Connect with us

Opini

Ekonomi Suriah: Kudeta Senyap Para Elit

Published

on

Malam di Damaskus terasa seperti teater bayangan—gelap, penuh intrik, dan berbisik konspirasi. Sebuah telepon berdering di kediaman seorang pengusaha kaya. Suara di ujung sana terdengar dingin: “Datanglah, Sheikh mau ketemu.” Alamat yang diberikan bukan asing: gedung tua yang dulu dikenal sebagai sarang pemerasan di bawah kekaisaran ekonomi Bashar al-Assad. Tapi kali ini, bos barunya berbeda.

Namanya Abu Mariam. Berjanggut panjang, pistol di pinggang, dan berbicara dengan logat Australia yang nyaris komikal. “Berapa duit yang lo bikin?” tanyanya, dengan sopan santun yang justru terdengar mengancam. Sang pengusaha hanya bisa menatap senjata di pinggangnya, jantung berdetak tak karuan. Ini Suriah baru, katanya. Tapi mengapa terasa seperti kudeta senyap—aktor baru, naskah lama?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Laporan Reuters tanggal 24 Juli 2025 menyingkap tabir sandiwara ini: ekonomi Suriah tengah direkonstruksi secara diam-diam oleh sebuah komite misterius. Tokoh utamanya, Hazem al-Sharaa—kakak dari Presiden Ahmad al-Sharaa—dan Abraham Succarieh alias Abu Mariam, warga negara Australia keturunan Lebanon yang bukan pejabat resmi, melainkan figur bayangan dengan kekuasaan luar biasa.

Succarieh, yang masuk dalam daftar sanksi Australia karena diduga membiayai terorisme, kini menjelma menjadi “sheikh” ekonomi. Ia mengatur miliaran dolar tanpa satu pun jabatan formal. Bersama Hazem, mereka mengambil alih aset senilai lebih dari $1,6 miliar—dari sektor telekomunikasi hingga konglomerasi warisan Assad—dengan metode yang rapi, senyap, dan legal secara politik meski absurd secara moral. Ini bukan maling kampung yang menyusup malam-malam. Ini kudeta ekonomi: dilakukan di ruang tertutup, dibungkus amnesti, dan dijual atas nama penyelamatan negara.

Hazem al-Sharaa sendiri bukan siapa-siapa—setidaknya secara resmi. Mantan manajer PepsiCo di Irak itu kini mengatur ulang arsitektur ekonomi Suriah. Sementara Succarieh, yang di platform X mengaku pecinta shawarma dan kriket, berganti peran dari pemain agresif di lapangan Brisbane menjadi penguasa ekonomi bersenjata di Damaskus. Guy Ritchie mungkin akan tertarik mengangkatnya jadi karakter film, jika saja ada ruang untuk humor di tengah ketegangan ini.

Komite ini, kata Reuters, bekerja seperti hantu: tanpa pengumuman, tanpa laporan, tanpa jejak formal—ciri khas sebuah kudeta senyap. Tidak dengan tank dan peluru, melainkan dengan tanda tangan, diam-diam, oleh para elit. Mandat mereka konon untuk menyelamatkan ekonomi dari korupsi dan sanksi, tapi rakyat hanya mendengar dari bisik-bisik.

Target mereka jelas: taipan-taipan era Assad yang dahulu kenyang dari perang dan rente. Samer Foz, misalnya, menyerahkan 80% asetnya—sekitar $800 juta hingga $1 miliar. Mohammed Hamsho, yang dituduh menjarah logam dari reruntuhan kota-kota yang dibom Assad, juga menyerahkan $640 juta. Apa imbalannya? Tiket pulang ke Damaskus. Plus penthouse mewah, dan penjaga bersenjata di depan pintu. Rakyat Suriah, yang dulu bermimpi tentang keadilan pascarevolusi, hanya bisa gigit jari. Ini bukan hukuman. Ini barter. Keren, ya? Yang kaya tetap nyaman, yang miskin mendapat dongeng tentang harapan.

