Opini
E3 Mengancam, Iran Tertawa di Meja Perundingan

Bayangkan sebuah panggung besar diplomasi dunia, dengan para aktor yang sudah berulang kali memainkan skenario yang sama, hanya mengganti kostum dan naskah tipis-tipis. Lampu sorot kali ini mengarah ke Eropa—tepatnya ke tiga negara yang kerap menyebut dirinya E3: Prancis, Jerman, dan Inggris. Mereka mengirim surat resmi ke Sekjen PBB, lengkap dengan tanda tangan menteri luar negeri masing-masing, isinya ancaman: Iran harus kembali ke meja perundingan nuklir sebelum Agustus 2025, atau sanksi PBB akan mereka hidupkan kembali lewat mekanisme snapback (mekanisme pengaktifan kembali sanksi PBB). Nada suratnya tegas, tetapi di baliknya ada absurditas yang sulit disembunyikan. Sebab, siapa pun yang mau jujur akan mengakui: ini bukan ancaman baru, bukan pula senjata yang belum pernah dicoba. Ini sekadar mengulang pukulan ke udara—nyaring, tapi tak kena.
Sanksi terhadap Iran sudah jadi langganan sejak 1979. Empat dekade lebih, silih berganti presiden AS, berganti komposisi parlemen Eropa, namun resepnya tetap sama: embargokan minyak, bekukan aset, batasi perdagangan, lalu duduk menunggu Iran “menyerah.” Dan hasilnya? Iran tetap berdiri. Ekonominya memang tak pernah benar-benar bebas dari tekanan, tapi ia beradaptasi, membangun jaringan dagang alternatif, mengembangkan industri dalam negeri, bahkan menjadikan sanksi sebagai alasan nasional untuk bersatu melawan musuh eksternal. Kalau sanksi itu diibaratkan pukulan, Iran sudah berubah menjadi karung tinju yang justru makin kokoh setiap kali dihantam. Saya rasa, ini pelajaran sejarah yang seharusnya membuat E3 berpikir dua kali sebelum mengulang strategi usang.
Namun, mereka tetap memainkannya. Dan yang lebih menggelikan, E3 bertindak seolah merekalah pemegang kartu truf, padahal mereka hanya memegang sebagian kecil dek permainan ini. Ketika AS menarik diri sepihak dari JCPOA pada 2018, E3 berjanji akan tetap mematuhi kesepakatan. Faktanya, mereka gagal melindungi hubungan dagang dengan Iran dari ancaman sanksi sekunder AS. Perusahaan-perusahaan Eropa mundur satu per satu, bank menutup pintu, dan saluran pembayaran khusus yang dijanjikan—INSTEX—hanya menjadi fosil administratif. Dalam bahasa yang lebih blak-blakan: E3 tidak mampu, atau tidak mau, menanggung konsekuensi dari komitmen yang mereka buat sendiri.
Sekarang, setelah serangan militer AS dan zionis menghantam fasilitas nuklir Iran, E3 datang dengan wajah diplomasi dan nada ancaman. Mereka tampaknya lupa bahwa Trump, dengan gaya bulldozer-nya, sudah memberikan “paket ancaman” yang lebih ekstrem: kampanye tekanan maksimum, sabotase, pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani. Apakah Iran berbalik arah? Tidak. Malah mereka mempercepat program pengayaan uranium, mengembangkan teknologi sentrifugal, dan memperluas aliansi strategis dengan Rusia, Tiongkok, dan kelompok perlawanan di kawasan. Ancaman, jika tidak diikuti kemampuan nyata untuk memaksa perubahan, hanyalah gema di ruang kosong.
Kita semua tahu, diplomasi butuh kepercayaan sebagai pondasi. Dan kepercayaan itu hancur sudah sejak IAEA gagal mengutuk serangan ke fasilitas nuklir Iran. Dari sudut pandang Teheran, lembaga internasional itu bias, membiarkan satu pihak melanggar hukum internasional tanpa sanksi, sambil mengawasi Iran dengan kaca pembesar. Lalu E3 datang, membawa ancaman snapback seolah memiliki “landasan moral” untuk menghakimi. Di sinilah letak ironi: mereka memosisikan diri sebagai hakim, padahal rekam jejaknya penuh pelanggaran janji.
Saya rasa E3 sedang mengalami political myopia—rabun politik yang membuat mereka hanya melihat tujuan jangka pendek: memberi sinyal ketegasan kepada publik domestik dan Washington. Mereka mungkin paham sanksi baru tidak akan mematahkan Iran, tapi tetap melakukannya demi simbol, demi mempertahankan ilusi relevansi di panggung global. Sama seperti orang yang tahu pintunya terkunci tapi terus mengetuk keras-keras, berharap tetangga mengira ia punya kunci.
Menariknya, sekarang kita sudah benar-benar berada di bulan Agustus 2025—tenggat yang E3 tetapkan sebagai batas “kembali ke meja perundingan” bagi Iran. Ini bukan lagi prediksi atau ancaman hipotetis, melainkan realitas yang sedang berjalan. Dan realitas itu berbicara cukup keras: sampai saat ini, Iran tidak menunjukkan tanda-tanda tergesa kembali ke meja perundingan kecuali ada jaminan konkret mengenai pencabutan sanksi dan perlindungan atas kedaulatan mereka. Dalam minggu-minggu terakhir sebelum tenggat resmi itu, tekanan E3 bisa jadi meningkat lewat retorika diplomatik atau upaya menekan secara politik, tapi efektivitasnya tetap terbatas. Iran memiliki resilience economy, pengalaman 40 tahun menghadapi embargo, dan kapasitas nuklir yang sudah diperluas sejak JCPOA melemah. Ancaman snapback yang E3 persiapkan pun kemungkinan besar akan dipandang Teheran sebagai “pukulan ke udara” yang tidak akan mengubah strategi mereka.
Skenario yang mungkin terjadi adalah E3 akan mencoba memaksakan diplomasi simbolik—misalnya lewat pernyataan resmi di PBB, desakan media, atau konsolidasi dukungan sekutu—sementara Iran tetap menahan diri, menilai setiap langkah dengan kalkulasi strategis matang. Ada kemungkinan Iran menerima perpanjangan waktu terbatas untuk negosiasi, tapi dengan syarat yang jelas, bukan karena tekanan kosong. Jadi, posisi sekarang bukan sekadar soal “Apakah Iran akan kembali atau tidak?”, melainkan soal siapa yang memiliki kapasitas nyata untuk memaksa perubahan. Dalam konteks ini, E3, dengan sejarah kegagalan implementasi JCPOA dan terbatasnya pengaruh ekonomi-militer, sepertinya sedang menonton ulang drama lama—hanya bedanya, kini jam pasir hampir habis, dan setiap langkah mereka akan dinilai dengan cermat, tidak sekadar diukur dari ancaman atau retorika.
Bagi Iran, ancaman ini bukan lagi soal ekonomi semata, tapi martabat. Pernyataan Menlu Abbas Araghchi yang siap menyingkirkan E3 dari meja perundingan jika snapback diaktifkan adalah bentuk reposisi geopolitik: pesan bahwa Eropa tidak lagi pemain utama dalam soal Iran. Jalur diplomasi bisa dialihkan sepenuhnya ke Rusia, Tiongkok, atau forum regional yang lebih akomodatif. Dan jika itu terjadi, E3 hanya akan jadi penonton di pinggir panggung, menonton lakon yang dulu mereka ikut tulis, kini dimainkan tanpa mereka.
Kalau mau melihat analogi lokal, ini seperti hubungan pedagang dan pembeli di pasar tradisional. Seorang pembeli datang, pernah berjanji akan membeli dagangan setiap minggu, tapi kemudian menghilang, bahkan ikut-ikutan memfitnah pedagang itu di depan publik. Setelah bertahun-tahun, ia kembali sambil berkata, “Saya mau beli lagi, tapi kalau kamu tidak mau, saya akan bikin semua orang memboikot daganganmu.” Rasanya jelas—pedagang itu akan tertawa sinis, lalu beralih melayani pembeli lain yang benar-benar menghargainya.
Yang luput dari perhitungan E3 adalah realitas geopolitik 2025 yang jauh berbeda dari satu dekade lalu. Iran tidak lagi terisolasi sepenuhnya. Mereka punya akses ke pasar Asia, hubungan ekonomi yang dalam dengan Tiongkok melalui kesepakatan strategis 25 tahun, dukungan militer dan politik dari Rusia, serta pengaruh luas di Timur Tengah lewat jaringan sekutu. Mengira sanksi Eropa akan memaksa Iran tunduk sama saja seperti mengira mematikan lampu jalan di satu kampung akan membuat seluruh kota gelap.
Dan mungkin inilah bagian paling getirnya: E3 bukan tidak tahu, mereka hanya memilih tidak peduli. Dalam logika politik luar negeri, konsistensi kadang kalah penting dibanding menjaga citra “tegas” di hadapan publik sendiri. Maka ancaman pun dilemparkan, sanksi pun disiapkan, meskipun kemungkinan efektifnya sama tipisnya dengan menabuh genderang di tengah badai.
Di akhir cerita, kita akan melihat apakah ancaman ini sungguh dijalankan atau hanya jadi bagian dari tarian diplomasi yang berulang. Tapi satu hal sudah jelas: Iran bukan pihak yang mudah didikte. Empat puluh tahun sanksi, ancaman militer, serangan langsung—semuanya gagal mengubah arah kebijakan strategis mereka. Mengira ancaman snapback akan membuat mereka tergesa kembali ke meja perundingan adalah ilusi yang hanya bisa bertahan di ruang rapat berpendingin udara, jauh dari realitas di Teheran, Isfahan, atau Bandar Abbas.
Dan jika pada akhirnya E3 benar-benar menekan tombol snapback, sejarah akan mencatatnya bukan sebagai langkah berani, tapi sebagai ulangan drama lama—panggungnya sama, aktornya itu-itu juga, hanya kali ini penontonnya sudah tahu akhir ceritanya. Saya rasa, di titik ini, yang tersisa hanyalah tepuk tangan hambar dan rasa getir yang tak lagi mengejutkan.
Pingback: Iran: Antara Jalur Diplomasi dan Kesiapan Perang
Pingback: Snapback E3 terhadap Iran: Arogansi dan Standar Ganda Barat