Connect with us

Opini

Drama Antisemitisme di Swiss: Manipulasi atau Realita?

Published

on

Di sebuah hotel mewah di Arosa, Switzerland, sebuah drama besar terjadi. Yaniv Bender, mantan CEO perusahaan investasi di “Israel”, mendapati dirinya bersama keluarganya diusir malam-malam. Alasan pengusiran itu? Manajer hotel menyebut mereka sebagai “barbar” setelah adu argumen soal spa. Seperti biasa, kartu andalan segera dimainkan: ini adalah antisemitisme.

Bender menuduh bahwa pengusiran tersebut bukan sekadar insiden biasa, tetapi sebuah serangan penuh kebencian. Ia bahkan menyiratkan bahwa situasi ini mungkin ada hubungannya dengan perang di Gaza. Tuduhan serius ini langsung menyedot perhatian banyak pihak. Rabbi terkemuka segera turun tangan, mengutuk tindakan hotel, sementara hotel dengan tegas membantah tuduhan itu.

Namun, mari kita lihat lebih dalam. Ketika seseorang memesan spa, meminta perubahan jadwal, lalu terlibat cekcok karena hotel meminta biaya, apakah ini benar-benar soal antisemitisme? Atau hanya peristiwa sehari-hari yang dibesar-besarkan oleh seorang tamu hotel yang terlalu marah? Di sinilah kartu “antisemitisme” menunjukkan keajaibannya.

Mengapa kartu ini selalu tersedia di atas meja? Karena ia multifungsi. Kritik terhadap kebijakan zionis di Gaza? Antisemitisme. Mengecam pembunuhan anak-anak Palestina? Antisemitisme. Berdebat soal spa? Antisemitisme juga, rupanya. Kita sedang hidup di era di mana istilah ini digunakan begitu longgar hingga kehilangan bobot moralnya.

Antisemitisme adalah masalah nyata, tetapi menggunakannya untuk membungkam semua kritik atau menyelesaikan konflik pribadi adalah tindakan picik. Ketika istilah ini digunakan secara sembrono, ia menjadi seperti alarm palsu yang terus berbunyi. Orang-orang akhirnya berhenti memperhatikannya, bahkan ketika benar-benar diperlukan.

Bayangkan jika setiap ketidaksepakatan kecil di dunia ini segera dicap dengan istilah-istilah besar seperti itu. Orang bertengkar soal tempat parkir? Diskriminasi! Pelayan lupa membawa kopi tepat waktu? Kebencian sistemik! Akhirnya, semua ini menjadi bahan tertawaan, bukan hanya untuk para pengkritik, tetapi juga bagi mereka yang benar-benar membutuhkan perlindungan.

Trik ini sebenarnya sudah lama dipakai oleh zionis untuk mendistraksi dunia dari kenyataan pahit di Palestina. Ketika pembunuhan, penghancuran rumah, dan blokade sedang terjadi, fokus dialihkan ke cerita dramatis seperti ini. Bukannya berbicara soal penderitaan warga Gaza, perhatian diarahkan pada Yaniv Bender yang marah karena jadwal spa-nya tak bisa diubah.

Hotel yang bersangkutan membantah keras tuduhan tersebut, mengklaim bahwa keputusan mereka murni berdasarkan perilaku tamu, bukan identitasnya. Apakah ini berarti kita langsung percaya pada versi hotel? Tentu tidak. Tetapi jika setiap konflik antarpribadi langsung dianggap sebagai isu global, maka kita kehilangan kemampuan untuk membedakan masalah besar dari yang kecil.

Ironi besar dari semua ini adalah bahwa strategi memainkan kartu antisemitisme justru merusak perjuangan melawan diskriminasi yang sesungguhnya. Ketika istilah ini digunakan untuk hal-hal sepele, orang menjadi skeptis, bahkan sinis, ketika menghadapi tuduhan yang lebih serius. Ini adalah strategi yang menghancurkan kredibilitasnya sendiri.

Tentu, kita harus selalu waspada terhadap kebencian dan diskriminasi. Tetapi kita juga harus waspada terhadap mereka yang menggunakannya sebagai tameng untuk menyembunyikan kesalahan atau membenarkan tindakan tidak adil. Ketika tuduhan seperti ini dilemparkan sembarangan, itu seperti serigala yang terus-menerus berteriak “serigala”.

Jadi, apakah Yaniv Bender benar-benar korban kebencian? Atau hanya tamu hotel yang marah karena tak mendapatkan keinginannya? Kita mungkin tak pernah tahu pasti. Tapi satu hal yang jelas: jika setiap argumen kecil diubah menjadi isu besar, maka dunia ini akan dipenuhi dengan drama, bukan penyelesaian masalah.

Mungkin inilah saatnya kita berhenti sejenak dan berpikir. Ketika sebuah kartu dipakai terlalu sering, nilainya menurun. Antisemitisme adalah isu serius yang membutuhkan perhatian serius, bukan bahan lelucon atau alat untuk memenangkan setiap argumen. Karena pada akhirnya, jika semua adalah korban, maka tidak ada yang benar-benar menjadi korban.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *