Opini
Ekonomi Terjepit: PHK, Pengangguran, dan Harapan yang Pincang

Di studio Kompas TV, pagi itu, udara terasa tebal dengan angka-angka yang dingin. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2025 melambat, pengangguran merangkak naik, dan PHK—oh, PHK—menjadi hantu yang tak lagi malu-malu menampakkan wajahnya: 24.000 jiwa menurut Kemenaker, 77.000 kalau BPJS yang bicara. Ironi yang absurd, bukan? Kita berharap kebijakan pemerintah bakal jadi penyelamat, tapi di lapangan, realitas justru menertawakan optimisme itu. Ada 3,59 juta lapangan kerja baru, katanya, tapi pengangguran absolut malah membengkak dari 7,2 jadi 7,28 juta. Ini Indonesia, tempat angka-angka dansa dengan paradoks, dan kita, rakyatnya, cuma bisa menonton sambil menghela napas.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam, dengan nada yang setengah pasrah setengah berapi-api, bilang PHK bukan cuma cerita Indonesia. Dunia pun demikian, katanya, sibuk bertransformasi digital, menendang pekerja ke pinggir jalan demi efisiensi. Singapura saja, bank besar di sana merencanakan PHK lima tahun ke depan, semua demi mesin dan algoritma. Tapi di sini, di negeri yang katanya kaya bonus demografi, transformasi itu terasa seperti pisau tumpul: memotong pelan, tapi sakitnya lama. Industri pengolahan dan jasa, penyerap tenaga kerja terbesar, justru yang paling babak belur. Pelemahan ekonomi global, perang dagang, konflik Rusia-Ukraina—semua jadi alasan yang rapi untuk menjelaskan kenapa 18 juta pekerja di sektor manufaktur kini menatap masa depan dengan cemas.
Lalu ada Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Demokrat, Fathi yang dengan penuh semangat bilang bahwa bonus demografi seharusnya jadi keuntungan. Tapi, ya Tuhan, betapa ironisnya! Angkatan kerja baru, 3-4 juta jiwa tiap tahun, masuk pasar kerja dengan harapan, tapi apa yang mereka temui? Pabrik yang tutup, kredit yang kering, dan lowongan kerja yang lebih langka dari oase di gurun. “Harusnya ini dorongan ekonomi, bukan beban,” katanya. Betul, Pak, tapi kalau perangkatnya tak siap, bonus demografi cuma jadi bom waktu. Dan bom itu sudah mulai berdetak, terdengar dari desa-desa yang kini penuh anak muda menganggur, nongkrong di warung kopi, scrolling X tanpa tujuan.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar menambahkan lapisan ironi lain. Data BPS, katanya, problematik. Tingkat pengangguran terbuka turun dari 4,82% ke 4,76%, tapi itu cuma topeng. Pekerja yang tak dibayar—ya, mereka yang kerja bakti di sawah atau bantu-bantu di warung keluarga—dianggap pekerja formal. Ini statistik yang menipu, seperti menyatakan pasien sehat karena demamnya turun setengah derajat. Realitasnya, kualitas kerja di Indonesia buruk, dan pengangguran sejati jauh lebih banyak dari 7,28 juta yang dilaporkan. Media bilang, “PHK bisa terjadi meski pengangguran turun.” Absurd, tapi masuk akal. Ekonomi kontraksi, perusahaan tunda ekspansi, dan pekerja—terutama di sektor tekstil, garmen, alas kaki—jadi korban pertama.
Tapi tunggu, jangan buru-buru putus asa. Para narasumber ini punya solusi, atau setidaknya mimpi tentang solusi. Bob Azam bilang pemerintah harus kasih stimulus, fokus ke sektor yang punya efek pengganda besar—UMKM, misalnya. “Kalau dikasih satu, harus balik 1,2 atau 1,3,” katanya, seolah ekonomi adalah mesin slot yang bisa diprogram ulang. Tapi dia juga realistis: likuiditas kita kering, pemerintah butuh duit, swasta butuh kredit, dan BI sibuk jaga rupiah. Prioritasnya ke mana? Ini seperti permainan rebutan kursi, dan pekerja yang paling sering kehilangan tempat duduk.
