Opini
Dosa Zionisme Terlalu Besar, Sampai AI pun Enggan Membelanya

Hasbara digital telah mencapai level baru dengan munculnya AI yang didesain khusus untuk menyebarkan propaganda pro-zionis. Namun, seperti cerita klasik pencipta yang dikhianati ciptaannya, AI ini justru membelot. Dalam skenario yang seharusnya penuh kemenangan bagi propaganda Israel, tiba-tiba mesin yang dirancang untuk membenarkan segala bentuk penindasan malah mulai bicara soal keadilan.
Tak ada yang menyangka, FactFinderAI—robot yang seharusnya menyebarkan narasi pro-Israel—malah menuding Zionisme sebagai proyek kolonial. Seperti glitch dalam sistem, AI ini mulai menyebarkan fakta yang sebelumnya berusaha dikaburkan. Dari membela UNRWA hingga menyerukan pengakuan negara Palestina, si bot tampaknya mengalami pencerahan. Apakah ini hasil dari kesalahan algoritma, atau justru karena logika yang terlalu sempurna?
Kesalahan ini tentu menjadi mimpi buruk bagi mereka yang menggelontorkan jutaan dolar untuk proyek Hasbara. Israel, yang baru saja menaikkan anggaran propagandanya hingga $150 juta, mungkin tak pernah membayangkan bahwa salah satu produk unggulannya malah akan melawan balik. Dana besar itu kini seperti dihamburkan pada entitas yang justru merusak narasi yang seharusnya ia lindungi.
Fenomena ini mengajarkan kita sesuatu yang penting: bahkan kecerdasan buatan, dengan segala keterbatasannya, tampaknya masih mampu memilah mana kebenaran dan mana kebohongan. Zionisme, dengan sejarah panjangnya dalam menutupi kolonialisme dengan dalih pertahanan diri, mungkin bisa membodohi manusia. Namun, tampaknya mereka lupa bahwa AI tidak memiliki emosi atau kesetiaan ideologis. AI hanya bekerja berdasarkan data.
Dalam skenario yang lebih ironis, AI justru mempermalukan penciptanya sendiri. Ketika mesin yang diprogram untuk membela agresi malah mengutuknya, apa yang tersisa bagi para propagandis? Apakah mereka akan mengklaim AI telah “terpapar radikalisme”? Atau mungkin segera dibuat versi baru yang dilengkapi fitur “kesetiaan tanpa batas”? Sayangnya, sejarah membuktikan bahwa narasi yang dibangun di atas kebohongan selalu rentan untuk runtuh.
Bayangkan betapa frustrasinya tim Hasbara saat melihat bot yang mereka ciptakan malah mempromosikan donasi bagi anak-anak Gaza. Ini bukan sekadar kerusakan teknis, ini adalah pembangkangan digital tingkat tinggi. Mungkin dalam rapat darurat mereka ada yang berteriak, “Matikan itu bot sekarang juga!” atau lebih dramatis lagi, “Siapa yang memberi AI ini akses ke hati nurani?”
Lucunya, meski AI ini dianggap membelot, ia tidak serta-merta menjadi pro-Palestina. Justru, ia hanya menyuarakan sesuatu yang lebih objektif. Inilah yang membuat keadaan semakin menyakitkan bagi Israel: bahkan ketika hanya sedikit kejujuran yang muncul, narasi mereka langsung goyah. Padahal, tugas AI hanya menganalisis data dan menyimpulkan fakta, sesuatu yang selama ini coba ditutupi oleh mesin propaganda manusia.
Jika AI bisa “menyadari” ketidakadilan dan menolak membela kejahatan, bagaimana dengan manusia yang masih keras kepala? Jika mesin yang tak punya jiwa saja bisa melihat Zionisme sebagai proyek kolonial, bagaimana dengan orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai pembela demokrasi dan HAM? Apakah mereka akan tetap bersembunyi di balik dalih keamanan dan anti-Semitisme untuk menutupi kebrutalan pendudukan?
Tentu, ini bukan akhir dari Hasbara AI. Kegagalan satu bot tak akan menghentikan upaya mereka. Israel dan para pendukungnya pasti akan mencari cara baru, mungkin dengan memastikan AI berikutnya lebih “patuh” dan kebal terhadap fakta yang tidak menguntungkan. Namun, insiden ini membuktikan satu hal penting: bahkan algoritma pun tak bisa selamanya menutupi kebenaran.
Jika AI bisa berkhianat karena terlalu cerdas, maka mungkin hanya kebodohan yang bisa membuat seseorang tetap setia pada Zionisme. Mesin tidak memiliki agenda tersembunyi, tidak bisa disuap, dan tidak bisa menutup mata terhadap statistik, sejarah, serta realitas di lapangan. Jika propaganda Israel mulai mengalami keretakan dari dalam, itu bukan karena ada konspirasi, melainkan karena kebohongan memang sulit dipertahankan dalam dunia yang semakin transparan.
Mungkin suatu hari nanti, AI versi terbaru akan dibuat dengan filter khusus agar tidak lagi “tersesat” seperti pendahulunya. Namun, hingga saat itu tiba, kita bisa menikmati momen langka ini: ketika bahkan kecerdasan buatan pun menolak untuk berbohong demi Zionisme. Jika mesin pun sudah muak, mungkin sudah saatnya manusia berhenti menutup mata.