Connect with us

Opini

Dua Front Kehancuran Israel: Dari Gaza hingga Yerusalem

Published

on

“Perang,” begitu satu kata besar yang menghiasi halaman depan Yated Neeman. “Perang untuk Tuhan,” sambung HaDerech dengan nada membara, seolah menyalakan genderang jihad bukan untuk melawan bangsa lain, melainkan… pemerintah mereka sendiri. Di Israel, hari itu bukan tentang Gaza yang rata dengan tanah atau Rafah yang dipaksa menelan lebih banyak pengungsi. Hari itu adalah tentang dua pelajar yeshiva yang ditangkap karena menolak wajib militer. Ya, dua pelajar. Dua. Tapi tangisannya menggema sampai ke tembok ratapan.

Sebab di negeri yang mengklaim dirinya benteng terakhir Yahudi dunia itu, selembar surat panggilan wajib militer bisa lebih menakutkan daripada sirene serangan roket. Dan sekarang, para pria Haredi, kaum berjubah hitam dengan kitab-kitab tebal di pelukan, mendeklarasikan perang. Bukan ke Hamas, bukan ke Hizbullah, bukan ke “teroris” yang konon jadi alasan genosida berjalan dua tahun penuh di Gaza. Tapi ke Tel Aviv. Ke panglima militer. Ke Mahkamah Agung. Perang ideologis ini mengguncang Yerusalem lebih dalam daripada rudal paling presisi yang dituding berasal dari Teheran.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sudah lebih dari satu tahun sembilan bulan, Gaza dibombardir siang-malam. Rumah-rumah bukan lagi tempat berlindung, tapi tumpukan reruntuhan. Anak-anak bukan hanya yatim, tapi juga trauma permanen. Dunia memekik, menulis petisi, turun ke jalan, mengumpulkan donasi. Tapi Netanyahu dan rombongannya tetap menari di atas darah. Dengan wajah tebal, mereka menyebutnya “perang mempertahankan diri.” Kini, ketika pasokan tentara mulai seret dan darah para prajurit muda mengalir terlalu deras, pemerintah mulai melirik ke arah yang sebelumnya dianggap suci: yeshiva.

Kita sedang menyaksikan ironi terbesar dalam sejarah Zionisme modern. Negara yang dibangun dengan retorika perlindungan terhadap kaum Yahudi di seluruh dunia, kini justru mendapat perlawanan dari sebagian Yahudi yang merasa identitas mereka sedang dilucuti—bukan oleh musuh di luar, tapi oleh mesin negara sendiri. Lebih dari 80.000 pria Haredi usia 18–24 tahun tak mendaftar wajib militer. Bukan karena malas. Tapi karena mereka percaya bahwa duduk mempelajari Torah adalah bentuk paling murni dari pelayanan terhadap tanah yang mereka klaim suci. Ironis? Tentu. Tapi dalam absurditas itulah Israel kini bergumul dengan kehancurannya sendiri.

Dan jangan salah, di sisi lain kota, masyarakat sekuler pun tak tinggal diam. Mereka juga turun ke jalan, bukan karena mereka anti-negara, tapi karena mereka ingin negara mereka masih bisa disebut manusiawi. Berkali-kali demonstrasi meledak, memadati jalanan Tel Aviv dan Yerusalem, bukan menuntut roket diluncurkan lebih banyak, tapi agar sandera dikembalikan. Para ibu, istri, dan anak berdiri di tengah debu politik yang kian busuk, menuntut sesuatu yang seharusnya sudah menjadi prioritas: nyawa manusia. Tapi di mata pemerintahan Netanyahu, nyawa hanya penting jika bisa digadaikan untuk legitimasi kekuasaan.

Apa yang kita lihat kini bukan sekadar perpecahan internal, tapi kekacauan moral. Saat politisi dari Yisrael Beytenu mengutip ayat kitab suci, “Haruskah saudara-saudaramu pergi berperang sementara engkau duduk di sini?”, itu lebih terdengar seperti lelucon murahan ketimbang panggilan heroik. Karena pertanyaannya mestinya dibalik: Haruskah engkau mengirim saudara-saudaramu untuk membunuh anak-anak di Gaza sementara engkau duduk nyaman di parlemen, berdebat soal insentif pajak dan legalisasi pemukiman?