Komite membela diri: pengadilan terlalu berisiko, karena hakim warisan Assad masih bercokol. Maka, negosiasi jadi jalan tengah: serahkan aset, selamatkan diri. Seperti main catur, hanya saja papan permainannya adalah Suriah, dan rakyatnya cuma pion. Syriatel—perusahaan telekomunikasi raksasa—kini di bawah kendali komite melalui proxy. Hasilnya, katanya, akan masuk ke Dana Kekayaan Negara. Presiden Ahmad al-Sharaa sendiri yang mengumumkannya pada 9 Juli 2025. Tapi siapa yang percaya dana itu akan dikelola jujur? Hazem al-Sharaa-lah yang mengaturnya. Tanpa pengawasan. Tanpa transparansi.

Steven Heydemann, profesor dari Smith College, menyebut proyek ini “prematur”. Potensi penyalahgunaannya luar biasa besar. Tapi skripnya familiar: kekayaan atas nama rakyat, tapi kendalinya tetap di tangan segelintir orang.

Dan ketika kita menengok realitas di lapangan, narasi ini berubah jadi tamparan. Rakyat Suriah hidup dari sisa reruntuhan. Kembalinya Hamsho dengan pengawalan resmi tak ubahnya penghinaan. Protes kecil yang meletup di Damaskus pada Juni 2025 menandakan frustrasi itu. “Ini penghinaan,” kata Abdel Hamid Al-Assaf. Bayangkan, rumahmu hancur, keluargamu hilang, tapi yang dulu mengeruk untung dari reruntuhan kini bebas berseliweran, cukup dengan bayar “tebusan”.

Di tengah semua ini, Abu Mariam menjadi simbol paling absurd dari semua absurditas. Seorang warga asing, bukan pejabat, tapi memegang kendali ekonomi negara yang sedang merangkak keluar dari puing. Saudaranya dulu melakukan bom bunuh diri, satu lagi dipenjara karena terkait al-Nusra Front. Kini dia duduk di meja negosiasi, men-twit soal shawarma, dan mengatur ulang peta kekayaan nasional.

Ironisnya, dunia tampak memberi restu. Amerika Serikat di bawah Trump mencabut sejumlah sanksi era Assad pada Juli 2025, menyebutnya sebagai “kesempatan besar”. Arab Saudi, Turki, dan UEA sudah antre masuk, berjanji akan menggelontorkan $4-6 miliar. Bahkan konferensi ekonomi di Damaskus pada 23 Juli tampak seperti pameran optimisme. Tapi siapa yang benar-benar mau menanam modal di negara yang dikelola oleh komite bayangan?

Kabarnya, kini mereka sedang “rebranding”: mengganti gelar dari “sheikh” ke “tuan”, beralih dari kaus oblong ke jas formal, menyembunyikan pistol di balik meja perundingan. Tapi itu hanya permukaan. Polesan kosmetik. Inti kekuasaannya tetap sama: eksklusif, tertutup, dan dikuasai oleh segelintir elit.

Suriah, negara yang lahir kembali dari darah revolusi, kini terjebak dalam parodi kekuasaan. Pemerintah baru menjanjikan perubahan dari era Assad, tapi kenyataannya hanya mengganti aktor. Kudeta senyap ini bukan tentang membebaskan rakyat, tapi tentang mengamankan posisi di puncak piramida ekonomi yang sama. Yang berubah hanya seragamnya—dari militer ke manajer, dari diktator ke direktur.

Mungkin inspirasi datang dari pasar Damaskus—tempat di mana orang-orang menyindir keras tapi dalam bisik-bisik. Di sana, politik disebut sebagai “reklame berganti gambar.” Karena mereka tahu: revolusi bukan soal ganti wajah, tapi soal ganti hati. Dan jika yang berganti hanya pelakunya, bukan polanya, maka Suriah tidak sedang diselamatkan—ia sedang dijual kembali.

Dengan diskon besar, tentu saja. Untuk para elit.
Dan rakyat? Tetap menjadi barang obral dalam paket investasi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer