Connect with us

Opini

Emas Geser Euro: Sinyal Goyahnya Keuangan Barat

Published

on

Emas kini telah melampaui euro sebagai aset cadangan global terbesar kedua berdasarkan nilai pasar, menurut laporan terbaru European Central Bank (ECB). Lonjakan pembelian emas oleh bank sentral—lebih dari 1.000 ton sepanjang 2024—dikombinasikan dengan kenaikan harga emas hingga menembus $3.500 per troy ounce, menandai posisi yang belum pernah dicapai sejak era Bretton Woods. Angka-angka ini bukan sekadar data di atas kertas; ia mencerminkan gelombang keresahan global yang bergulung di balik krisis Ukraina, ketegangan geopolitik antara AS dan Tiongkok, serta ketidakstabilan yang mencengkeram Timur Tengah. Dunia tampaknya tengah mencari jangkar yang lebih netral, dan emas—aset klasik yang tak terikat pada satu kekuatan politik pun—kembali menjadi pilihan utama.

Namun, apa makna semua ini bagi euro, bagi Eropa, dan bahkan bagi Indonesia?

Sistem keuangan global bagaikan sebuah kapal raksasa yang berlayar di lautan geopolitik yang semakin berombak. Selama puluhan tahun, dolar AS dan euro menjadi jangkar utama yang menjaga kestabilan arah. Namun kini, menurut ECB, salah satu jangkar itu mulai terangkat. Emas kini menyumbang 20% dari total nilai cadangan devisa global, mengungguli euro yang hanya 16%. Ini bukan sekadar pergeseran angka, tetapi sinyal kuat bahwa kepercayaan terhadap sistem keuangan Barat sedang mengalami ujian serius.

Bank-bank sentral—terutama dari negara-negara berkembang yang hubungan politiknya lebih kompleks dengan Barat—berbondong-bondong membeli emas. Volume pembelian emas dua kali lipat dari rata-rata tahunan dekade sebelumnya. Dua pertiga di antara mereka melakukannya demi diversifikasi cadangan, sementara hampir separuhnya bertujuan mencari perlindungan dari risiko geopolitik. Cadangan emas global kini menyentuh angka 36.000 ton, mendekati puncak yang pernah dicapai pada 1965—angka yang berbicara banyak tentang suasana ketidakpastian yang menyelimuti dunia saat ini.

Mengapa emas?

Di tengah pusaran sanksi terkait invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing, serta upaya negara-negara BRICS untuk keluar dari bayang-bayang dolar, emas tampil sebagai satu-satunya aset yang netral. Ia tak berpihak, tak bisa dibekukan oleh lembaga keuangan Barat, dan tak bergantung pada kebijakan moneter dari Washington atau Frankfurt. Negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Rusia—para pembeli emas terbesar saat ini—seolah hendak berkata: kami ingin menyimpan cadangan dalam bentuk yang tidak bisa disanksi, yang tak mudah terguncang oleh keputusan politik luar negeri. Ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga pernyataan tentang kedaulatan.

Indonesia pun tak luput dari tren ini. Bank Indonesia tercatat menambah cadangan emas dari 78,6 ton pada 2022 menjadi 78,9 ton pada 2023, menurut data World Gold Council. Meski skalanya jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara besar, langkah ini mencerminkan kehati-hatian serupa. Di tengah ketidakpastian global, emas kembali dipandang sebagai perlindungan.

Sementara itu, euro—walaupun masih menjadi mata uang kedua yang paling banyak digunakan di dunia—mengalami penurunan posisi berdasarkan nilai pasar. ECB menegaskan bahwa peran internasional euro “secara umum stabil,” dengan pangsa sekitar 20% jika dihitung berdasarkan nilai tukar tetap. Namun dalam konteks nilai pasar, emas telah mengunggulinya. Kenaikan harga emas tidak hanya meningkatkan nilainya, tetapi juga menggeser persepsi global mengenai kepercayaan terhadap euro. Bank-bank sentral yang dulunya menyimpan euro sebagai cadangan kini mulai memperluas portofolio mereka ke arah yang lebih netral dan tahan banting: emas.

Perlu diingat, euro masih digunakan secara luas dalam perdagangan internasional, penerbitan utang, dan transaksi lintas batas. Tapi pergeseran ini menunjukkan adanya celah dalam fondasi kepercayaan. Dan dalam dunia keuangan, kepercayaan adalah segalanya. Ketika lembaga-lembaga keuangan global menunjukkan preferensi terhadap emas, itu semacam pengakuan diam-diam bahwa sistem yang ada mulai goyah. Lebih pelik lagi, tantangan terhadap dominasi euro (dan juga dolar) kini tidak hanya datang dari emas, tetapi juga dari kriptokurensi dan stablecoin yang didukung oleh obligasi AS.

Menurut ECB, mata uang digital ini mulai merambah ranah pembayaran lintas batas, memberikan alternatif baru di luar sistem konvensional. Dunia seolah sedang menjajaki jalur-jalur alternatif, mencari solusi baru untuk tatanan ekonomi yang semakin kompleks. Munculnya stablecoin dan potensi euro digital yang sedang dikembangkan ECB sendiri menunjukkan bahwa bahkan di jantung sistem keuangan Barat pun ada kesadaran bahwa perubahan sedang bergulir.

Bagi Eropa, dampak dari pergeseran ini tak bisa dianggap enteng. Jika kepercayaan terhadap euro terus menurun, nilai tukarnya bisa tertekan, membuat impor—terutama energi—menjadi lebih mahal. Inflasi bisa melonjak, dan tekanan ekonomi akan dirasakan langsung oleh masyarakat dari Berlin hingga Lisbon. Indonesia pernah merasakan guncangan serupa, misalnya ketika harga minyak dunia melonjak pada 2022 dan memicu krisis bahan bakar domestik. Bagi Eropa, situasinya bisa lebih rumit karena ketergantungan pada energi impor jauh lebih tinggi.

Tak hanya itu, pelemahan euro bisa menaikkan biaya pinjaman negara-negara di Zona Euro. Negara-negara dengan rasio utang tinggi seperti Italia dan Yunani akan menghadapi tekanan tambahan. Suku bunga obligasi pemerintah bisa melonjak, memperberat beban fiskal dan membatasi ruang fiskal untuk pengeluaran publik. Implikasinya sangat nyata—bukan hanya dalam laporan keuangan negara, tapi juga dalam bentuk layanan publik yang terganggu: sekolah-sekolah kekurangan dana, rumah sakit menghadapi pemotongan anggaran, dan proyek infrastruktur yang tertunda.

Namun persoalannya tak berhenti di bidang ekonomi semata. Euro adalah simbol integrasi politik Eropa, sebuah eksperimen ambisius untuk menyatukan kepentingan negara-negara yang berbeda di bawah satu mata uang. Jika peran euro sebagai mata uang cadangan global terus merosot, maka daya tawar geopolitik Uni Eropa juga akan ikut terkikis. Dalam negosiasi perdagangan atau penerapan sanksi internasional, kekuatan euro sering kali menjadi salah satu alat diplomasi. Jika alat itu kehilangan bobot, posisi Eropa pun ikut terdorong ke pinggir.

Situasi ini memiliki konsekuensi pula bagi Indonesia. Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar keempat Indonesia, dengan nilai perdagangan mencapai $30 miliar pada 2023, menurut Kementerian Perdagangan. Jika euro melemah, ekspor Indonesia ke Eropa—seperti minyak sawit dan tekstil—bisa menjadi lebih kompetitif karena harga menjadi lebih murah. Namun, risiko nilai tukar yang fluktuatif juga meningkat, yang pada akhirnya bisa merugikan pelaku usaha dalam negeri.

Kemudian muncul pertanyaan yang lebih besar: apakah kita sedang menyaksikan permulaan dari transformasi besar dalam sistem keuangan global? Laporan ECB mengisyaratkan bahwa banyak negara kini secara aktif mengeksplorasi sistem pembayaran lintas batas alternatif. Ini bukan sekadar eksperimen teknologi, melainkan refleksi atas ketidakpuasan terhadap status quo. Negara-negara BRICS telah lama mengkampanyekan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan, sebagai upaya keluar dari dominasi dolar dan euro. ASEAN, termasuk Indonesia, mulai menerapkan transaksi lintas batas dengan mata uang lokal seperti ringgit dan baht, meskipun skalanya masih terbatas.

Langkah-langkah ini, meski belum revolusioner, menunjukkan bahwa dunia tengah mengatur ulang peta kekuatan finansial. Apakah emas akan kembali menjadi jangkar utama sistem moneter global, seperti di era Bretton Woods? Ataukah dunia justru bergerak menuju sistem desentralisasi berbasis teknologi seperti blockchain dan kripto?

Pertanyaan fundamentalnya adalah: apa yang membuat sebuah mata uang dipercaya?

Euro, sekuat apapun, adalah produk kesepakatan politik dan kebijakan ekonomi yang harus terus dijaga. Ia bergantung pada kepercayaan terhadap kebijakan ECB dan kestabilan politik Eropa. Emas, di sisi lain, memiliki citra keabadian—tak bergantung pada siapa pun, tak terikat pada satu kebijakan pun. Ketika bank sentral memilih menumpuk emas, itu adalah sinyal bahwa kepercayaan terhadap institusi keuangan global mungkin sedang mengalami krisis diam-diam.

Bagi Indonesia, ini adalah momen reflektif. Kita pernah merasakan bagaimana rupiah tertekan setiap kali dolar menguat. Ketergantungan terhadap mata uang asing masih tinggi, sementara cadangan emas kita masih sangat kecil dibandingkan negara-negara lain. Di tengah arus global yang mulai bergeser, Indonesia perlu memikirkan kembali strategi cadangan devisanya. Apakah kita perlu lebih serius menambah porsi emas, atau lebih aktif membangun sistem transaksi regional berbasis mata uang lokal? Atau mungkin keduanya?

Satu hal yang pasti: dunia sedang berubah. Dan dalam perubahan itu, kita tak bisa hanya menjadi penonton.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *