Connect with us

Opini

Elon Musk dan Paradoks Efisiensi

Published

on

Kabut pagi masih menggantung tipis di atas National Mall, tapi jalan-jalan di sekitar Capitol Hill sudah dipenuhi lautan manusia. Di antara suara klakson yang sesekali memecah kesunyian, terdengar nyanyian protes yang tak henti-hentinya: “Hands off our Constitution!” Spanduk dan poster berwarna mencolok menghiasi kerumunan, sebagian membawa tulisan “Government by the Billionaire, for the Billionaire.” Sementara itu, dari balik jendela kaca gedung Departemen Keuangan, seorang pegawai IRS memandangi massa dengan campuran kecemasan dan kelelahan—ia baru saja menerima pemberitahuan bahwa posisinya akan dihapuskan.

Amerika sedang berubah. Dan perubahan itu datang dengan cepat, brutal, dan nyaris tanpa perdebatan publik.

Setelah kemenangannya yang dramatis, Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih. Namun, masa jabatan keduanya tidak hanya ditandai oleh retorika populis dan gaya berpolitik yang frontal, melainkan juga oleh kemunculan figur baru dalam tata kelola pemerintahan: Elon Musk. Miliarder teknologi yang sebelumnya dikenal karena terobosan di dunia transportasi, luar angkasa, dan kecerdasan buatan, kini menjabat sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintah—Department of Government Efficiency atau DOGE, sebuah lembaga baru hasil rekayasa Trump dalam agenda reformasi besar-besaran.

DOGE bukan sekadar unit kerja biasa. Ia dibekali kewenangan luar biasa untuk merombak, merampingkan, bahkan membubarkan lembaga-lembaga negara yang dianggap “tidak efisien.” Dengan Musk sebagai nakhodanya, DOGE menjelma menjadi proyek eksperimen sosial berskala nasional—di mana prinsip manajemen korporat diterapkan langsung ke tubuh negara. Dan salah satu korban pertamanya adalah IRS, lembaga pemungut pajak yang menjadi tulang punggung fiskal Amerika Serikat.

Dalam rencana reformasi yang diumumkan sebagai bagian dari “Super Efficiency Act,” sekitar 20.000 pegawai IRS akan dirumahkan. Ini berarti seperempat dari seluruh tenaga kerja lembaga tersebut akan dihilangkan. Unit-unit yang selama ini menangani edukasi wajib pajak, audit sukarela, hingga pengawasan etika dan hak sipil seperti Office of Civil Rights and Compliance, akan ditiadakan sama sekali. Pemerintah menyebutnya sebagai langkah menuju “modernisasi total.” Namun, bagi para pengamat dan aktivis hak sipil, ini adalah sinyal peringatan akan runtuhnya prinsip keadilan dalam sistem perpajakan.

Gelombang demonstrasi pun meluas. Data dari American Civil Watch mencatat setidaknya 1.341 aksi protes dalam tiga bulan terakhir. Di Portland, mahasiswa turun ke jalan menentang pemotongan anggaran untuk pendidikan. Di Sylva, North Carolina, warga membentuk barikade di kantor taman nasional setelah mengetahui dana pemeliharaan akan dihentikan. Di Boston, penangkapan Rumeysa Ozturk—mahasiswa doktoral yang sedang mengumpulkan tanda tangan petisi antirestrukturisasi USAID—oleh agen federal tanpa surat perintah, menjadi pemicu ledakan kemarahan di dunia akademik.

Di balik semua ini, ada narasi besar yang sedang dijalankan oleh duet Trump-Musk: efisiensi negara sebagai agenda penyelamatan fiskal. Dengan utang nasional yang telah menembus $34 triliun, dan anggaran federal yang mencapai $6,1 triliun, Trump menggandeng Musk untuk memangkas $2 triliun dalam waktu dua tahun. Targetnya bukan hanya birokrasi, tapi juga lembaga-lembaga non-kementerian seperti USAID, USIP, dan bahkan bagian-bagian dari Departemen Pendidikan dan Pertahanan.

