Opini
Dosa UEA di Darfur

Dunia ini absurd, sebuah panggung di mana bom canggih bernama seperti kode rahasia mendarat di tanah kering Darfur, Sudan, meski embargo senjata PBB seharusnya mengikat semua pihak. Amnesty International, lewat laporan terbarunya, membongkar rahasia kotor: Uni Emirat Arab (UEA), negeri pencakar langit dan ambisi global, ketahuan menyalurkan senjata China ke Rapid Support Forces (RSF), kelompok paramiliter yang mengobrak-abrik Sudan. Bom GB50A, howitzer AH-4, drone bak pesawat antargalaksi—semua terdeteksi di medan perang, seolah perjanjian internasional cuma coretan di kertas bekas. Kegelisahan merayap: negara yang memamerkan kemewahan di Dubai Airshow tega memperpanjang derita di negeri yang sudah kehabisan harapan.
Laporan itu bukan sekadar fakta; ia cermin yang memantulkan ironisnya dunia. UEA, importir tunggal howitzer AH-4 dari Norinco Group China, tak bisa berdalih. Foto dan video serangan RSF di Darfur dan Khartoum menyingkap senjata-senjata itu, yang tak seharusnya berada di tangan pemberontak. RSF, dengan drone Wing Loong II dan FeiHong-95, jadi anak emas UEA, bersenjatakan teknologi yang bahkan belum debut di konflik lain. Lucu, bukan? Negara yang dielu-elukan sebagai pionir perdamaian Blinken dan perjanjian Abraham malah main api di Sudan, negeri yang cuma ingin secercah damai. Dan PBB? Mereka cuma mencatat, seolah laporan adalah trofi untuk pengkhianatan.
Sudan bagai teater tragedi tanpa akhir. Perang antara RSF dan Sudanese Armed Forces (SAF) telah merenggut puluhan ribu nyawa, dengan kekerasan seksual dan kejahatan perang jadi keseharian. RSF, dulu cuma milisi lokal, kini punya senjata canggih berkat UEA, seperti seseorang menyiram bensin ke kobaran api. Amnesty menuding UEA sengaja melanggar embargo, didukung data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI): hanya UEA yang punya howitzer itu dari China. Ini bukan salah kirim; ini keputusan. Keputusan untuk mempersenjatai pemberontak, merusak kedaulatan Sudan, dan membiarkan rakyatnya tenggelam dalam duka.
Ironi makin tebal saat kita lihat China. Negara yang bangga menandatangani Arms Trade Treaty tetap jual senjata ke UEA, meski tahu riwayat buruk mereka soal re-ekspor. Norinco Group, pembuat bom dan howitzer, bungkam saat Amnesty tanya. Mungkin mereka sibuk hitung untung, atau pura-pura tak tahu. Ini seperti menjual golok ke tetangga yang doyan tawuran, lalu bilang, “Bukan urusanku kalau dia tebas orang.” China, dengan retorika perdamaian globalnya, ternyata tak keberatan jadi penutup mata bagi ambisi UEA. Sementara UEA main dua muka: di depan dunia bicara investasi hijau, di belakang kirim bom ke Sudan.
Lalu ada ICJ, yang seharusnya benteng keadilan. Sudan coba seret UEA ke pengadilan, tuduh mereka langgar Konvensi Genosida 1948 lewat dukungan ke RSF. Hasilnya? ICJ, dengan ekspresi kaku, bilang tak punya yurisdiksi karena UEA punya “cadangan” di Artikel IX. Artinya, UEA sudah pasang pagar hukum dari awal, jadi tuduhan Sudan cuma numpang lewat. Ini seperti polisi bilang, “Maaf, tak bisa tangkap pencuri karena dia sudah bilang tak mau ditangkap.” Sudan pulang tangan hampa, sementara RSF terus berpesta dengan senjata UEA. Keadilan, katanya, tapi kok rasanya seperti drama murahan.
Apa yang UEA mau dari Sudan? Emas, mungkin, karena RSF kuasai tambang di Darfur. Atau pengaruh di Laut Merah, jalur perdagangan yang jadi incaran. Atau sekadar main catur geopolitik, dengan Sudan sebagai papan dan RSF sebagai bidak favorit. Tapi apa pun motifnya, UEA pilih kepentingan sendiri ketimbang nyawa rakyat Sudan. Mereka seperti tamu yang datang ke pesta, habisin semua minuman, lalu bakar rumah tuan rumah sebelum kabur. Dan dunia? Kebanyakan cuma nonton, mungkin sambil unggah status soal perdamaian di media sosial.
Amnesty, dengan penuh semangat, serukan embargo senjata diperluas ke seluruh Sudan, bukan cuma Darfur. Mereka juga minta negara-negara hentikan pasokan senjata ke UEA sampai ada jaminan tak ada lagi pengalihan ke zona konflik. Tapi, jujur saja, ini dunia tempat Dewan Keamanan PBB lebih sering veto daripada setuju. UEA, dengan dompet tebal dan jaringan diplomatik, punya peluang besar lolos dari sanksi. Mereka seperti anak nakal yang tahu orang tua cuma ngomel, bukan hukum. Sementara Sudan terus berdarah, dan RSF, dengan senjata baru, mungkin sedang rencanakan serangan berikutnya.
Lihat konteks lokal Sudan, dan semuanya makin pahit. Keluarga di Khartoum, yang dulu cuma pusing soal harga beras, kini sembunyi dari bom entah dari mana. Perempuan di Darfur, korban kekerasan seksual RSF, tak punya harapan keadilan. Ini bukan cuma soal senjata; ini soal nyawa, mimpi, dan masa depan yang dirampas. Di Indonesia, kita tahu cerita konflik dan campur tangan asing—Timor Timur, Aceh, kan? Bedanya, Sudan tak punya cukup sorotan dunia. Media lebih sibuk bahas drama selebriti daripada bom di Darfur.
Jadi, apa sikap kita? Tertawa miris, mungkin, karena dunia ini memang gila. UEA, dengan gemerlap Dubainya, ternyata tak segan main kotor di Sudan. China, dengan senyum diplomatik, jual senjata tanpa beban. PBB, dengan resolusinya, cuma jadi penutup buku yang tak dibaca. Tapi di balik sindiran, ada panggilan: pikir, tuntut akuntabilitas, meski cuma lewat suara kecil. Sudan bukan sekadar nama di peta; ia cermin kegagalan kita semua. Kalau kita diam, bukankah kita juga ikut bersalah?
Narasi ini, dengan kepahitannya, ajak kita tatap realitas: dunia tak selalu adil, tapi kita bisa pilih untuk tidak buta. UEA mungkin lolos dari ICJ, tapi sejarah tak lupa. Sudan, dengan luka-lukanya, menunggu kita peduli. Baca laporan itu, pikirkan, dan mungkin, dengan senyum miris, kita bisa tanya: sampai kapan “dosa” seperti ini dibiarkan berulang?