Connect with us

Opini

Edan Pulang, Sandera Israel Terpuruk: Diplomasi Menang

Published

on

Di ujung senja yang kelam di Gaza, ketika langit memerah seolah menangis darah, kabar tentang pembebasan Edan Alexander, sandera Israel-Amerika, menyelinap seperti secercah harapan di tengah puing-puing kehancuran. Senin malam, di Khan Younis, Hamas menyerahkan pemuda itu kepada Palang Merah Internasional, sebagaimana dilaporkan Channel 7 Israel. Namun, di balik kelegaan itu, ada kegelisahan yang menggerogoti: mengapa kebebasan satu jiwa harus dirangkai dengan begitu banyak air mata? Realitas ini, yang diwarnai 52.900 nyawa Palestina yang melayang sejak Oktober 2023—kebanyakan perempuan dan anak-anak—mengguncang nurani. Bagaimana kita, yang menyaksikan dari jauh, bisa berdamai dengan angka-angka itu?

Edan, yang kini diantar pasukan elit Israel kembali ke tanah kelahirannya, bukan sekadar nama. Ia simbol dari negosiasi yang rapuh, mediasi Qatar dan Mesir yang berjalan tanpa sentuhan Israel, seperti dikatakan laporan itu. Di Re’im, pangkalan militer dekat Gaza, utusan AS Steve Witkoff dan koordinator Israel Gal Hirsch bersiap menyambutnya, helikopter mereka menderu di kegelapan. Tapi, coba bayangkan: di sisi lain, keluarga-keluarga Palestina menanti kabar 9.900 tahanan mereka, yang menurut laporan media dan organisasi HAM, menderita penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian medis di penjara Israel. Bukankah keadilan itu seharusnya simetris, bukan berat sebelah?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kabar pembebasan Edan bagai oase, tapi oasis itu cepat menguap. Israel memperkirakan 58 sandera masih terjebak di Gaza, 21 di antaranya mungkin masih bernapas. Angka-angka ini, dingin dan tajam, menyisakan pertanyaan: mengapa pendekatan militer Israel, yang telah merenggut puluhan ribu nyawa, gagal memulangkan mereka? Keluarga sandera, dalam pernyataan di X, menyerukan Netanyahu untuk segera mencapai kesepakatan pertukaran tahanan. “Kembalinya Edan harus jadi awal,” kata mereka, dengan nada yang penuh harap sekaligus putus asa. Tapi, pemerintah Israel, seolah tuli, tetap bergeming.

Netanyahu, yang kini menghadapi surat perintah penahanan dari ICC bersama eks Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang, tampak lebih sibuk dengan politik ketimbangan kemanusiaan. Laporan Yedioth Ahronoth menyebut delegasi Israel akan ke Doha untuk membahas gencatan senjata, tapi keputusan itu baru muncul setelah tekanan dari Witkoff dan Duta Besar AS Mike Huckabee, plus telepon dari Trump. Apakah ini soal komitmen, atau sekadar permainan diplomatik? Trump, yang akan berkeliling Teluk—Arab Saudi, Qatar, UEA—antara 13-16 Mei, disebut-sebut sebagai katalis. Tapi, bisik-bisik di Doha itu, akankah benar-benar membawa damai?

Di Indonesia, kita sering mendengar konflik ini dalam doa-doa Jumat atau diskusi warung kopi, tapi jarang menyelami luka di baliknya. Bayangkan jadi keluarga sandera, menanti kabar di tengah berita tentang 52.900 kematian, rumah-rumah Gaza yang sengaja dihancurkan—seperti diakui Netanyahu—untuk mencegah warga pulang. Atau, coba rasakan jadi warga Palestina, yang anak-anaknya terkubur di reruntuhan, sementara dunia sibuk berdebat soal “siapa mulai duluan.” Data dari laporan itu tak bohong: sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Angka itu bukan statistik, tapi cerita-cerita yang patah.

Lalu, ada ironi yang lebih menyakitkan. Menteri Energi Israel Eli Cohen, dalam wawancara dengan KAN, bicara soal rencana Trump untuk “migrasi sukarela” warga Gaza. Sukarela? Kata itu terdengar seperti ejekan ketika rumah-rumah dihancurkan, ketika Netanyahu sendiri mengaku ingin memaksa emigrasi. Dunia Arab dan banyak negara menolak rencana ini, menyebutnya pembersihan etnis. Cohen bilang ada “pembicaraan lanjutan” dengan dua negara, salah satunya “Islamik,” tapi tak menyebut nama. Apa ini solusi, atau sekadar cara menghapus identitas sebuah bangsa?

Saya teringat obrolan dengan seorang kawan di Jakarta, yang pernah bilang, “Konflik ini kayak luka yang sengaja digaruk, biar terus berdarah.” Mungkin ada benarnya. Israel, dengan kekuatan militernya, ngotot bahwa kekerasan adalah jawaban. Tapi, laporan itu jelas: pendekatan ini tak membebaskan sandera, malah menambah kuburan. Sementara, AS berhasil memulangkan Edan lewat diplomasi. Bukankah ini pelajaran? Keluarga sandera Israel, dalam pernyataan mereka, menyebut pembebasan Edan sebagai bukti “kepemimpinan yang tegas bisa berhasil.” Mereka bahkan mengajak warga berbaris dari Hostages Square di Tel Aviv ke Kedutaan AS di Yerusalem, menuntut kesepakatan.

Tapi, di balik desakan itu, ada ketidakpastian. Netanyahu menegaskan tak ada janji gencatan senjata atau pembebasan tahanan Palestina untuk Edan. Sikap ini, seperti ditulis laporan, kontras dengan seruan keluarga sandera yang menyebut 584 hari penderitaan bangsa mereka. “Hanya ada satu jalan: pulangkan mereka, lalu bangun kembali,” kata mereka. Tapi, jalan itu terasa buntu ketika Cohen bicara soal Gaza yang takkan dibangun kembali, ketika Trump ngotot ingin jadikan Gaza destinasi wisata. Wisata? Di atas puing dan tulang?

Konteks hukum internasional makin memperumit. ICC mengejar Netanyahu dan Gallant atas kejahatan perang, sementara ICJ memproses kasus genosida terhadap Israel. Tuduhan ini bukan isapan jempol; laporan HAM mendokumentasikan penyiksaan tahanan Palestina, penghancuran sistematis infrastruktur Gaza, dan kematian massal. Tapi, di sisi lain, Hamas juga tak luput dari sorotan atas serangan awal mereka. Pertanyaannya: kapan siklus ini berhenti? Apakah kita, yang membaca ini dari layar ponsel atau koran, hanya jadi penonton?

Di Indonesia, kita punya sejarah konflik sendiri—Aceh, Poso, Timor Leste—yang mengajarkan bahwa kekerasan hanya melahirkan luka baru. Dialog, meski berat, sering jadi jalan keluar. Pembebasan Edan, meski kecil, adalah bukti bahwa negosiasi bisa bekerja. Tapi, untuk Gaza, dialog itu butuh keberanian yang lebih besar: Israel harus melepas dogma militernya, Hamas harus memikirkan nasib sipil, dan dunia—termasuk kita—tak boleh cuma mengeluh di media sosial. Laporan itu bilang 9.900 tahanan Palestina menderita, 52.900 nyawa hilang. Angka-angka ini menuntut lebih dari sekadar simpati.

Saat menulis ini, saya membayangkan seorang anak Gaza, mungkin seusia keponakan saya, yang tak tahu apa itu damai. Atau seorang ibu Israel, menanti anaknya yang disandera, sambil mendengar sirene perang. Realitas ini bukan cuma soal politik atau strategi; ini soal kemanusiaan yang terkoyak. Pembebasan Edan adalah titik cerah, tapi cahaya itu redup jika tak diikuti langkah nyata. Doha, tempat delegasi Israel akan bernego, mungkin jadi harapan terakhir. Tapi, tanpa komitmen untuk menghentikan kekerasan, tanpa keberanian untuk mendengar luka satu sama lain, Gaza akan tetap jadi lukisan tragedi. Kita, di mana pun berada, harus bertanya: apa yang bisa kita lakukan, selain menangis untuk mereka?

Sumber:

  1. https://www.aa.com.tr/en/middle-east/hostages-families-demand-israeli-government-reach-immediate-swap-deal-with-palestinians/3564792
  2. https://www.aa.com.tr/en/middle-east/hamas-releases-israeli-american-hostage-in-gaza/3565107
  3. https://www.aa.com.tr/en/middle-east/israeli-minister-says-plan-to-expel-palestinians-from-gaza-still-on-table-/3564712

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer