Opini
Drone Ukraina Hantam Moskow: Perdamaian atau Provokasi?

Ukraine meluncurkan serangan drone terbesar ke Moskow pada hari Selasa, mengirimkan 91 UAV yang menewaskan dua orang, menyebabkan kebakaran, dan menutup bandara. Ironisnya, ini terjadi ketika delegasi Ukraina bersiap bertemu tim AS di Arab Saudi untuk membahas perdamaian. Ah, perdamaian! Sebuah kata yang kerap diucapkan namun jarang dipraktikkan, terutama dalam permainan kekuasaan.
Dalam dunia yang dikendalikan oleh kepentingan, perdamaian bukanlah tujuan, melainkan alat tawar. Ukraina, dengan segala keterbatasannya, memahami hal ini dengan baik. Zelensky tahu bahwa duduk di meja perundingan tanpa posisi kuat adalah bunuh diri politik. Jadi, drone-drone itu bukan sekadar senjata, tetapi sinyal bahwa Kyiv belum siap tunduk.
Realisme dalam politik internasional mengajarkan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan nasionalnya, bukan berdasarkan moralitas atau janji-janji palsu. Ukraina tidak mungkin percaya bahwa Rusia akan menghormati perjanjian damai tanpa tekanan. Maka, serangan ini adalah strategi klasik untuk meningkatkan daya tawar sebelum negosiasi, bukan sabotase, melainkan investasi.
Sementara itu, Moskow dengan segala superioritas militernya tentu akan membalas. Putin paham betul bahwa kelemahan adalah undangan bagi lebih banyak serangan. Narasi bahwa Ukraina menyerang infrastruktur sipil pun digemakan untuk menciptakan justifikasi bagi respons brutal. Permainan lama ini terus berulang, di mana perang disebut sebagai tindakan bela diri, dan serangan dipoles sebagai keharusan.
Namun, di balik layar, ini bukan sekadar persaingan antarnegara. Ini adalah tentang survival elit. Zelensky berada di ujung tanduk. AS menekan agar ia menandatangani perjanjian damai, tetapi kaum nasionalis Ukraina menuntut perang total. Jika ia menyerah terlalu cepat, ia bukan hanya kehilangan dukungan, tetapi mungkin kehilangan posisinya—bahkan kepalanya.
Lihatlah sejarah! Pemimpin yang menyerah tanpa hasil sering kali berakhir di lubang hitam politik. Zelensky tidak bodoh. Ia tahu bahwa mengulur perang adalah satu-satunya cara untuk tetap relevan. Maka, drone-drone itu bukan hanya serangan, tetapi pernyataan bahwa ia masih mengendalikan situasi. Perdamaian? Itu urusan nanti.
Washington mungkin frustrasi dengan tindakan ini, tetapi mereka pun bermain dalam narasi realisme. AS ingin Ukraina bertahan, tetapi tidak sampai menang terlalu cepat atau terlalu lama. Zelensky dibiarkan bertindak cukup agresif untuk membuat Rusia sibuk, tetapi tidak cukup untuk benar-benar menutup peluang negosiasi yang bisa menguntungkan kepentingan AS di kawasan.
Di sisi lain, Rusia pun tidak benar-benar menginginkan perdamaian dengan Ukraina yang masih bisa melawan. Putin ingin kemenangan total atau setidaknya situasi yang cukup membuat Ukraina tidak lagi menjadi ancaman. Serangan drone ini menjadi bahan bakar bagi narasi bahwa Ukraina adalah ancaman yang harus dihancurkan, bukan diajak berunding.
Media di Rusia dengan cepat membingkai serangan ini sebagai terorisme, bukan strategi perang. Ini bukan kebetulan. Putin, sebagaimana Zelensky, juga berjuang untuk survival politiknya. Ia harus memastikan bahwa rakyat Rusia tetap bersatu dalam menghadapi ancaman eksternal. Tidak ada yang lebih efektif untuk mengonsolidasikan kekuasaan selain musuh bersama.
Dari perspektif survival elit, perang ini adalah panggung di mana para pemimpin menunjukkan keberanian mereka. Zelensky ingin terlihat sebagai pejuang, Putin ingin terlihat sebagai pelindung. Keduanya tahu bahwa kesalahan sedikit saja bisa membuat mereka tergelincir ke dalam jurang yang dalam. Inilah mengapa serangan dan balasan terus terjadi.
Bagi Zelensky, serangan ini juga pesan kepada AS bahwa ia tidak bisa begitu saja didikte. Ia tahu bahwa AS ingin menyelesaikan perang ini dengan cara yang menguntungkan mereka, tetapi Ukraina bukan sekadar bidak catur dalam permainan geopolitik Barat. Dengan mengintensifkan serangan, ia menunjukkan bahwa ia masih memiliki kehendak politik yang mandiri.
Namun, ini juga pertaruhan besar. Jika AS merasa Zelensky mulai menjadi beban, dukungan bisa berkurang. AS tidak memiliki loyalitas emosional terhadap Ukraina, hanya kepentingan. Jika kepentingan itu berubah, Zelensky bisa menjadi sosok yang dibuang. Inilah dilema pemimpin kecil dalam permainan besar: bertahan berarti melawan, tetapi melawan terlalu keras bisa membuatnya kehilangan sekutu.
Sementara itu, rakyat kedua negara terus menjadi korban. Di Moskow, warga tetap bekerja seperti biasa meskipun langit mereka dipenuhi drone. Di Kyiv, alarm serangan udara sudah menjadi lagu latar kehidupan sehari-hari. Bagi elit politik, ini adalah strategi, tetapi bagi rakyat, ini adalah realitas pahit yang terus mereka telan.
Jika kita kembali ke logika realisme, pertanyaan terbesar bukanlah apakah perdamaian mungkin terjadi, tetapi kapan salah satu pihak akan merasa cukup kuat untuk mendikte syarat-syaratnya. Hingga saat itu tiba, serangan drone akan terus terjadi, kota-kota akan terus terbakar, dan para pemimpin akan terus berbicara tentang perdamaian sambil mempersiapkan perang berikutnya.
Ironi terbesar dalam semua ini adalah bahwa semua pihak berbicara tentang solusi politik sambil terus menekan pelatuk. Zelensky ingin mempertahankan posisinya, Putin ingin mempertahankan dominasinya, dan AS ingin mempertahankan kepentingannya. Perdamaian bukanlah tujuan, tetapi alat negosiasi yang harus diraih dengan darah dan api.
Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar menginginkan perdamaian kecuali mereka yang mati di medan perang atau mereka yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Namun, mereka tidak punya suara dalam permainan ini. Keputusan ada di tangan mereka yang duduk di istana, bukan di parit. Dan selama itu terjadi, drone akan terus terbang, rudal akan terus diluncurkan, dan perdamaian akan tetap menjadi ilusi yang dijual kepada dunia.