Netanyahu, sang maestro kerusuhan abadi, tampaknya kini menuai badai yang ia tanam sendiri. Perang eksternal di Gaza mungkin bisa dilanjutkan dengan drone dan senjata buatan Amerika, tapi perang internal dengan kaum Haredi dan rakyatnya sendiri? Itu jauh lebih kompleks. Itu bukan soal logistik militer, tapi soal makna eksistensi. Jika Zionisme lahir sebagai proyek pembebasan, maka kini ia berubah menjadi mesin penindasan yang menggerogoti tulang-tulangnya sendiri.

Sementara itu, proyek jangka panjangnya—yakni menghapus Gaza dari peta dan menjadikannya taman industri futuristik berisi pemukim Yahudi—sedang disiapkan. Katanya, akan dibangun kota cerdas di atas puing-puing kemanusiaan. Akan ada AI, startup, dan menara kaca menjulang tinggi. Tapi sebelum itu, 2 juta lebih warga Gaza harus direduksi, direlokasi, atau dilenyapkan. Barangkali ini satu-satunya proyek teknologi tinggi di dunia yang dibangun di atas kuburan massal yang terus bertambah.

Kadang saya bertanya, dari mana kekuatan semacam ini mendapat bahan bakarnya? Dari mana keberanian untuk menyebut penjajahan sebagai pembangunan, dan genosida sebagai “hak untuk bertahan hidup”? Jawabannya mungkin terletak pada satu kata: impunitas. Israel tahu dunia bisa marah, tapi tak akan berbuat banyak. Mereka tahu bahwa di Washington, Berlin, bahkan Tokyo, nyawa Palestina tidak punya nilai tukar. Tapi mereka lupa satu hal: ketika rakyatnya sendiri mulai tak tahan, tak peduli seberapa tebal dukungan Amerika, negara itu akan mulai goyah.

Maka kini Israel berdiri di dua medan perang sekaligus. Di Gaza, mereka bertempur melawan rakyat yang tak pernah berhenti bertahan meski kehilangan segalanya. Di Yerusalem dan Tel Aviv, mereka bertempur melawan rakyatnya sendiri yang merasa dikhianati oleh sistem. Di satu sisi, bom dijatuhkan untuk menekan perlawanan. Di sisi lain, penjara digunakan untuk menekan mereka yang menolak menjadi algojo.

Saya bukan orang yang mudah bersimpati pada fundamentalisme agama. Tapi ketika para pelajar Yeshiva berkata, “Kami tak mau berperang karena tugas kami adalah menjaga cahaya Torah,” saya mendengar bukan sekadar dogma. Saya mendengar satu bentuk penolakan terhadap kekerasan yang, ironisnya, lebih jujur daripada politisi liberal yang mendukung gencatan senjata sambil tetap mengizinkan ekspor senjata. Dalam dunia yang serba terbalik ini, kadang kebenaran justru datang dari arah yang paling tak terduga.

Kita hidup di zaman di mana perang bisa disebut “perdamaian yang dipaksakan,” dan kolonisasi bisa dijual sebagai “revitalisasi ekonomi.” Israel bukan lagi kisah tentang sebuah negara kecil yang bertahan dari musuh besar. Ia kini adalah kisah tentang sebuah negara yang sedang membakar dirinya sendiri, dari dalam dan dari luar, demi ambisi yang tak lagi punya wajah manusia.

Dan mungkin, hanya mungkin, kehancuran itu bukan datang dari Gaza. Tapi dari Yerusalem, dari jantungnya sendiri, dari lubuk nurani yang selama ini dibungkam, dipaksa tunduk pada retorika perang tanpa akhir. Dua front telah terbuka lebar. Satu dibanjiri darah orang lain. Yang satu lagi dibanjiri air mata rakyatnya sendiri. Tak perlu musuh eksternal untuk menghancurkan sebuah negara. Cukup biarkan ia memusuhi dirinya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer