Connect with us

Opini

Empat Alasan di Balik Serangan Israel ke Iran

Published

on

Pada hari Kamis (12 Juni 2025) yang penuh ketegangan, parlemen Israel menghadapi ujian paling genting sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Oposisi mengajukan rancangan undang-undang untuk membubarkan Knesset, sementara dua partai ultra-Ortodoks—pilar koalisi Benjamin Netanyahu—mengancam akan mendukung langkah tersebut. Di tengah luka perang Gaza yang belum sembuh—866 tentara tewas, keluarga kehilangan anak-anak—Israel pecah dari dalam. Kegelisahan publik kian memuncak: mengapa sebagian rakyat harus gugur di medan perang, sementara komunitas Haredi tetap dilindungi oleh pengecualian wajib militer?

Sehari setelah ancaman itu mencuat, pada 13 Juni 2025, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Iran dalam Operasi Rising Lion, menargetkan fasilitas nuklir dan militer. Langkah ini memicu pertanyaan besar: apa yang mendorong Israel, terutama Netanyahu, memilih jalur konfrontasi militer di tengah krisis domestik yang belum mereda? Setidaknya ada empat alasan utama yang muncul. Keempatnya saling berkait, sarat dengan pertimbangan strategis sekaligus tekanan emosional—cerminan dari kompleksitas politik dan keamanan yang dihadapi negara tersebut.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

  1. Krisis Politik Internal yang Melemahkan Legitimasi Pemerintah

Krisis internal Israel, seperti dilaporkan vichara.id pada 12 Juni 2025, tak bisa dipandang sebagai latar semata. Isu wajib militer bagi komunitas Haredi telah lama menjadi bahan gesekan di masyarakat, namun perang Gaza membuat luka ini terbuka lebar. Kematian 866 tentara, banyak di antaranya anak-anak muda, memicu kemarahan yang luas. Ketika sebagian warga harus mengorbankan hidup mereka, komunitas Haredi tetap dikecualikan demi alasan studi agama. Ketimpangan ini bukan hanya memicu protes kelompok sekuler, tetapi juga mengguncang moral pasukan cadangan yang merasa dikorbankan secara tidak adil.

Times of Israel (15 Juni 2025) melaporkan bahwa partai-partai Haredi seperti United Torah Judaism dan Shas menolak undang-undang wajib militer, dan bahkan mengancam akan keluar dari koalisi jika undang-undang itu dipaksakan. Al Jazeera (16 Juni 2025) menambahkan bahwa koalisi Netanyahu hampir runtuh, sementara oposisi yang dipimpin Yair Lapid mendorong pemilu dini. Serangan ke Iran, yang dilakukan hanya sehari setelah dinamika politik ini memuncak, memberikan kesan kuat bahwa Israel sedang berusaha mengalihkan perhatian publik. Dengan mengalihkan fokus ke musuh eksternal, Netanyahu tampaknya berupaya membangun ulang kesatuan nasional di tengah ancaman keretakan dalam negeri.

  1. Ancaman Nuklir Iran: Alasan Strategis yang Menyatukan

Ancaman program nuklir Iran, narasi utama yang selama ini diusung Israel, menjadi dalih paling kuat untuk membenarkan serangan tersebut. The New Arab (16 Juni 2025) menyebutkan bahwa Operasi Rising Lion diarahkan pada fasilitas nuklir di Natanz dan Isfahan, dua lokasi kunci dalam program pengayaan uranium Iran. Pemerintah Israel mengklaim bahwa level pengayaan telah mencapai 60%—dekat dengan ambang batas yang diperlukan untuk senjata nuklir.

Netanyahu menyebut serangan itu sebagai langkah pencegahan demi mencegah ancaman eksistensial terhadap negaranya. Reuters (13 Juni 2025) mendukung narasi ini dengan menyatakan bahwa serangan dirancang untuk “mengatur ulang” program nuklir Iran. Namun, keraguan juga bermunculan. BBC News (17 Juni 2025) mengutip laporan IAEA yang tidak menemukan bukti bahwa Iran sedang membangun senjata nuklir. Bahkan mantan anggota Kongres AS Tulsi Gabbard pada Maret 2025 menyatakan hal serupa. Meski demikian, ketakutan terhadap potensi senjata nuklir Iran tetap menjadi perekat yang efektif di masyarakat Israel. Dalam suasana krisis politik, ancaman eksternal seperti ini menjadi alat yang ampuh untuk menggalang dukungan publik.

  1. Melemahkan Infrastruktur Militer Iran dan Pengaruh Regionalnya

Alasan strategis lainnya adalah melemahkan kekuatan militer Iran dan jaringan proksinya di kawasan. Reuters (13 Juni 2025) mencatat bahwa Israel menargetkan lebih dari 250 lokasi, termasuk markas besar Garda Revolusi Iran (IRGC). Serangan tersebut menewaskan sejumlah petinggi, termasuk Hossein Salami, dan dimaksudkan untuk menghambat kemampuan Iran dalam memberikan dukungan kepada kelompok seperti Hizbullah.

Menurut Al Jazeera (16 Juni 2025), kondisi ini dimanfaatkan Israel sebagai jendela peluang. Hamas sedang melemah, Hizbullah terkunci dalam tekanan ekonomi dan politik, dan rezim Assad di Suriah menghadapi tekanan internasional. Netanyahu, yang sejak lama menyebut Iran sebagai “kepala gurita” dengan proksi sebagai “tentakelnya”, memilih menyerang langsung ke pusat kendali. Bagi pemerintahan yang tengah goyah, keberhasilan militer seperti ini bisa menjadi pencapaian politik. Namun, balasan rudal dari Iran yang menghantam Tel Aviv dan menewaskan 16 orang (Reuters, 13 Juni 2025) menunjukkan bahwa serangan ini bukan tanpa konsekuensi besar.

  1. Retorika Perubahan Rezim: Strategi Psikologis

Salah satu narasi yang mengemuka pascaserangan adalah keinginan Netanyahu untuk “membebaskan rakyat Iran” dari pemerintahan Ayatollah Ali Khamenei. Dalam pidatonya pada 13 Juni 2025, dikutip BBC News (17 Juni 2025), ia menggambarkan Iran sebagai negara tertindas yang perlu diselamatkan dari “rezim jahat.” Reuters (13 Juni 2025) menyebut bahwa Israel sempat mempertimbangkan serangan langsung ke target elite seperti Khamenei, namun rencana itu ditolak oleh Amerika Serikat.

Bagi banyak pengamat, retorika ini lebih bersifat simbolik. Al Jazeera (16 Juni 2025) menilai langkah tersebut sebagai tekanan psikologis, bukan tujuan militer yang realistis. Bahkan akun-akun pengamat militer seperti @WarintheFuture (14 Juni 2025) menyebut “regime change” sebagai motif propaganda, tanpa adanya strategi nyata yang mendukung klaim itu. Dalam konteks politik domestik, narasi perubahan rezim di Iran membantu Netanyahu tampil sebagai pemimpin visioner. Ia mencoba mengalihkan sorotan publik dari ancaman pembubaran Knesset dan menjadikan dirinya simbol perjuangan melawan “musuh besar.” Namun kenyataannya, dengan struktur IRGC yang masih kuat dan jaringan loyalitas yang solid, perubahan rezim di Iran nyaris mustahil dalam waktu dekat.

Latar Palestina: Luka yang Belum Sembuh

Meskipun bukan alasan utama, kaitan antara serangan ke Iran dan konflik Palestina tetap relevan. Al Jazeera (16 Juni 2025) mengutip Netanyahu yang kembali menyebut Iran sebagai dalang di balik serangan 7 Oktober oleh Hamas. Dengan Hamas dan Hizbullah yang semakin tertekan, Iran dinilai sebagai penyokong utama eskalasi kekerasan di kawasan.

Middle East Eye (15 Juni 2025) melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Yoav Gallant dan Benny Gantz sama-sama melihat Iran sebagai ancaman eksistensial, baik secara langsung maupun melalui dukungan terhadap kelompok perlawanan Palestina. Dalam konteks domestik, serangan ke Iran juga berfungsi menutupi kegagalan operasi militer di Gaza, termasuk krisis sandera yang sampai sekarang belum sepenuhnya selesai (vichara.id, 12 Juni 2025).

Namun, fakta bahwa serangan ke Iran menyebabkan 406 korban jiwa di pihak Iran (Human Rights Activists, 15 Juni 2025), serta kematian 16 warga Israel dalam balasan rudal, menimbulkan pertanyaan besar: apakah langkah ini benar-benar memperbaiki situasi, atau justru memperburuk luka yang belum sembuh?

Perang di Dua Medan—Luar dan Dalam

Keempat alasan yang melandasi serangan ini—krisis domestik, ancaman nuklir, ambisi geopolitik, dan kaitan Palestina—tampak saling terkait dan saling memperkuat. Namun, narasi ancaman nuklir tampaknya paling dominan karena mampu menyatukan antara kebutuhan strategis dan tuntutan politik dalam negeri. The New Arab dan Reuters menegaskan bahwa fasilitas nuklir Iran menjadi sasaran utama, bahkan didukung secara diam-diam oleh Amerika Serikat. Ancaman ini bukan hanya nyata dalam persepsi militer, tetapi juga efektif sebagai pemicu solidaritas emosional masyarakat Israel.

Netanyahu, yang posisinya kian terancam oleh krisis internal, tampaknya memanfaatkan ancaman eksternal untuk memperkuat citra dan posisinya. Tapi seperti diingatkan oleh vichara.id, ketimpangan sosial di dalam negeri—terutama soal pengecualian Haredi—tetap menjadi bom waktu yang bisa merongrong legitimasi pemerintah, apa pun hasil dari operasi militer ke luar negeri.

Yang tersisa adalah potret sebuah negara yang berperang, bukan hanya dengan Iran, tetapi juga dengan dirinya sendiri. Serangan ke Iran bukan sekadar manuver militer, tetapi juga cerminan dari ketegangan yang lebih dalam: antara keamanan dan keadilan, antara ambisi kekuasaan dan harapan akan legitimasi. Jika ketimpangan sosial terus diabaikan, kemenangan militer tak akan cukup untuk menyatukan bangsa. Yang ada justru risiko retakan yang kian dalam—sebuah bahaya yang tidak kalah mengancam dari misil yang melesat di langit.

Sources: vichara.id (12 Juni 2025), The New Arab (16 Juni 2025), Reuters (13 Juni 2025), BBC News (17 Juni 2025), Al Jazeera (16 Juni 2025), Times of Israel (15 Juni 2025), Middle East Eye (15 Juni 2025), Human Rights Activists (15 Juni 2025), X posts (

@IsraelRadar_com,@WarintheFuture, 12-14 Juni 2025).
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer