Connect with us

Opini

Eksodus Diam-Diam Warga Tel Aviv

Published

on

Ribuan lampu berkelap-kelip di Tel Aviv, kota yang biasanya berdengung dengan inovasi dan ambisi, kini terasa hening di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Di balik gedung-gedung bertingkat dan pusat teknologi mutakhir, sebuah eksodus tengah berlangsung—pelan namun pasti. Menurut laporan Israeli Channel 13, dalam setahun terakhir, 1.700 jutawan telah meninggalkan Israel, membawa serta kekayaan dan keyakinan mereka. Sementara itu, Ynet mencatat 8.300 pekerja hi-tech—sekitar 2,1% dari total tenaga kerja sektor ini—juga hengkang sejak perang Gaza dimulai hingga Juli 2024. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah lonceng peringatan bahwa “Startup Nation” mungkin sedang kehilangan daya tariknya.

Para jutawan, dengan jet pribadi dan rekening bank tak terbatas, selalu punya pilihan untuk pergi saat badai datang. Kepergian mereka telah memicu kekhawatiran serius di kalangan ekonom Israel. Ini bukan sekadar tentang uang yang hilang—meskipun itu sendiri sudah signifikan—tetapi juga tentang sinyal yang mereka kirimkan ke dunia. Jika orang-orang terkaya di Israel tak lagi percaya pada masa depan negaranya, bagaimana mungkin investor asing diyakinkan?

Sektor swasta Israel, yang selama ini bergantung pada modal besar untuk mendorong inovasi, menghadapi ancaman nyata. Moody’s Investors Service, dalam laporan akhir Maret, memperingatkan bahwa “risiko politik sangat tinggi” telah melemahkan kekuatan ekonomi dan fiskal Israel, dengan sektor hi-tech sebagai titik paling rentan. Tak heran, karena kepercayaan adalah mata uang utama dalam dunia investasi.

Sementara itu, kehilangan 8.300 pekerja hi-tech adalah pukulan yang tak kalah telak. Bayangkan ribuan insinyur, pengembang perangkat lunak, dan pemikir visioner—yang pernah membangun perusahaan seperti Waze atau Mobileye—kini membawa keahlian mereka ke Silicon Valley, London, atau Berlin. Laporan Ynet menyebut angka ini “sangat mengkhawatirkan,” dan memang begitu. Sektor teknologi tinggi menyumbang sekitar 20% dari PDB Israel dan lebih dari separuh ekspor negara itu. Ketika pekerja terbaik pergi, mereka tak hanya membawa koper, tapi juga ide-ide yang seharusnya menjadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Perang di Gaza yang telah berlangsung lebih dari setahun menjadi pemicu utama gelombang migrasi ini. The Jerusalem Post pada Februari melaporkan bahwa ekonomi Israel terus tertekan di paruh kedua 2024. Konflik berkepanjangan mengikis kepercayaan investor dan menambah instabilitas finansial. Bank of Israel mencatat risiko makroekonomi tetap tinggi, meski ada perbaikan kecil di sektor kredit. Namun, perbaikan itu ibarat tambalan kecil pada luka yang menganga. IMF bahkan merevisi proyeksi pertumbuhan PDB Israel untuk 2024 menjadi hanya 0,7%—jauh di bawah rata-rata historis 3–4%.

Tekanan tak hanya datang dari konflik, tapi juga dari dinamika global. Pada 4 April 2025, dijuluki “Liberation Day” oleh Donald Trump, AS mengumumkan tarif terhadap sekutu dan lawan tanpa pandang bulu. Ironisnya, Israel—yang baru saja menghapus semua tarif impor dari AS atas perintah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich—justru kena tarif balasan: 17% pada barang-barangnya. Ini termasuk peralatan medis dan teknologi yang menjadi tulang punggung ekspor. Sebuah langkah yang mengancam miliaran dolar pendapatan dan memperlemah posisi Israel di pasar global.

Di tengah semua ini, gejolak sosial dalam negeri makin membara. Ribuan warga turun ke jalan di Tel Aviv, menuntut pembebasan 59 sandera di Gaza dan mengecam keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memberhentikan kepala Shin Bet, Ronen Bar. Ketidakpuasan ini lebih dari sekadar tuntutan pembebasan; ini adalah refleksi dari kekecewaan publik terhadap arah pemerintahan yang dianggap kehilangan kompas. Ilana Gritsevsky, mantan sandera yang suaminya masih ditahan, berteriak lantang di tengah kerumunan: “Bebaskan mereka semua sekarang!”