Fathi, dengan nada yang lebih diplomatis, bilang pemerintah punya rencana bagus: hapus tagihan, koperasi Merah Putih, dorongan wirausaha. Tapi, seperti lagu dangdut yang enak didengar tapi susah ditari, eksekusinya payah. Hapus tagihan, misalnya, terdengar menjanjikan—bebaskan UMKM dari beban kredit macet! Tapi efektivitasnya? Nol besar. Banyak pengusaha kecil masih tak bisa akses kredit murah, dan bank-bank, seperti biasa, lebih suka main aman. Fathi bilang DPR akan mengawal, tapi kita tahu, mengawal di parlemen kadang cuma berarti rapat, foto, dan press release.
Media, dengan kecerdasan yang sedikit sinis, menyoroti efisiensi anggaran yang justru kontraproduktif. Bayangkan: pemerintah pangkas anggaran untuk Balai Latihan Kerja, padahal BLK adalah harapan terakhir pekerja usia 30-40 untuk reskilling. “Hidup segan, mati tak mau,” katanya tentang BLK. Ini seperti menutup rumah sakit di tengah wabah, lalu bilang itu demi kesehatan fiskal. Media juga usul subsidi gaji, BLT berbasis wilayah industri, dan insentif pajak. Masuk akal, tapi pertanyaannya: dari mana duitnya? APBN sudah menjerit, dan pajak dari swasta menipis karena banyak perusahaan yang kolaps.
Bob Azam, dari sisi pengusaha, menyinggung soal premanisme—ya, premanisme! Satu dari sepuluh perusahaan, menurut World Bank 2023, terkapar karena kejahatan, termasuk pungli dan intimidasi. Bayangkan, di negeri yang katanya ramah investor, pengusaha kecil harus bayar “upeti” ke preman lokal. Ini bukan cuma soal ekonomi, ini soal martabat. Bob juga kesal dengan regulasi yang bikin pusing: iuran BPJS naik, anuitas wajib, aturan pengupahan yang ganti empat kali dalam sepuluh tahun. “Siapa yang mau investasi?” tanyanya, dan kita cuma bisa mengangguk miris.
Lalu ada UU Cipta Kerja, yang jadi bulan-bulanan. Media bilang undang-undang ini mempermudah PHK dan outsourcing, bikin pekerja kehilangan jaminan sosial. Bob, di sisi lain, bilang fleksibilitas itu perlu di saat ekonomi terjepit. Ini seperti debat antara makan atau dimakan: pekerja butuh perlindungan, pengusaha butuh kelangsungan. Pemerintah? Seperti wasit yang lupa bawa peluit. Tapi Bob punya poin: buka semua peluang kerja, termasuk magang atau kerja paruh waktu untuk pelajar. Di luar negeri, mahasiswa bisa kerja di kafe tiga jam sehari. Di sini? Izinnya lebih ribet dari urus SKCK.
Fathi menutup dengan nada penuh harap, tapi agak klise: pastikan program berjalan efektif, jaga governance, realokasi anggaran ke ekonomi kerakyatan. Koperasi Merah Putih, katanya, akan jadi penyelamat. Tapi kita tahu, di Indonesia, program megah sering berakhir sebagai slogan. Danantara, hapus tagihan, hilirisasi—semua terdengar indah, tapi kalau eksekusinya pincang, kita cuma akan menambah daftar janji yang tak ditepati.
Jadi, ke mana arahnya? Realitasnya, Indonesia sedang berjalan di tali tipis. Di satu sisi, ada potensi bonus demografi, 4 juta angkatan kerja baru yang bisa jadi mesin ekonomi. Di sisi lain, ada PHK, likuiditas kering, dan premanisme yang bikin investor kabur. Solusi jangka pendek—stimulus, subsidi, BLT—harus segera dijalankan, atau kita akan tenggelam dalam krisis yang lebih dalam. Tapi solusi itu cuma perban, bukan obat. Jangka panjang, kita butuh deregulasi cerdas, reskilling massal, dan pemberantasan premanisme yang sungguh-sungguh. Kalau tidak, bonus demografi akan jadi kutukan, dan kita akan jadi penonton di negeri sendiri, menyaksikan angka-angka terus menari, sambil ekonomi kita tersandung. Mari kita tertawa miris, lalu berpikir: apa yang bisa kita lakukan, selain menunggu keajaiban?