Connect with us

Opini

Ekspor Indonesia ke Israel: Luka di Tengah Solidaritas Palestina

Published

on

Pada tahun 2024, menurut data United Nations COMTRADE, Israel mengimpor barang dari Indonesia senilai US$277,06 juta. Angka ini—meskipun tak sebesar ekspor ke negara lain—mencuat sebagai ironi di tengah gelombang dukungan rakyat Indonesia terhadap Palestina. Saat doa-doa dipanjatkan di masjid-masjid Jawa, aksi bela Palestina digelar dari Aceh hingga Papua, dan suara Indonesia lantang terdengar di forum internasional, barang-barang produksi anak bangsa justru mengalir ke negeri yang kerap disebut sebagai simbol penjajahan modern.

Saya gelisah. Terus terang, saya tak bisa diam. Membayangkan sepatu hasil kerja buruh di Bogor, minyak sawit dari petani Kalimantan, atau peralatan elektronik buatan pabrik di Tangerang, masuk ke pasar Israel, sungguh mengganggu hati nurani. Bagaimana bisa bangsa yang lahir dari semangat anti-penjajahan berdamai dengan realitas seperti ini?

Laporan Trading Economics yang diperbarui hingga Mei 2025 menyingkap fakta-fakta pahit: alas kaki tercatat sebagai komoditas terbesar, mencapai US$58,52 juta. Disusul minyak nabati, sebesar US$40,78 juta. Lalu peralatan elektronik US$39,46 juta, kakao US$16,88 juta, serat buatan US$13,57 juta, dan furnitur senilai US$6,42 juta. Tak berhenti di situ—kertas, mainan, tembakau, bahkan gula dan minyak esensial, semuanya tercatat masuk ke Israel. Nilainya mungkin kecil jika dibandingkan ekspor nasional ke negara besar lain, tetapi bobot moralnya sangat berat.

Saya mencoba memahami. Banyak dari ekspor ini memang dilakukan oleh pelaku swasta: eksportir di Bandung, pengusaha di Surabaya, atau pabrik di kawasan industri Jawa Barat. Tak semua dari mereka tahu tujuan akhir barang yang mereka kirimkan. Bisa saja produk diekspor ke negara ketiga terlebih dahulu—seperti Singapura atau Malaysia—lalu diteruskan ke Israel. Namun, data COMTRADE menunjukkan bahwa jejak akhirnya bisa dilacak. Jika Israel mencatat impornya, seharusnya kita juga bisa mengetahui jalur ekspor tersebut.

Pertanyaannya kemudian: apakah pemerintah tahu dan membiarkan ini terjadi? Saya rasa tidak mungkin institusi seperti Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan tak menyadari pola ini. Jika data perdagangan internasional bisa diakses publik, tentu otoritas negara memiliki akses yang lebih rinci dan lengkap. Mengapa tidak ada imbauan, regulasi, atau sekadar klarifikasi kepada publik? Bukankah konsistensi antara sikap politik dan aktivitas ekonomi menjadi tolok ukur integritas sebuah bangsa?

Saya memahami dilema ini tak sederhana. Ekspor mendatangkan devisa. Ia membuka lapangan kerja, menjadi tumpuan hidup jutaan rakyat. Tapi apakah ekonomi harus berjalan dengan mengorbankan prinsip? Apakah kita rela keringat rakyat Indonesia menjadi bagian dari rantai pasokan yang akhirnya menguntungkan entitas yang menindas bangsa lain?

Mari kita bayangkan. Seorang petani sawit di Sumatera bekerja keras sepanjang tahun. Ia tak tahu bahwa sebagian hasil panennya, yang dijual lewat rantai distribusi panjang, bisa saja berakhir di pabrik sabun di Israel. Seorang buruh pabrik sepatu di Bogor mungkin merasa bangga produknya diekspor ke luar negeri. Tapi bagaimana perasaannya jika tahu bahwa alas kaki yang ia jahit dengan teliti itu dipakai oleh tentara Israel? Realitas ini mengiris hati. Bukan karena kita membenci, tetapi karena kita punya prinsip.

Indonesia menolak hubungan diplomatik dengan Israel. Kita mengirim bantuan kemanusiaan ke Gaza, menyuarakan keprihatinan di PBB, dan rakyat kita tak pernah absen menyuarakan solidaritas. Itu semua patut diapresiasi. Namun, solidaritas sejati memerlukan konsistensi. Jika tangan kita berbisnis, sementara mulut kita berdoa, apa arti dari semua itu? Apakah dukungan kita untuk Palestina sekadar gema emosional, tanpa kekuatan nyata?

Solusi memang tak bisa hitam-putih. Melarang total ekspor ke Israel bisa berdampak pada ekonomi nasional dan menimbulkan polemik legal. Namun, ada langkah-langkah yang bisa dilakukan: pemerintah bisa memperkuat sistem pelacakan tujuan akhir ekspor, meningkatkan transparansi jalur perdagangan, bahkan mengeluarkan peringatan kepada eksportir agar tidak menjual ke entitas yang berpotensi melanggar prinsip politik luar negeri Indonesia. Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai bisa mengembangkan mekanisme pengawasan khusus terhadap ekspor yang rentan dialihkan ke pasar Israel melalui pihak ketiga.

Lebih jauh lagi, publik juga berhak tahu. Pemerintah bisa merilis daftar komoditas atau perusahaan yang produk-produknya tercatat masuk ke Israel, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Ini bukan soal menghukum, melainkan mengedukasi dan mengajak dunia usaha untuk turut menjaga martabat bangsa. Solidaritas tak hanya milik aktivis dan pemuka agama, tetapi juga pengusaha, eksportir, dan semua elemen masyarakat.

Saya percaya, kita masih bisa memperbaiki ini. Tidak perlu saling menyalahkan, cukup mulai dengan kesadaran bersama bahwa dukungan kita untuk Palestina tak boleh menjadi simbol tanpa substansi. Konsistensi adalah fondasi moral dari perjuangan. Kita bisa mencari jalan tengah yang menjunjung tinggi kemanusiaan tanpa mematikan ekonomi rakyat. Kita bisa mengarahkan ekspor ke pasar-pasar lain yang sejalan dengan nilai-nilai kita.

Indonesia lahir dari semangat melawan penjajahan. Pembukaan UUD 1945 menegaskan: kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Prinsip itu tak boleh hanya menjadi teks dalam dokumen negara. Ia harus hidup dalam tindakan, dalam keputusan ekonomi, dan dalam arah kebijakan perdagangan.

Saya menulis ini bukan untuk menyerang siapa pun, tetapi sebagai panggilan moral. Karena saya percaya, banyak di antara kita yang juga gelisah melihat paradoks ini. Saya yakin kita ingin menjadi bangsa yang bukan hanya vokal, tetapi juga konsisten dalam perjuangan. Bukan hanya berteriak untuk Palestina di jalanan, tetapi juga menjaga agar hasil bumi dan kerja keras rakyat kita tak mengalir ke tangan yang menindas.

Mari kita renungkan. Apa arti dari dukungan jika ia tak dijaga dengan kebijakan? Apa makna dari solidaritas jika ekonomi kita justru memperkuat apa yang kita lawan? Semoga tulisan ini menjadi awal dari percakapan yang lebih luas—antara rakyat, pemerintah, dan pelaku usaha—untuk membangun Indonesia yang bukan hanya bersuara untuk kemanusiaan, tapi juga bertindak dengannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *