Connect with us

Opini

Edan Alexander: Harapan di Tengah Puing Gaza

Published

on

Di tengah puing-puing Gaza yang masih berasap, di mana tangis anak-anak menyatu dengan deru jet tempur, sebuah pengumuman menembus kabut perang: Hamas, melalui Khalil al-Hayya, menyatakan akan membebaskan Edan Alexander, sandera Amerika-Israel, sebagai bagian dari upaya meredakan konflik dan membuka pintu bantuan kemanusiaan (Al Mayadeen, 11 Mei 2025). Berita ini, seperti setitik air di padang tandus, menggugah harap sekaligus kegelisahan. Apa artinya satu nyawa diselamatkan di tengah ribuan yang terkubur? Di sini, di antara laporan-laporan yang bertumpuk, kita diajak menyelami realitas yang penuh kontradiksi, di mana diplomasi dan kekerasan saling bertabrakan, dan harapan sering kali hanya fatamorgana.

Edan, pemuda 21 tahun yang lahir di Tel Aviv tapi besar di New Jersey, adalah wajah manusiawi dari konflik ini. Ia ditangkap pada 7 Oktober 2023, saat menjalani tugas sebagai tentara Israel di perbatasan Gaza, dalam serangan Hamas yang menewaskan 1.200 orang dan menculik 251 sandera (BBC, 11 Mei 2025). Kini, setelah 550 hari dalam tawanan, ia menjadi simbol harapan sekaligus pion dalam permainan geopolitik yang lebih besar. Hamas menyebut pembebasannya sebagai langkah menuju gencatan senjata, pembukaan perbatasan, dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang telah tercekik blokade Israel selama 70 hari (Reuters, 11 Mei 2025). Tapi, benarkah ini murni niat baik, atau sekadar strategi untuk menggeser tekanan internasional?

Saya membayangkan keluarga Edan di New Jersey, menunggu kabar dengan jantungan, mungkin memeluk foto-foto masa kecilnya. Utusan AS, Steve Witkoff, telah menghubungi mereka, membawa kabar yang mereka nantikan (Axios, 11 Mei 2025). Di sisi lain, di Gaza, jutaan warga sipil menghadapi kelaparan. PBB melaporkan 10.000 kasus malnutrisi akut pada anak-anak, dengan harga pangan melonjak 1.400% (BBC). Blokade Israel, yang dimulai sejak 2 Maret 2025, telah memutus pasokan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar, memicu tuduhan kejahatan perang. Di tengah krisis ini, pembebasan Edan terasa seperti setetes air—bermakna, tapi tak cukup.

Langkah Hamas ini bukan tanpa konteks politik. Khalil al-Hayya menegaskan kesiapan mereka untuk “negosiasi intensif” guna mengakhiri perang, dengan syarat pertukaran tahanan, gencatan senjata permanen, dan tata kelola Gaza oleh badan independen (Al Mayadeen). Ini kontras dengan sikap Israel di bawah Benjamin Netanyahu, yang bersikeras melanjutkan operasi militer hingga Hamas musnah. Kantor Netanyahu menyebut negosiasi hanya akan dilakukan “di bawah tekanan militer” (BBC). Ketegangan ini diperparah oleh pendekatan AS yang berbeda, di mana Presiden Donald Trump mendorong rencana rekonstruksi jangka panjang dan tata kelola sipil di Gaza, dengan minim masukan Israel (Israel Hayom).

Trump, dengan gaya khasnya, tampaknya ingin mencetak kemenangan diplomatik. Ia dikabarkan akan mengumumkan pembebasan Edan secara pribadi melalui Truth Social, dengan nada dramatis: “My next TRUTH will be one of the most important and impactful I have ever issued. ENJOY!” (Al Mayadeen). Ini mengingatkan kita pada pendekatan “America First” yang pragmatis, di mana keuntungan AS—pengaruh geopolitik, stabilitas regional, dan citra domestik—diutamakan. Tapi, ada kegelisahan di sini. Mengapa Israel, sekutu terdekat AS, tampak disisihkan? Axios melaporkan bahwa Israel awalnya tahu rencana ini dari intelijen, bukan komunikasi resmi AS. Apakah Trump sedang memainkan kartu besar, seperti saat ia bernegosiasi dengan Putin tanpa Zelensky?

Di Jakarta, jauh dari Gaza, saya pernah mendengar cerita dari seorang relawan kemanusiaan yang bekerja di kamp pengungsi. Ia bilang, “Perang itu bukan cuma soal bom, tapi soal harapan yang dicuri.” Gaza hari ini adalah bukti nyata. Kampanye militer Israel sejak Oktober 2023 telah menewaskan 52.829 orang, menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas (Reuters). Di sisi lain, serangan Hamas pada 2023 merenggut 1.200 nyawa dan menyisakan 59 sandera, 24 di antaranya diperkirakan masih hidup (BBC). Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah ibu, anak, dan mimpi yang tercerabut. Pembebasan Edan, meski membawa harapan, terasa kecil di tengah lautan penderitaan ini.

Keterlibatan mediator seperti Qatar, Mesir, dan Turki, yang mendapat ucapan terima kasih dari Hamas, menunjukkan bahwa diplomasi masih punya ruang (Al Mayadeen). Qatar dan Mesir, dalam pernyataan bersama, menyebut langkah Hamas sebagai “gestur goodwill” untuk mengembalikan pihak-pihak ke meja negosiasi (Axios). Tapi, apa yang terjadi jika negosiasi ini gagal? Israel telah mengancam akan memperluas operasi militer, bahkan menguasai Gaza secara permanen dan mengusir warga Palestina ke selatan (BBC). Rencana ini, yang mencakup pengalihan distribusi bantuan ke perusahaan swasta, ditolak PBB sebagai upaya “memersenjatai” bantuan kemanusiaan. Apa jadinya jika perang ini terus berlarut, dan Gaza benar-benar rata dengan tanah?

Trump, dengan rencananya yang disebut-sebut sebagai “fait accompli” oleh Israel Hayom, tampaknya ingin mengubah naratif konflik ini. Ia membayangkan Gaza yang direkonstruksi, mungkin dengan peran Hamas dalam administrasi sipil, sesuatu yang sulit diterima Israel. The Jerusalem Post melaporkan kekhawatiran Israel bahwa AS mungkin mendorong kesepakatan kecil—pembebasan satu atau dua sandera—tanpa memenuhi tuntutan Israel untuk membebaskan lebih banyak sandera. Ini mencerminkan pola Trump: bernegosiasi langsung dengan “lawan” untuk hasil cepat, seperti yang ia coba dengan Rusia-Ukraina. Tapi, di sini, risiko lebih terbatas. Gaza bukan Ukraina; implikasinya lebih lokal, meski tak kalah tragis.

Saya teringat percakapan dengan seorang teman di kafe Jakarta, yang bertanya, “Kenapa dunia diam saat Gaza kelaparan?” Pertanyaan itu menggema saat membaca laporan PBB tentang malnutrisi dan tuduhan kejahatan perang (BBC). Trump, dengan janjinya membantu pengiriman makanan ke Gaza (Reuters), tampaknya ingin menjawab kritik ini. Tapi, ada kontradiksi: AS tetap mendukung Israel dengan bantuan militer, namun kini bernegosiasi dengan Hamas. Apakah ini diplomasi sejati, atau sekadar permainan citra untuk memenangkan hati pemilih AS?

Di akhir laporan, ada secercah harapan dari Families and Missing Families Forum, yang menyebut pembebasan Edan sebagai “awal dari kesepakatan komprehensif” untuk membebaskan semua sandera (BBC). Tapi, harapan ini rapuh. Hamas menuntut akhir perang, sesuatu yang ditolak Netanyahu. Trump, dengan kunjungannya ke Timur Tengah pada 13 Mei 2025, menghadapi tenggat waktu: jika tak ada kesepakatan, Israel mengancam operasi besar-besaran (Axios). Di tengah semua ini, saya bertanya: apakah kita masih percaya pada perdamaian, atau kita sudah terlalu lelah dengan janji-janji kosong?

Edan Alexander, dengan ceritanya yang belum usai, adalah pengingat bahwa di balik angka dan strategi, ada nyawa yang menanti. Gaza, dengan luka-lukanya, adalah cermin kegagalan kolektif kita. Saat Trump, Hamas, dan Israel saling tarik-menarik kepentingan, kita diajak merenung: kapan penderitaan ini berakhir? Mungkin, seperti kata relawan itu, harapan yang dicuri harus kita rebut kembali, satu langkah kecil—seperti pembebasan Edan—pada satu waktu.

Sumber:

  1. https://english.almayadeen.net/news/politics/hamas-to-free-edan-alexander-as-part-of-gaza-deal–al-hayya
  2. https://www.jpost.com/breaking-news/article-853565
  3. https://www.bbc.com/news/articles/cx2q7749dxlo
  4. https://www.axios.com/2025/05/11/trump-gaza-hostage-deal-hamas-edan-alexander
  5. https://www.reuters.com/world/middle-east/hamas-talks-with-us-about-ceasefire-aid-entry-gaza-says-senior-palestinian-2025-05-11/

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *