme.” Hasilnya, publik muda terjebak antara rasa kemanusiaan yang membuncah dan stigma yang menekankan kebencian. Di sinilah absurditas muncul: hati yang peduli dikatakan salah, sementara kekerasan yang nyata seringkali disamarkan sebagai “operasi keamanan.”

Survei ini juga menegaskan sesuatu yang lebih luas: dunia modern tidak hanya dilihat melalui fakta, tapi juga melalui empati dan narasi moral. Ketika anak muda menilai Israel seperti Nazi, mereka sedang mencoba menyampaikan sesuatu yang sederhana: penderitaan yang mereka saksikan tidak bisa diabaikan. Labelnya provokatif, analoginya ekstrem, tapi tujuan mereka manusiawi. Di tengah kompleksitas politik global, kadang nurani lebih cepat bergerak daripada literasi sejarah.

Kita bisa menarik satu kesimpulan yang menenangkan sekaligus menggugah: empati generasi muda Inggris terhadap Palestina adalah bukti bahwa rasa kemanusiaan masih hidup, bahkan di tengah kekacauan informasi dan polarisasi politik. Analogi yang provokatif bukan bukti kebencian, melainkan seruan moral. Dan di dunia yang sering membungkam suara kemanusiaan, itu adalah hal yang patut diapresiasi, bukan dicaci.

Akhirnya, survei ini menjadi refleksi bagi kita semua: solidaritas moral bisa muncul tanpa pengetahuan sempurna, empati bisa mengalahkan ketidakpedulian, dan kritik terhadap ketidakadilan tidak selalu berarti kebencian. Bahkan jika kata-kata mereka terdengar keras atau analogi mereka ekstrem, hati yang tersentuh tetap lebih berharga daripada lidah yang diam di tengah penderitaan.

Generasi muda Inggris mengajarkan kita sebuah pelajaran sederhana tapi mendalam: manusia bisa peduli, meski literasi sejarah terbatas, dan rasa kemanusiaan itu sendiri bisa menjadi alat perjuangan moral yang paling kuat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer