Connect with us

Opini

Empat Pulau, Luka Aceh, dan Republik yang Tergesa

Published

on

Riuh rebutan empat pulau kecil—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—antara Aceh dan Sumatera Utara mengguncang hati banyak orang. Luas keempatnya tak lebih dari 70 hektar, bahkan lebih kecil dari kompleks Gelora Bung Karno di Jakarta. Tapi maknanya bagi Aceh bagai nyawa. Pulau-pulau ini bukan sekadar daratan di tengah laut; mereka adalah simbol harga diri, ingatan kolektif, dan jalinan sejarah panjang masyarakat pesisir dengan samudra.

Ketika Surat Keputusan Kementerian Dalam Negeri pada April 2025 menetapkan keempat pulau itu masuk wilayah Sumatera Utara, gelombang protes dari Aceh pun tak terbendung. Pertanyaannya sederhana tapi tajam: mengapa keputusan ini muncul? Apa urgensinya, hingga pemerintah terlihat mengabaikan sensitivitas Aceh yang masih menyimpan luka sejarah?

Kegelisahan ini bukan tanpa dasar. Aceh telah lama hidup dalam kewaspadaan. Dari masa kolonial Belanda, perlawanan bersenjata, hingga konflik Gerakan Aceh Merdeka, jejak luka itu belum sepenuhnya sembuh. Sosiolog Universitas Syiah Kuala, Prof. Ahmad Humam Hamid, menyebut ada semacam “DNA curiga” masyarakat Aceh terhadap Jakarta. Dalam konteks ini, keputusan Kemendagri yang hanya mempertimbangkan kedekatan geografis ke Tapanuli Tengah terasa seperti pukulan.

Padahal, bukti historis menunjukkan keterikatan Aceh dengan pulau-pulau itu. Surat-surat tanah dari tahun 1965 atas nama Raja Daud dan Tengku Raden, serta bukti pembayaran pajak pada 1974 oleh Muhammad Hasan, menjadi penguat bahwa masyarakat Aceh telah lama mengelola dan merawat wilayah tersebut. Bahkan masyarakat pesisir, baik dari Sibolga maupun dari Singkil, menyadari asal-muasal pulau-pulau itu. Lalu, mengapa pendekatan teknis yang lebih diutamakan, bukan suara hati rakyat?

Bayangkan, betapa kecilnya Pulau Panjang dengan luas hanya 47,8 hektar. Mangkir Ketek dan Lipan bahkan kurang dari 10 hektar. Tapi seperti dikatakan Prof. Humam, ini bukan soal ukuran fisik, melainkan soal “sukma”—soal keterikatan batin yang tak kasat mata, namun nyata. Pulau-pulau ini punya dermaga, musala, dan kuburan auliya—jejak kehidupan yang dibangun masyarakat Aceh Singkil sejak lama. Ketika mereka “dipindahkan” ke Sumatera Utara, rasa kehilangan itu tak ubahnya kehilangan bagian dari jati diri.

Jakarta seakan lupa bahwa keputusan ini bisa membuka kembali luka lama, membangkitkan memori yang sudah susah payah diredam sejak perjanjian damai Helsinki tahun 2005. Dalam kondisi ini, wajar jika masyarakat Aceh mempertanyakan motif di balik keputusan tersebut.

Spekulasi pun bermunculan. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyebut kemungkinan adanya cadangan gas sekelas Andaman di sekitar pulau-pulau itu. Namun Wakil Mendagri Bima Arya menegaskan belum ada data presisi dari SKK Migas mengenai potensi tersebut. Bahkan Prof. Humam menyebut pernyataan sang gubernur hanyalah “intuisi,” bukan hasil kajian akademis. Meski begitu, spekulasi semacam ini tak bisa sepenuhnya diabaikan. Aceh dikelilingi blok-blok migas besar—dari Arun, Blok Andaman, hingga temuan baru di Singkil.

Jika memang ada potensi ekonomi di balik polemik ini, semestinya pemerintah bersikap lebih terbuka dan transparan. Ketertutupan hanya akan menumbuhkan kecurigaan bahwa keputusan ini bukan didasari keadilan, melainkan ambisi ekonomi.

Di sisi lain, urgensi pemindahan ke Sumatera Utara tampak lemah. Anggota DPR dari Aceh, Muslim Ayub, menegaskan tak ada dokumen otentik yang mendukung klaim Sumut. Bahkan Bupati Tapanuli Tengah sendiri menyatakan, “Kalau bukan punya kami, ya kembalikan ke Aceh.” Sementara itu, tokoh-tokoh masyarakat Sumatera Utara tidak terdengar vokal. Ini kontras dengan solidaritas yang menguat di Aceh—mulai dari akademisi, mantan kombatan GAM, hingga mahasiswa internasional.

Forum Mahasiswa Aceh Dunia, dari Tiongkok hingga Singapura, bahkan mengirim surat terbuka ke Presiden. Ini menunjukkan bahwa isu ini tak lagi sekadar lokal, tetapi telah menjadi simbol harga diri dan perhatian diaspora Aceh di mancanegara.

Langkah Kemendagri ini, menurut pengamat politik Adi Prayitno, merupakan blunder. Alasannya sederhana namun penting: pendekatan top-down yang menafikan aspek historis dan sosiologis justru berisiko membangkitkan kembali ketegangan. Aceh baru dua dekade menikmati damai pasca-Helsinki. Generasi muda—yang lahir pascatsunami dan konflik—tidak kenal lagi bunyi senapan atau penjagaan ketat di jalan. Tapi jika polemik ini dibiarkan berlarut, memori konflik bisa terpicu lagi.

Peringatan dari dua tokoh kunci perdamaian Aceh, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, layak menjadi pengingat. SBY berkata, “Hati-hati.” JK menegaskan bahwa batas wilayah sudah disepakati berdasarkan peta tahun 1956. Namun, pemerintah seolah tak cukup peka menangkap isyarat ini.

Masalah ini makin pelik ketika sorotan beralih ke dasar hukum yang digunakan. Herman Suparman dari KPPOD menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tidak cukup rinci dalam menentukan batas wilayah. Bahkan Perjanjian Helsinki pun tak secara eksplisit mengatur soal pulau-pulau ini. Kajian teknis yang digunakan Kemendagri sejak 2008 dinilai belum “clean and clear.”

Namun, harapan belum sepenuhnya hilang. Bima Arya menyebut adanya “novum” atau bukti baru dari Badan Informasi Geospasial, Kementerian Pertahanan, dan TNI AL yang kini sedang divalidasi. Presiden Prabowo dikabarkan akan mengambil keputusan akhir. Pertanyaannya, akankah keputusan ini adil dan cukup menyejukkan hati masyarakat Aceh?

Tulisan ini mengajak kita merenung. Bagaimana mungkin bangsa sebesar Indonesia, dengan keragaman budaya dan sejarahnya, bisa gegabah dalam mengelola sensitivitas daerah? Aceh bukan sekadar provinsi biasa. Ia punya status otonomi khusus yang lahir dari sejarah panjang perjuangan. Ketika pulau-pulau kecil ini dipindahkan secara administratif, itu terasa seperti pengingkaran terhadap semangat perdamaian yang telah dibangun dengan susah payah.

Usulan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, untuk pengelolaan bersama, justru ditolak mentah-mentah. Menurut Herman Suparman, dalam otonomi daerah tak ada konsep “kelola bersama” sebelum batas wilayah ditetapkan secara tegas. Hal ini mempertegas bahwa solusi setengah hati tak akan menyelesaikan masalah.

Agung Baskoro dari Trias Politika mengingatkan, pemerintah pusat semestinya merawat semua “anak kandung republik” dengan adil, bukan justru memperkuat kesan adanya anak emas dan anak tiri. Ketika Bobby—yang punya koneksi kuat dengan lingkar kekuasaan nasional—tampil paling vokal, sementara tokoh-tokoh Sumut lainnya cenderung diam, kecurigaan publik pun tak terhindarkan.

Di tengah berbagai tantangan nasional—dari utang hingga gejolak ekonomi global dan polarisasi politik—mengapa kita justru menambah potensi konflik baru? Adi Prayitno mengingatkan bahwa polemik ini bisa menjadi preseden buruk bagi ribuan sengketa batas wilayah lain. Menurut Kemendagri sendiri, ada lebih dari 4.000 lampiran batas wilayah yang belum selesai. Jika Aceh dan Sumut saja bisa sebegitu gaduhnya, bagaimana dengan daerah lain?

Meski begitu, masih ada ruang untuk harapan. Keterlibatan Prabowo, yang punya kedekatan emosional dengan Aceh, serta pendekatan dialogis dari Bima Arya, menunjukkan kesadaran pemerintah atas risiko yang ada. Muslim Ayub optimis pulau-pulau itu akan kembali ke Aceh, bergantung pada validasi data baru.

Namun, keputusan akhir harus diambil dengan bijak, transparan, dan menghormati sejarah serta suara rakyat. Jika tidak, luka Aceh bisa semakin dalam—bukan hanya karena empat pulau kecil, tapi karena hilangnya kepercayaan terhadap republik ini.

Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar garis di peta. Ia membutuhkan rasa keadilan, empati, dan kebijakan yang mengayomi semua pihak. Pulau-pulau kecil ini mungkin tak berarti banyak bagi sebagian orang, tapi bagi Aceh, mereka adalah bagian dari jiwa. Dan jika kita tak berhati-hati, jiwa itu bisa retak.

Sumber:

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *