Connect with us

Opini

Donald Trump dan Diplomasi Dibalut Dusta

Published

on

Artikel dari The Atlantic mengungkap sesuatu yang lebih dari sekadar fakta: bahwa klaim Presiden Trump memberi Iran “dua minggu lagi” untuk diplomasi ternyata hanyalah tirai asap politik. Kedok yang menipu. Kalimat yang terdengar seperti ajakan damai, ternyata hanya pelindung tipis dari keputusan militer yang sudah dibuat. Dan kebenaran itu menyakitkan, bukan?

Rasa getir pun muncul—kegelisahan yang menggerogoti kesadaran kita—bahwa di balik bahasa diplomatik, kekuasaan bisa bermain tipu, menyembunyikan niat sejati untuk membombardir fasilitas nuklir Iran. The Atlantic menyebut keputusan itu sudah disepakati beberapa hari sebelum diumumkan, setelah pengarahan keamanan nasional pada hari Rabu. Ini bukan sekadar laporan biasa. Ini adalah cermin—memantulkan wajah politik yang manipulatif, wajah seorang pemimpin yang tak lagi peduli pada akurasi, apalagi integritas.

Di Indonesia, kita mungkin tidak terlibat langsung dalam konflik itu. Tapi kisah ini terasa dekat. Kita hidup dalam sejarah panjang janji politik yang kandas, narasi-narasi resmi yang berjarak dari kenyataan. Maka ketika kebohongan seperti ini terjadi di panggung global, kita tahu rasanya. Rasanya seperti dikhianati, bahkan ketika kita bukan pihak yang dituju.

Bagaimana kita memahami dunia di mana diplomasi hanyalah teater? Di mana bahasa damai digunakan untuk menyamarkan kesiapan perang? Dan apa maknanya ketika panggung global itu dijalankan oleh aktor-aktor yang berani mengorbankan nyawa demi narasi kemenangan?

Ketika kita telusuri lebih dalam, kegelisahan itu makin nyata. The Atlantic melaporkan bahwa serangan ini bukan aksi mendadak, apalagi reaktif. Ini operasi yang sudah dibicarakan bersama Israel—yang lebih dulu membombardir beberapa situs militer Iran. Trump, yang disebut terkesan dengan “kesuksesan” Israel, memutuskan untuk bergabung. Hasrat akan “kemenangan”—bukan pertimbangan strategis atau keamanan global—jadi motivasi utama.

Pada hari Sabtu(22/6), Trump dengan pongah menyatakan program nuklir Iran telah “sepenuhnya dan total hancur.” Sebuah klaim besar yang bertabrakan dengan penilaian resmi badan intelijen, termasuk dari Direktur Intelijen Nasional, Tulsi Gabbard. Sejak lama, bahkan sejak 2007, penilaian intelijen Amerika sendiri menyebut bahwa Iran tidak mengejar senjata nuklir. Tapi Trump mengabaikan itu semua. Ia menciptakan musuh imajiner untuk me mbenarkan tindakan nyatanya.

Kebohongan seperti ini bukan hanya soal manipulasi kata. Ia punya konsekuensi: geopolitik berubah, kepercayaan publik terkikis, dan nyawa bisa jadi taruhan. Di Indonesia, sebagai negara yang menggantungkan stabilitas ekonomi pada perdamaian kawasan dan harga minyak dunia, setiap keputusan sembrono seperti ini mengguncang kita dari jauh. Kita memang tak berada di medan perang, tapi kita merasakan dampaknya di meja makan.

Lebih buruk lagi, ultimatum Trump kepada Iran—yang katanya didasari keinginan damai—ternyata diberikan dengan agenda tersembunyi. Iran menolak tuntutan untuk menghentikan pengayaan uranium yang mereka klaim untuk tujuan damai. Mereka juga menolak pengawasan AS yang jelas-jelas tak netral. Penolakan itu dijadikan dalih untuk meluncurkan serangan. Di balik layar, Kongres pun tidak diberi informasi penuh. Sekutu-sekutu AS dibiarkan dalam gelap.

Ini bukan diplomasi. Ini adalah pemaksaan kehendak dengan selubung kebohongan. Dan kita di Indonesia tahu persis rasanya saat rakyat dikejutkan oleh keputusan elit yang tidak transparan. Kita pernah punya sejarah kelam dengan pemerintah yang menyembunyikan kenyataan. Maka gema peristiwa ini terdengar jelas dan menyakitkan.

Respons Iran pun tidak mengejutkan. Menteri Luar Negeri mereka menyebut tindakan Trump sebagai “pengkhianatan terhadap janji perdamaian global.” Ia menuduh Trump tunduk pada “rezim Zionis kriminal.” Serangan AS, menurut mereka, telah melintasi garis merah, dan Iran punya hak untuk membalas “dengan cara apa pun yang diperlukan.” Respons itu belum diumumkan, tapi getarannya sudah terasa.

Kita, bangsa yang menjunjung tinggi kedaulatan, tak bisa memandang ringan ancaman ini. Saat kekuatan besar saling berhadapan, bukan hanya jet tempur yang bersiap, tapi juga harga minyak, jalur dagang, dan ketahanan energi dunia. Selat Hormuz, di mana 20% minyak dunia melintas, berada di ujung ketegangan. Kita, sebagai negara pengimpor minyak bersih, tahu betul betapa tipisnya garis antara krisis global dan krisis dapur.

Serangan itu juga menimbulkan gelombang politik baru. Trump menyebut serangannya sebagai “sukses militer spektakuler” pada 22 Juni. Tapi laporan New York Times memperingatkan kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz sebagai pembalasan, sementara Bloomberg memprediksi lonjakan harga minyak hingga 20%. Di Indonesia, inflasi bisa melonjak, biaya hidup naik, dan rakyat kecil—yang tak pernah memilih perang—menanggung akibat dari keputusan politik yang jauh dari jangkauan mereka.

Kita tidak sedang membicarakan sekadar strategi militer. Kita sedang membahas apa yang terjadi ketika pemimpin dunia berbohong—dan kebohongan itu berdampak pada stabilitas global. The Atlantic menyoroti bagaimana Trump menyembunyikan keputusan penting dari Kongres, mirip laporan Puck pada 9 Juni yang menyebut adanya kebijakan rahasia yang bahkan tidak diketahui pejabat senior. Sekutu pun mulai resah. Keir Starmer dari Inggris meminta “penahanan diri,” sementara Jerman mendesak “kejelasan keputusan.” Bahkan Rusia mengeluarkan peringatan keras soal eskalasi bantuan militer AS ke Israel.

Ketika sekutu mulai meragukan, apa yang tersisa dari kepemimpinan global Amerika? Dan jika negara seperti Amerika bisa mengabaikan konsensus, fakta, dan transparansi, siapa lagi yang bisa dijadikan contoh?

Di Asia, latihan militer bersama antara Rusia, China, dan Iran pada Juni 2025 menunjukkan blok tandingan mulai terbentuk. TASS melaporkan bahwa Iran bahkan mempertimbangkan keluar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Lembaga think tank seperti Carnegie Endowment dan Council on Foreign Relations memperingatkan risiko perang proksi yang akan meluas ke Suriah dan Yaman, memperparah krisis kemanusiaan yang sudah akut. Laporan UNHCR pada 21 Juni menunjukkan lonjakan pengungsi dari kawasan yang terkena dampak.

Kita di Indonesia pernah menjadi rumah bagi pengungsi dan mediator dalam konflik. Tapi bagaimana kita bisa menjaga posisi itu jika dunia terus diguncang oleh ambisi pemimpin yang menjadikan kebohongan sebagai senjata utama?

Masih ada secercah harapan—betapa pun tipisnya. IAEA dalam pembaruan 22 Juni menyebut tak ada kebocoran radiasi besar. PBB sedang mempertimbangkan konferensi darurat, dengan negara-negara netral seperti Swiss dan Norwegia didorong untuk memediasi. Indonesia, sebagai bagian dari ASEAN, punya sejarah panjang diplomasi damai. Ini bisa jadi saat yang tepat bagi Jakarta untuk bersuara. Tapi apakah kita punya keberanian dan kapasitas untuk memimpin seruan itu?

Akhirnya, tulisan ini bukan semata soal Iran atau Amerika. Ini soal dunia tempat kita tinggal. Dunia di mana diplomasi telah kehilangan maknanya, diubah menjadi panggung kosong oleh aktor yang lebih peduli pada citra daripada realitas. Tindakan Trump, didorong oleh dorongan politik dan narasi kemenangan, telah merobek kain kepercayaan yang rapuh dalam sistem internasional.

Bagi kita di Indonesia—yang tak memegang pelatuk, tapi merasa dentuman—ini adalah ajakan berpikir ulang. Kita perlu pemimpin yang tak hanya bicara damai, tapi juga jujur dalam tindakan. Dunia butuh lebih dari sekadar pernyataan pers. Dunia butuh keberanian untuk berkata benar, bahkan saat kebenaran tidak menguntungkan.

Karena jika diplomasi terus dikhianati, dan kebohongan terus dirayakan, maka dunia akan terus tergelincir menuju jurang. Mungkin kita belum bisa menghentikan arus besar itu. Tapi setidaknya, kita bisa memilih untuk tidak menutup mata. Kita bisa memilih untuk menyebut kebohongan sebagai kebohongan. Dan mungkin, dari situlah harapan baru bisa tumbuh.

 

Sumber:

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *