Connect with us

Opini

Drama di Gedung Putih: Zelensky Tak Ingin Perang Usai?

Published

on

Gedung Putih seharusnya menjadi panggung megah untuk diplomasi tingkat tinggi. Namun, kali ini, konferensi pers yang melibatkan Donald Trump, Wakil Presiden JD Vance, dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berubah menjadi arena pertengkaran yang lebih mirip dengan acara debat kelas berat. Tidak ada sarung tinju, tetapi ada pertukaran pukulan verbal yang tajam, lengkap dengan gestur tubuh yang mengungkapkan lebih dari seribu kata.

Zelensky datang dengan pakaian khasnya: kaos hijau tentara, seolah-olah baru saja turun dari medan perang. Seorang wartawan pun tak tahan bertanya, “Mengapa tidak memakai setelan jas?” Zelensky dengan santai menjawab, “Saya akan mengenakan jas setelah perang berakhir.” Jawaban yang tentu terdengar heroik—jika saja ia tidak pernah mengenakan jas dalam beberapa pertemuan lain. Apakah ini simbol perjuangan atau bentuk penghinaan terselubung terhadap protokol diplomasi Amerika?

Di satu sisi, Trump duduk dengan setelan jas khasnya, dengan ekspresi yang bisa dibaca jelas: frustrasi. Sudah cukup baginya berhadapan dengan media yang menurutnya penuh kebohongan, kini ia juga harus menghadapi tamu yang tidak tahu berterima kasih. “Apakah kamu sudah mengucapkan terima kasih sekali saja dalam pertemuan ini?” tanya Trump dengan nada seperti bos yang kesal karena karyawannya tidak mengucapkan terima kasih setelah menerima gaji.

JD Vance, wakil presiden yang tampaknya sedang menikmati pertunjukan ini, mulai menyerang dengan gaya khasnya. Ia menantang Zelensky soal rekrutmen tentara dan menyebut bahwa Ukraina mengalami krisis kepercayaan. Zelensky, dengan tangan bersedekap dan ekspresi skeptis, mendengarkan seolah-olah ia adalah guru yang bosan mendengar muridnya mengulang retorika yang tidak masuk akal.

Trump, dengan gaya negosiator ulungnya, berulang kali menekankan bahwa perang ini seharusnya tidak terjadi jika ia masih menjabat. “Jika saya yang jadi presiden, perang ini tidak akan pernah terjadi!” katanya, dengan keyakinan khas seorang salesman yang menjual versi sejarah alternatif. Ia bahkan menyebut bahwa Putin sangat serius ingin berdamai, karena—tentu saja—Trump mengenalnya dengan baik, seperti sahabat lama yang hanya salah paham sedikit.

Namun, Zelensky tidak begitu yakin. Ia mengingatkan bahwa Putin sudah 25 kali melanggar kesepakatan gencatan senjata. Tapi Trump tidak peduli dengan sejarah, ia hanya peduli dengan deal. “Setiap negosiasi butuh kompromi,” ujarnya, seolah-olah pembagian wilayah Ukraina bisa diselesaikan seperti transaksi properti Manhattan. Zelensky pun semakin terlihat geram, tetapi tetap berusaha tenang.

Konferensi pers semakin panas ketika pembahasan beralih ke bantuan militer. Trump menekankan bahwa AS sudah memberikan banyak bantuan dan bahwa Biden hanya menghambur-hamburkan uang tanpa jaminan keamanan. “Kami sudah memberi kalian $350 miliar!” seru Trump, seolah-olah Zelensky adalah pelanggan yang tidak membayar tagihan restoran mahal. JD Vance menambahkan dengan nada menyindir bahwa Zelensky seharusnya lebih menghargai apa yang telah dilakukan AS.

Laporan terbaru semakin memperkuat dugaan bahwa Zelensky tidak ingin perang segera berakhir. Dalam wawancara dengan Fox News, ia menolak meminta maaf kepada Trump meskipun dituduh tidak menghormati AS. “Saya tidak yakin kami melakukan kesalahan,” katanya, sambil bersikeras bahwa dialog keras diperlukan dalam hubungan strategis. Jika Zelensky benar-benar ingin memastikan dukungan AS, permintaan maaf sederhana bisa meredakan ketegangan. Tapi justru, ia memilih untuk tetap berkonfrontasi.

Trump sendiri secara terbuka menuduh Zelensky lebih tertarik mempertahankan perang daripada mencari perdamaian. “Kami tidak ingin terlibat dalam perang 10 tahun. Ini adalah orang yang ingin menandatangani kesepakatan dan terus bertempur,” ujar Trump. Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa Zelensky mungkin punya alasan politis untuk tidak mengakhiri perang. Dengan berlanjutnya perang, pemilu Ukraina dapat terus ditunda, menjaga posisi Zelensky di puncak kekuasaan.

Selain itu, Zelensky tampaknya sangat sadar bahwa Eropa tidak akan meninggalkan Ukraina. Ia bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa tanpa AS, Eropa tidak akan bisa bertindak maksimal. “Eropa siap, tapi tanpa Amerika, mereka tidak akan sekuat yang kami butuhkan,” katanya. Ini menunjukkan bahwa Zelensky yakin bahwa Eropa sudah terlalu dalam berinvestasi dalam perang ini dan tidak bisa mundur begitu saja.

Jika benar, ini adalah strategi politik yang cerdik sekaligus berbahaya. Dengan memastikan bahwa perang tetap berjalan, Zelensky bisa terus mengontrol Ukraina tanpa pemilu. Jika perang berakhir, pemilu harus segera diadakan—dan kemungkinan besar, ia akan menghadapi tantangan serius dari lawan politiknya. Jika perang terus berlangsung, ia bisa tetap menggunakan narasi darurat nasional untuk menunda pemilu dan mempertahankan posisinya.

Lalu, bagaimana dengan kesepakatan sumber daya alam antara AS dan Ukraina? Seharusnya, pertemuan di Gedung Putih menghasilkan perjanjian besar di mana AS mendapatkan hak atas mineral langka Ukraina. Namun, karena konflik yang semakin memanas dalam pertemuan ini, kesepakatan itu tampaknya terancam. Apakah ini bagian dari strategi Zelensky untuk memastikan bahwa AS tetap terikat dalam perang lebih lama?

Pada akhirnya, semua ini mengarah pada satu pertanyaan besar: Apakah Zelensky benar-benar berjuang untuk Ukraina, atau untuk kursinya sendiri? Dengan menolak gencatan senjata tanpa jaminan besar, bersikap konfrontatif terhadap AS, dan mempertahankan perang yang memungkinkan ia tetap berkuasa, semakin jelas bahwa ada kepentingan politik yang lebih besar dari sekadar pertahanan negara.

Momen ini mungkin akan dikenang sebagai salah satu pertemuan paling panas dalam sejarah diplomasi Gedung Putih. Dan Zelensky? Mungkin lain kali ia akan mengenakan jas, hanya untuk melihat apakah itu akan membuat Trump lebih lunak. Tapi, sepertinya tidak.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *