Opini
Dua Jam Smartphone: Utopia, Ironi, atau Teguran?

Di sebuah kota kecil bernama Toyoake, Jepang, pejabat kota dengan wajah serius mencoba menertibkan sesuatu yang sesungguhnya sudah tak bisa lagi ditertibkan. Mereka mengajukan rancangan aturan: warganya hanya boleh menatap layar smartphone selama dua jam sehari. Dua jam. Angka itu meluncur seperti lelucon pahit di tengah dunia yang hampir seluruh urat nadi kehidupannya tersambung pada benda pipih bercahaya itu. Rasanya sama absurdnya seperti meminta orang berhenti bernapas lebih dari dua kali dalam semenit.
Kita hidup di era di mana hampir semua urusan—belanja, bekerja, belajar, bahkan mencintai—melewati gawai. Anak muda menulis tugas lewat layar, pekerja rapat lewat Zoom, orang tua kirim doa lewat WhatsApp, bahkan berita duka hadir bukan lewat ketukan pintu tetangga, melainkan notifikasi. Dan kini, sebuah kota mencoba menertibkan waktu dengan batas yang kaku: dua jam. Saya rasa, siapa pun yang membaca usulan ini pasti sedikit mengernyit, antara tertawa dan merasa terusik.
Toyoake bukan tanpa alasan. Data yang mereka kutip cukup mencemaskan: anak muda Jepang menghabiskan rata-rata lebih dari lima jam sehari di dunia maya, hanya pada hari kerja. Itu berarti hampir seperempat dari 24 jam hidup mereka habis untuk menatap layar, di luar waktu tidur, sekolah, dan makan. Belum lagi masalah truancy—anak-anak yang enggan ke sekolah karena tak sanggup berpisah dari smartphone. Orang dewasa pun tak kalah parah, banyak yang menatap layar di ranjang ketika mestinya beristirahat atau menemani keluarga. Ada problem nyata di sana. Itu jelas.
Tapi mengobati adiksi dengan aturan angka? Bukankah itu ibarat menyodorkan payung kertas di tengah badai? Kita tahu smartphone bukan sekadar alat komunikasi; ia sudah jadi ruang hidup, ruang kerja, ruang hiburan, bahkan ruang doa bagi sebagian orang. Membatasi dua jam sehari bukan hanya sulit, melainkan nyaris mustahil. Dan justru di situlah letak ironi: pemerintah kota mengakui sendiri bahwa aturan itu non-binding, tidak ada sanksi, tidak ada hukuman. Jadi apa fungsinya? Sebuah ajakan moral? Atau semacam pengingat yang disampaikan lewat pengeras suara birokrasi?
Saya teringat pada kebijakan serupa di daerah lain di Jepang tahun 2020 lalu, yang membatasi anak-anak hanya satu jam bermain game di hari kerja. Apa hasilnya? Hampir nihil, selain jadi bahan perdebatan di media sosial. Orang tua pun sering kali tak bisa benar-benar mengawasi, sementara anak-anak selalu menemukan cara untuk mengakali aturan. Lagi pula, mari jujur saja: siapa yang bisa mengukur dengan presisi waktu yang dihabiskan tiap hari menatap layar? Dua jam browsing berita berbeda dengan dua jam menonton video pendek. Dua jam membaca e-book tentu beda dampaknya dengan dua jam tenggelam di TikTok. Aturan kaku tak bisa menyentuh nuansa ini.
Namun, saya juga tak ingin hanya menertawakan niat baik itu. Sebab, di balik absurditasnya, ada sebuah kegelisahan yang nyata. Kita sedang hidup dalam peradaban yang perlahan kehilangan kendali atas waktunya sendiri. Tidur makin singkat, konsentrasi makin terpecah, percakapan tatap muka makin jarang. Orang tua makan malam sambil sibuk scrolling, anak-anak bermain sambil menatap layar, dan bahkan pasangan kekasih duduk berdampingan dengan mata terpaku pada dunia lain. Kita semua tahu ini tidak sehat, tapi kita juga tak kuasa melepaskan diri.
Mungkin Toyoake hanya sedang mencoba menggedor pintu kesadaran kita. Dengan angka dua jam yang utopis, mereka sebenarnya sedang mengatakan: “Lihat, kalian sudah kelewatan. Kalian butuh istirahat dari layar.” Memang caranya kaku, tapi setidaknya ada upaya untuk menimbulkan percakapan. Dan percakapan ini penting. Sebab, masalah smartphone bukan hanya soal adiksi personal, melainkan juga soal budaya. Budaya kerja yang menuntut kita selalu online, budaya hiburan yang terus menggoda, budaya sosial yang membuat kita takut tertinggal.
Ironisnya, sebagian warga Toyoake justru marah karena merasa kebebasan mereka dirampas. “Dua jam tak cukup untuk menonton film,” kata satu pengguna media sosial. Pernyataan ini terdengar sepele, tapi sekaligus telak. Kita sudah sampai pada titik di mana “hak menonton” lebih penting daripada kesehatan tubuh. Bukankah itu pertanda bahwa perangkat ini sudah menyalip fungsi dasar kehidupan? Seolah tanpa smartphone, kita merasa hidup tidak utuh.
Saya rasa, yang dibutuhkan bukan aturan jam, melainkan literasi baru: bagaimana membedakan antara penggunaan produktif dan penggunaan yang menguras energi. Bagaimana mengajarkan anak-anak bahwa bermain di luar lebih berharga daripada lima jam scroll di layar. Bagaimana meyakinkan orang tua bahwa satu jam cerita sebelum tidur lebih bermakna daripada satu jam menatap notifikasi kerja. Dan bagaimana mengingatkan kita semua bahwa tubuh kita punya batas, mata kita butuh istirahat, pikiran kita perlu jeda.
Kebijakan Toyoake akan segera diperdebatkan, mungkin akan disahkan dalam bentuk non-binding ordinance, mungkin juga akan menjadi bahan tertawaan nasional. Tetapi, ia tetap meninggalkan jejak penting: keberanian sebuah kota kecil untuk mengangkat persoalan yang sering kali kita abaikan. Sama seperti orang tua yang kadang menegur dengan cara berlebihan agar anaknya berhenti main petasan, mungkin niat kota ini pun demikian. Terlihat keras, bahkan konyol, tapi siapa tahu justru menancap di ingatan.
Pada akhirnya, batas dua jam itu mungkin tak akan pernah ditaati. Orang akan tetap bekerja lewat layar, tetap menonton drama favorit, tetap menulis panjang di media sosial. Tapi setelah mendengar kabar tentang Toyoake, mungkin beberapa dari kita akan sedikit tersentak ketika sadar sudah menghabiskan lima jam scrolling tanpa henti. Mungkin kita akan menutup layar lima menit lebih cepat, lalu menatap wajah orang di samping kita. Kalau itu terjadi, walau sedikit, Toyoake tidak sia-sia.
Saya percaya, tidak ada kebijakan tunggal yang bisa menyelesaikan masalah adiksi gawai. Ini urusan kebudayaan, kebiasaan, dan kesadaran bersama. Tapi terkadang, langkah absurd justru dibutuhkan untuk mengguncang kenyamanan. Dan di balik semua cemoohan, saya ingin berkata pada kota kecil itu: terima kasih sudah berani menunjukkan cermin, walaupun pantulannya membuat kita semua merasa malu.