Connect with us

Opini

Ekonomi Indonesia: Antara Laporan Manis dan Kenyataan Pahit

Published

on

Sri Mulyani berdiri tegak di hadapan para wartawan, berbicara dengan penuh percaya diri. APBN aman, investor percaya, penerimaan pajak mulai membaik. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi di luar sana, rakyat mulai menggulung lengan baju, bukan untuk bekerja, melainkan untuk bertahan. Warung bubur sepi, tukang roti mengeluh, dan susu formula menjadi barang mewah.

Defisit APBN 2025 tercatat 31,2 triliun dalam dua bulan pertama. “Biasa saja,” kata mereka di Senayan. Sementara itu, ribuan buruh pabrik tekstil menggulung karpet mereka, bukan untuk salat, tapi untuk membawa pulang sisa-sisa pesangon. PHK merajalela, tabungan menipis, dan harga kebutuhan pokok merangkak naik. Tapi tentu saja, itu hanya perasaan rakyat kecil.

Lelang Surat Berharga Negara (SBN) berjalan sukses, katanya. Investor asing tetap percaya, katanya. “Kalau mereka tidak percaya, mereka tidak akan ikut lelang,” kata Menteri Keuangan. Sungguh logika yang jenius. Seperti mengatakan bahwa seseorang tidak mungkin tenggelam kalau masih bisa bernapas. Mereka lupa, rakyat tak peduli soal SBN. Yang mereka tahu, uang di dompet mereka semakin tipis.

Daya beli turun? Ah, itu hanya efek dari penurunan harga listrik dan tiket pesawat, kata pemerintah. Jangan khawatir, deflasi ini bukan karena rakyat miskin, tapi karena mereka pintar berhemat. Logika ekonomi yang menggelikan. Seperti mengatakan bahwa orang yang kurus kering bukan karena kelaparan, tapi karena sedang diet ketat. Faktanya, indeks keyakinan konsumen turun, orang-orang berhenti membeli, dan sektor ritel mulai megap-megap.

Pasar saham anjlok, nilai tukar Rupiah melemah, dan IHSG jatuh. Investor menarik dana mereka, tapi jangan panik. Ini hanya fase sementara, kata mereka. Tenang saja, kata mereka. Lagi-lagi, rakyat dihadapkan pada hiburan ilusi. Mereka bisa berkata apa saja, tetapi kenyataan tetaplah kenyataan. Warung-warung kecil semakin sepi, PHK terus terjadi, dan kredit macet naik. Ini bukan ilusi, ini krisis nyata.

Penerimaan pajak katanya tumbuh positif 6,6%. Tetapi bukankah sebelumnya mengalami minus 3,8%? Jadi, apakah ini benar-benar kenaikan atau sekadar upaya untuk menutupi lubang yang sudah menganga? Sistem Core Tax yang digadang-gadang meningkatkan kepatuhan pajak justru membuat banyak orang enggan melaporkan. Pajak yang katanya menjadi penyokong negara, kini menjadi momok bagi masyarakat yang sudah kehabisan nafas.

Ekonomi Indonesia katanya tetap tumbuh. Tapi apa gunanya angka pertumbuhan jika pertumbuhan itu tidak menciptakan lapangan kerja? Ini yang disebut jobless growth. Pertumbuhan yang tidak memberi makan, hanya memperkaya angka-angka dalam laporan kementerian. PHK massal di industri manufaktur dan ritel seharusnya menjadi alarm keras. Tetapi di dunia birokrat, alarm hanya terdengar jika menyangkut kepentingan mereka.

India tumbuh 7%, Tiongkok tetap kuat, tapi Indonesia terombang-ambing dalam kebijakan yang lebih mirip permainan sulap. Statistik dimainkan, angka dimanipulasi, dan retorika disusun agar terlihat indah. Tapi lapangan kerja berkurang, pengangguran meningkat, dan harga bahan pokok tidak mengenal kata stabil. Ekonomi makro bisa saja stabil, tapi rakyat tidak bisa makan dengan laporan APBN.

Mereka bilang kondisi masih aman. Tapi tabungan masyarakat menyusut hingga titik terendah sejak 2021. Orang-orang menarik uangnya bukan untuk investasi, tapi untuk bertahan hidup. Bank mencatat angka simpanan turun drastis, tapi sekali lagi, itu hanya angka bagi mereka di pemerintahan. Di meja makan rakyat, itu adalah kenyataan pahit yang tidak bisa dimakan.

Deflasi, kata pemerintah, bukan tanda krisis. Padahal di lapangan, masyarakat mengganti susu formula premium dengan yang lebih murah. Dulu mereka bisa memilih kualitas, sekarang mereka memilih berdasarkan harga. Deflasi yang dihasilkan bukan karena daya beli meningkat, tapi karena rakyat semakin miskin. Tapi tentu saja, pemerintah punya logika sendiri. Logika yang tidak berpijak di bumi.

PHK dalam dua bulan pertama 2025 sudah mencapai 60.000 orang. Ini baru awal tahun. Tren ini bukan kebetulan, melainkan pola yang akan terus berlanjut jika tidak ada langkah konkret. Tapi pemerintah malah berdebat soal narasi. Mereka lebih sibuk menangkis kritik daripada mengatasi masalah. Seperti seorang kapten kapal yang lebih peduli membantah penumpang ketimbang menambal lubang di lambung kapal.

Nilai tukar Rupiah terus melemah. Pasar modal mengalami guncangan. Tapi selalu ada pembelaan: ini bukan hanya masalah domestik, ini juga pengaruh global. Tentu, kita bisa menyalahkan Trump, perang dagang, atau kondisi dunia. Tapi bagaimana dengan kebijakan dalam negeri yang tak kunjung mengatasi PHK, menurunnya daya beli, dan lesunya sektor riil? Tidak mungkin semua salah dunia, sementara kita sendiri suci tanpa cela.

Pemerintah bilang mereka ingin melakukan efisiensi. Tidak ada lagi seminar mewah, tidak ada lagi penghamburan anggaran. Tapi ironisnya, mereka sendiri rapat di hotel bintang lima, menginap di kamar yang tarifnya lebih dari gaji pekerja buruh selama berbulan-bulan. Efisiensi tampaknya hanya berlaku bagi rakyat kecil. Bagi mereka yang berkuasa, hidup tetap mewah seperti biasa.

Masyarakat diminta untuk optimis. Tapi bagaimana caranya optimis jika setiap hari mereka melihat tetangga mereka kehilangan pekerjaan? Bagaimana bisa optimis jika warung di ujung gang tiba-tiba tutup karena tak sanggup bayar sewa? Bagaimana bisa optimis jika setiap bulan uang di dompet semakin sedikit sementara harga terus naik? Ini bukan soal optimisme, ini soal realitas.

Presiden bilang akan menciptakan 19 juta lapangan kerja. Tapi pertumbuhan ekonomi tidak mendukung angka tersebut. Dengan skenario paling optimis pun, target itu adalah janji kosong. Pertumbuhan 5% saja hanya mampu menyerap 1,5 juta tenaga kerja per tahun. Maka dari mana angka 19 juta itu? Ini bukan visi, ini ilusi. Janji yang lahir dari kalkulasi khayalan.

Mereka yang mengkritik disebut pesimis. Mereka yang menyuarakan realitas disebut penyebar ketakutan. Seakan-akan rakyat harus diam dan menerima begitu saja. Tetapi kenyataan di jalanan tidak bisa dibantah dengan pidato. Jika ekonomi baik-baik saja, mengapa orang-orang kehilangan pekerjaan? Jika ekonomi baik-baik saja, mengapa daya beli jatuh? Jika ekonomi baik-baik saja, mengapa tabungan rakyat menipis?

Indonesia bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Indonesia adalah pasar-pasar yang sepi pembeli, warung-warung yang tutup lebih awal, dan pabrik-pabrik yang merumahkan pekerjanya. Indonesia adalah orang tua yang kebingungan mencari susu formula untuk anaknya, pegawai yang gajinya tak cukup untuk bertahan hidup, dan buruh yang harus memilih antara membayar listrik atau makan malam.

Maka, pertanyaan besarnya: apakah ekonomi Indonesia baik-baik saja? Jawabannya jelas. Tidak. Dan semakin kita menutup mata terhadap kenyataan ini, semakin dalam kita terperosok dalam ilusi yang diciptakan oleh mereka yang berkuasa.

 

*Referensi:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *