Opini
Dunia Di Ambang Ledakan, Indonesia Tak Boleh Diam

Dunia kini seperti kehilangan kompas moralnya. Negara-negara bersenjata nuklir bermain api di tengah hutan kering yang siap terbakar kapan saja. Rusia mengancam Ukraina dengan 5.977 hulu ledak, Israel membombardir Gaza dan Lebanon tanpa jeda, Ansarullah di Yaman terus menggempur kapal AS, dan India-Pakistan saling todong rudal seolah sedang bermain tebak-tebakan maut.
Dari Sudan hingga Myanmar, dari Haiti hingga Iran, sembilan titik konflik menyala serentak seperti planet ini tengah mencasting dirinya sendiri menjadi neraka. Ini bukan sekadar dinamika geopolitik—ini pertunjukan global yang bisa memercikkan api ke seluruh penjuru. Indonesia, meskipun bukan pemeran utama, tetap duduk di panggung yang sama. Dan kita tak bisa lagi berpura-pura sekadar penonton yang cukup geleng-geleng kepala sambil scroll lini masa.
Di ruang sidang PBB, para pemimpin bicara soal perdamaian, sementara di medan tempur mereka memoles rudal dan merancang serangan. Ironi ini bukan sekadar retorika. Dampaknya nyata dan menghantam semua lini—ekonomi terguncang, keamanan ringkih, kemanusiaan koyak. Indonesia sebagai negara dengan posisi netral dan pengaruh regional yang tak kecil, punya ruang untuk bergerak.
Bukan demi tampil heroik, tapi untuk memastikan tak ikut terseret arus api yang kian mendekat. Ketika negara-negara lain berebut panggung dan kekuasaan, Indonesia justru bisa memainkan peran penengah, penjaga moral, sekaligus penyintas. Dunia memang tidak menunggu kita untuk menyelamatkan situasi. Tapi jika kita tetap diam, gelombang krisis itu bisa tiba di depan pintu.
Di sektor ekonomi, krisis global menyusup seperti asap ke dalam rumah-rumah. Laut Merah bergolak akibat 24 serangan drone dan rudal Ansarullah dalam sebulan, memukul jalur perdagangan global. Pendapatan Terusan Suez anjlok 60%, biaya pengiriman naik 20%. Ketegangan antara Iran dan Israel terus menekan harga minyak yang bisa melonjak lebih dari $100 per barel.
Sementara itu, Teluk Persia masih memasok 30% kebutuhan minyak dunia. Sanksi terhadap Rusia membuat gas dan gandum menjadi barang langka, menyulut inflasi global hingga 7% sepanjang 2024. Negara miskin makin tersudut—Sudan dan Haiti nyaris lumpuh. Bursa saham global melemah; Dow Jones goyah 5% tiap kali krisis baru mencuat, dan mata uang negara berkembang runtuh satu per satu.
Tragisnya, negara-negara adidaya justru diuntungkan: AS mencetak $80 miliar dari penjualan senjata ke Ukraina dan Israel, Rusia tetap ekspor minyak ke Tiongkok. Yang membayar harga, seperti biasa, adalah rakyat biasa di banyak belahan dunia. Krisis ini membuat keadilan global makin tampak seperti ilusi, sementara ketimpangan makin dalam.
Situasi keamanan global juga kian getir. Rusia dan NATO terus bergelut di Ukraina, sementara Putin merevisi doktrin nuklir demi mengamankan “kedaulatan”—sebuah kode untuk mempertahankan Krimea. India dan Pakistan menyimpan 160 dan 165 hulu ledak dengan doktrin penggunaan pertama. Israel, diyakini memiliki 90 bom nuklir, berada dalam tekanan saat Iran sudah memperkaya uranium hingga 60%.
Risiko salah kalkulasi kini setipis kulit bawang. Serangan siber, rudal hipersonik, hingga drone berpotensi menyulut eskalasi dalam hitungan menit. Hizbullah membalas Israel, yang kemudian membombardir Beirut—menewaskan 3.800 orang dan memaksa 1 juta jiwa mengungsi. AS mengirim THAAD ke Israel, menyiratkan kesiapan bertempur meski retorika damai tetap digaungkan.
Dunia saat ini tak ubahnya papan catur di mana setiap pion menyimpan potensi ledakan. Semua aktor bersenjata tinggi dan dipenuhi ketegangan ideologis, agama, dan ekonomi. Dalam konteks ini, kesalahan komunikasi sekecil apa pun bisa berujung malapetaka. Dunia sedang berjudi dengan nasib umat manusia.
Dalam seluruh keruwetan ini, kemanusiaan menjadi korban paling nyata. Gaza mencatat 46.000 kematian, mayoritas perempuan dan anak. Lebanon menghadapi eksodus besar-besaran, Sudan porak-poranda dengan lebih dari 10 juta pengungsi. Jumlah pengungsi global melampaui 100 juta, tertinggi sejak Perang Dunia II.
Kelangkaan pangan menjadi ancaman serius—program pangan PBB defisit $5 miliar. Penyakit menyebar cepat di kamp-kamp pengungsi. Di tengah kondisi ini, negara-negara besar malah saling tunjuk di PBB tanpa ada satu pun yang sungguh-sungguh bersedia mengurangi senjata atau meningkatkan kontribusi kemanusiaan.
Di media sosial, dunia tampak peduli—hashtag #SaveGaza dan #StandWithUkraine viral di mana-mana—namun di dunia nyata, narasi seringkali lebih diselamatkan ketimbang manusia. Kepedulian digital tak sebanding dengan realitas pengungsian dan penderitaan di lapangan. Ini adalah tragedi generasi kita.
Tata dunia multipolar juga memperkeruh suasana. AS, Rusia, Tiongkok, dan Iran memainkan peran dominan, membelah dunia ke dalam kubu-kubu yang saling mencurigai. Rusia dan Iran saling menyuplai drone dan rudal, AS dan NATO membanjiri Ukraina dan Israel dengan persenjataan, sementara Tiongkok menjaga jarak sembari menanti peluang di Taiwan.
Negara-negara kecil diapit dilema: harus memilih pihak atau tetap diam tapi menanggung risiko. PBB tak lagi efektif—veto dari Rusia, Tiongkok dan Amerika membekukan hampir semua resolusi penting. Diplomasi pun terasa seperti janji diet yang terus ditunda. Ketika semua pihak saling mengintai tombol nuklir, kesalahan sekecil apa pun bisa membawa bencana global.
Risiko terburuk justru mengintai di kawasan yang kerap diabaikan: India-Pakistan. Tapi Rusia-Ukraina dan Israel-Iran tak kalah mengerikan. Ketiga konflik ini bisa menjadi pemicu gelombang kehancuran global yang akan menyapu sistem internasional yang rapuh.
Indonesia bukan aktor utama dalam panggung geopolitik ini, tapi bukan berarti bisa bersikap pasif. Ketergantungan pada minyak impor—40% dari Timur Tengah—membuat kita sangat rentan. Lonjakan harga BBM bisa mencapai 15% tiap kali konflik di kawasan mencuat. Rupiah tertekan ke Rp16.500 per dolar.
Ekspor strategis seperti nikel dan CPO tersendat jika Laut Merah terganggu, padahal ini penopang utama devisa. Inflasi domestik bisa menyentuh 6% jika harga minyak menembus ambang $100, dan subsidi BBM bisa memperberat beban APBN. Di sisi keamanan, Selat Malaka—jalur 40% perdagangan dunia—jadi titik rawan baru.
Serangan drone Ansarullah bisa menginspirasi kelompok lokal yang frustrasi. Imigrasi juga tertekan, terlebih jika pengungsi dari Myanmar atau Sudan mencapai wilayah seperti Aceh. Di ranah politik domestik, sentimen pro-Palestina amat kuat. Aksi besar di Jakarta setiap kali Gaza diserang bisa mengubah tekanan publik menjadi destabilisasi sosial. Diam bukan pilihan.
Lalu, apa yang bisa dilakukan Indonesia? Bukan untuk menyelamatkan dunia, melainkan untuk menyelamatkan diri sendiri. Pertama, manfaatkan posisi di ASEAN dan G20 untuk mendorong dialog kawasan, terutama soal stabilitas Asia Selatan. Indonesia punya relasi baik dengan India dan Pakistan—Jakarta bisa jadi ruang dialog netral.
Kedua, dorong gencatan senjata di Gaza dan Palestina dengan menggandeng Mesir dan Turki, serta lanjutkan bantuan kemanusiaan seperti 900 ton pasokan yang dikirim tahun 2024. Ketiga, amankan ekonomi domestik: diversifikasi impor energi dari Australia dan Nigeria, siapkan skema swap mata uang bersama Jepang, dan perkuat cadangan energi.
Keempat, alokasikan Rp500 miliar bantuan kemanusiaan untuk Gaza dan Lebanon melalui saluran terpercaya seperti PBB. Keamanan dalam negeri juga harus ditingkatkan—perkuat patroli Selat Malaka dan alokasikan Rp5 triliun untuk penguatan pertahanan siber terhadap potensi serangan dari aktor negara dan non-negara.
Di forum internasional, Indonesia harus menyuarakan prinsip anti-nuklir secara konsisten. Kita memang tidak punya bom, tapi kita punya suara dan moral yang tak kalah penting. Dunia sedang berada dalam keadaan darurat. Kita tidak harus menjadi pemadam kebakaran dunia, tapi jangan sampai jadi rumah pertama yang ikut terbakar.
Tindakan-tindakan ini bukan tentang tampil mulia, tapi tentang bertahan dalam dunia yang makin gila. Krisis di Laut Merah bisa berujung antrean panjang di SPBU Jakarta. Konflik India-Pakistan bisa merusak iklim dan panen di Jawa. Agresi Israel di Gaza bisa memicu kerusuhan di dalam negeri. Indonesia harus bersikap aktif.
Diplomasi, perlindungan ekonomi, misi kemanusiaan, dan kesiapan keamanan harus berjalan beriringan. Di tengah absurditas dunia hari ini, kita tak butuh jubah pahlawan. Cukup jadi tetangga yang sadar api bisa merembet, dan memilih untuk tidak tinggal diam.