Mengapa para jutawan dan pekerja hi-tech ini pergi? Jawabannya mungkin terletak pada kombinasi pragmatisme dan pencarian kualitas hidup. Ketidakpastian ekonomi, pajak yang meningkat untuk membiayai perang, serta ancaman keamanan yang terus membayangi, menjadi alasan kuat bagi mereka yang mampu untuk pindah. Untuk pekerja hi-tech, gaya hidup dan keseimbangan juga penting: Israel, dengan biaya hidup tinggi dan tekanan wajib militer, kalah bersaing dengan kota-kota seperti Austin atau Munich yang menawarkan stabilitas dan gaji kompetitif.

Tentu, ini bukan pertama kalinya Israel menghadapi eksodus. Pasca-Perang Yom Kippur 1973, banyak warga yang kecewa juga pergi. Namun, Israel bangkit kembali berkat inovasi dan dukungan diaspora. Pertanyaannya sekarang: apakah sejarah akan berulang? Sayangnya, konteks hari ini jauh lebih kompleks. Isolasi internasional kian dalam, dengan surat perintah penangkapan dari ICC terhadap Netanyahu dan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang, serta kasus genosida di ICJ. Investor yang dulu memuja Israel sebagai pusat teknologi kini mulai meragukannya, sebagaimana dicatat Moody’s tentang “ketidakpastian jangka panjang” pada sektor hi-tech.

Eksodus ini juga mencerminkan perpecahan sosial yang kian tajam. Protes di jalanan, kritik dari tokoh militer seperti Mayor Jenderal (Purn) Noam Tibon, dan krisis kepercayaan terhadap institusi negara menunjukkan bahwa Israel tak hanya berperang di Gaza, tetapi juga bergulat dengan diri sendiri. Ketika negara gagal menawarkan solusi untuk sandera, ekonomi, dan stabilitas, mereka yang mampu—baik secara finansial maupun intelektual—memilih untuk pergi. Sebuah ironi getir: negara yang dibangun sebagai tempat perlindungan kini ditinggalkan oleh mereka yang paling mampu bertahan di mana saja.

Apakah ini akhir dari “Startup Nation”? Belum tentu. Israel masih memiliki aset: diaspora Yahudi yang solid, sejarah ketangguhan, dan infrastruktur teknologi yang masih kuat. Tapi angka 1.700 jutawan dan 8.300 pekerja hi-tech yang telah pergi bukanlah hal remeh. Tanpa stabilitas politik, penyelesaian konflik, dan kebijakan ekonomi yang cermat, eksodus ini bisa menjadi banjir yang tak terbendung.

Bayangkan Tel Aviv tanpa gemerlap startup, tanpa investor yang berlomba-lomba masuk. Bayangkan sebuah negara yang kehilangan otak dan dompet terbaiknya, sementara tekanan dari luar dan dalam terus menggerus. Data IMF dan peringatan Moody’s bukan sekadar angka; mereka adalah refleksi dari realitas yang mengkhawatirkan. Ini bukan hanya soal siapa yang pergi, tapi juga tentang apa yang ditinggalkan: sebuah negeri yang tengah berada di persimpangan sejarah.

Saya menatap laporan-laporan itu lagi, mendengar jeritan protes di Tel Aviv, dan bertanya: apa yang dibutuhkan agar orang-orang ini kembali? Mungkin jawabannya sederhana, namun sulit: damai, kepercayaan, dan visi yang tak lagi dikorbankan demi ambisi politik sempit. Sampai itu tercapai, lampu-lampu di Tel Aviv akan terus meredup, satu per satu, membawa serta harapan yang dulu menyala terang. Israel harus memilih: memperbaiki diri atau menyaksikan eksodus berubah menjadi exodus sejati.

Sumber:

  1. https://english.almayadeen.net/news/politics/millionaires-exodus-deal-mighty-blow-to-israeli-economy–isr
  2. https://www.middleeastmonitor.com/20250408-thousands-of-israelis-protest-for-return-of-captives-slam-shin-bet-chiefs-dismissal/

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *