Opini
Ekonomi Israel Tertekan: Perang, Monopoli, dan Beban Rakyat

Di Hadar Mall, seorang pembeli yang hendak membeli sabun muka Dove di Super-Pharm mungkin terkejut mendapati harga produk yang sama di toko Lior Adika, hanya 500 meter jauhnya, hampir separuh lebih murah. Anehnya, perbedaan ini tak mengurangi pelanggan Super-Pharm, yang tetap saja ramai. Sebuah ironi konsumerisme dalam ekonomi yang katanya kuat.
Namun, di balik etalase toko yang gemerlap itu, realitas ekonomi warga Israel jauh dari kata gemilang. Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 17% menjadi 18%, lonjakan harga utilitas, serta serangkaian kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya seakan menjadi rutinitas yang tak terhindarkan. Apakah ini harga yang harus dibayar untuk perang tak berujung?
Ekonomi Israel, seperti sebuah toko swalayan, tampak penuh pilihan namun sejatinya hanya dikuasai oleh beberapa pemain besar. Tiga pemasok utama menguasai lebih dari 85% penjualan di 20 kategori makanan, menurut laporan State Comptroller 2024. Konsumen Israel bukan hanya terjepit; mereka terhimpit dalam jebakan monopoli.
Lebih parah lagi, daya beli masyarakat Israel hingga 300% lebih rendah dibandingkan warga AS, Inggris, dan Prancis untuk produk-produk serupa. Ketika konsumen dunia menikmati kemewahan pilihan, warga Israel harus mengencangkan ikat pinggang demi membayar produk yang seharusnya terjangkau. Ironi ini adalah buah dari prioritas kebijakan yang salah arah.
Sementara itu, pemerintah Israel tampaknya lebih sibuk memperbesar anggaran perang daripada memperbaiki nasib rakyatnya. Dengan fokus pada serangan ke Gaza, mereka seolah lupa bahwa warga di rumah sendiri tengah bergelut dengan kemiskinan dan ketidakpastian. Bukankah ironis bahwa negara yang mengklaim demokrasi justru gagal mendengar suara rakyatnya?
Blokade yang diberlakukan di Gaza selama lebih dari satu dekade telah menghancurkan kehidupan di sana. Namun, siapa sangka dampaknya juga berbalik ke rakyat Israel sendiri? Seperti ular yang memakan ekornya, kebijakan penghancuran sistematis ini akhirnya menggerogoti stabilitas ekonomi dan sosial Israel. Siapa yang diuntungkan?
Dalam perang, selalu ada pemenang dan pecundang. Sayangnya, pecundang terbesar sering kali adalah rakyat jelata. Sementara perusahaan besar menikmati laba berlipat ganda selama perang, warga Israel harus mengorbankan waktu, uang, bahkan nyawa. Apakah ini definisi baru dari kemenangan nasional?
Ketika Carrefour memutuskan untuk menyerap kenaikan PPN demi menjaga harga tetap stabil, ia seolah memberi pelajaran kepada perusahaan lain. Bahwa tanggung jawab sosial tak harus berupa donasi; bisa juga dengan menolak mengeksploitasi situasi. Namun, berapa banyak yang peduli pada etika saat laba menjadi tujuan utama?
Konflik ini juga memunculkan wajah baru resistensi Palestina yang semakin gigih. Ketidakadilan yang terus terjadi di Gaza hanya memperkuat tekad mereka untuk melawan. Ironisnya, alih-alih menumpas perlawanan, kebijakan ini justru memperpanjang siklus kekerasan. Apakah perang benar-benar solusi atau hanya permainan angka bagi para elite?
Di dalam negeri, retorika perang menjadi tameng untuk mengabaikan tuntutan rakyat. Ketika warga sibuk memikirkan nasib kerabat yang menjadi sandera atau gugur di medan perang, siapa yang punya waktu untuk memprotes kenaikan harga? Perang, bagi pemerintah, adalah gangguan sempurna dari masalah domestik.
Namun, sampai kapan rakyat Israel bisa bertahan? Jika kebijakan seperti ini terus berjalan, mereka hanya akan menghadapi krisis yang lebih dalam: ekonomi yang rapuh, masyarakat yang terpecah, dan generasi muda yang tumbuh dalam ketakutan dan kebencian. Apakah ini harga yang pantas untuk kebijakan yang katanya demi keamanan?
Bayangkan sebuah kapal yang terus mengarungi lautan badai. Nahkodanya sibuk mengarahkan meriam ke kapal lain, sementara dek mulai retak dan awak kapal kehabisan makanan. Itulah potret Israel hari ini. Perang mungkin memberikan ilusi kendali, tetapi keretakan di kapal itu nyata dan tak terhindarkan.
Pada akhirnya, rakyat Israel dihadapkan pada pilihan sulit: tetap diam dan menerima, atau bangkit dan menuntut perubahan. Dalam ekonomi yang terkonsentrasi dan kebijakan yang lebih fokus pada perang daripada kesejahteraan, pilihan itu seperti jalan berbatu menuju puncak gunung. Sulit, tetapi bukan mustahil.