USAID akan dibubarkan total, dengan seluruh fungsinya diserap ke dalam Departemen Luar Negeri—tanpa penambahan anggaran maupun tenaga kerja. Begitu pula dengan United States Institute of Peace, yang akan kehilangan separuh staf dan seluruh kegiatan lapangan di Asia dan Afrika. Dampaknya? Program bantuan kemanusiaan, pembangunan desa, dan resolusi konflik yang selama ini dilakukan Amerika di berbagai belahan dunia, tiba-tiba lenyap begitu saja.

Bagi para pendukung kebijakan ini, langkah tersebut adalah bentuk keberanian untuk melawan pemborosan. Musk sendiri berkali-kali mengutip prinsip “Zero Base Governance“—di mana setiap lembaga harus membuktikan nilai dan efektivitasnya dari nol. Tak ada lagi anggaran yang didistribusikan hanya karena alasan historis atau politik. Semua harus berbasis pada metrik, data, dan cost-benefit analysis.

Namun kritik datang dari berbagai penjuru. Akademisi menyebut pendekatan Musk sebagai “kalkulasi algoritmik yang mengabaikan dimensi manusia.” Penghapusan lembaga-lembaga sipil dianggap bukan sekadar pemangkasan, tapi juga dekonstruksi negara kesejahteraan. Seorang pejabat senior IRS yang tak mau disebutkan namanya berkata, “Ini bukan reformasi. Ini penghapusan fungsi negara. Pajak tetap dipungut, tapi siapa yang mengawasi keadilannya?”

Belum lagi konflik kepentingan yang semakin terbuka. Musk, dengan kekayaan bersih $421 miliar dan kontrak pemerintah bernilai miliaran dolar—termasuk $1,8 miliar untuk Starlink bersama Departemen Pertahanan—seolah-olah berdiri di dua sisi mata uang: sebagai mitra strategis negara sekaligus pemegang kendali atas efisiensi negara. Ia bukan hanya mengarahkan anggaran, tetapi juga mengeruk keuntungan dari arah kebijakan tersebut.

Situasi ini mendorong reaksi keras dari legislatif. Kongresman Al Green kembali memunculkan mosi pemakzulan terhadap Trump—yang keempat dalam karier politiknya. Kali ini, tuduhannya jelas: menyerahkan kendali pemerintahan kepada korporatokrat. “Kita sedang menghadapi sebuah eksperimen sosial yang mempertaruhkan masa depan bangsa. Presiden telah membuka pintu lebar-lebar bagi oligarki untuk mengambil alih sistem,” ujar Green dalam konferensi persnya.

Namun, suara oposisi semakin sulit terdengar di tengah dominasi politik yang solid. Dengan Senat dan Mahkamah Agung yang cenderung berpihak pada Trump, dan mesin propaganda digital yang dimotori perusahaan-perusahaan teknologi besar, kritik seolah terjebak dalam ruang gema yang sempit. Bahkan lembaga-lembaga pemantau seperti Freedom House dan Center for Public Integrity melaporkan adanya tekanan administratif terhadap media independen yang terlalu kritis pada kebijakan DOGE.

Di jalanan, aksi terus berlanjut. Di ruang rapat, spreadsheet efisiensi terus digulirkan. Di media sosial, narasi perlawanan hidup dalam bentuk meme, video pendek, dan thread-thread viral tentang hilangnya akses publik terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan sipil. Tapi satu pertanyaan besar kini menggantung di udara: Apakah efisiensi adalah jalan menuju masa depan yang lebih baik, atau sekadar kedok untuk membungkam demokrasi?

Mungkin sejarah akan menjawabnya. Tapi bagi ribuan pegawai IRS yang sedang mengemas kotak-kotak terakhir mereka, atau para mahasiswa yang kehilangan beasiswa karena pemotongan mendadak, jawaban itu sudah sangat jelas.

 

*Sumber:

https://english.almayadeen.net/news/politics/-hands-off—protests-sweep-us-against-trump–musk

https://english.almayadeen.net/news/politics/democratic-congressman-to-propose-trump-s-impeachment-within

https://www.rt.com/news/615271-irs-sack-quarter-staff-trump/

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *