Connect with us

Opini

Dolar Amerika, Bom Zionis, dan Genosida yang Terus Berlanjut

Published

on

Dunia kembali menyaksikan pertunjukan megah kemunafikan Barat. Di satu sisi, Amerika Serikat berbicara tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan perdamaian global. Di sisi lain, mereka menandatangani cek senilai miliaran dolar untuk zionis, memastikan bahwa bom tetap jatuh di Gaza, dan tank tetap menggiling puing-puing yang dulu disebut rumah.

Pada 28 Februari, Pentagon dengan bangga mengumumkan penjualan senjata hampir $3 miliar ke Israel. Bukan cuma peluru dan rudal, tapi juga ribuan bom seberat 2.000 pon yang bisa meratakan seluruh lingkungan dalam hitungan detik. Dan seperti biasa, kesepakatan ini dilewatkan begitu saja dari meja Kongres—karena, tentu saja, genosida tidak butuh persetujuan parlemen.

Senjata yang dijual bukan sekadar angka di laporan, tapi nyata di tanah Gaza. Bom-bom yang dikirim Washington akan meledakkan sekolah, rumah sakit, dan kamp pengungsian. Bulldozer lapis baja yang mereka hibahkan akan menggali lebih banyak kuburan massal di bawah reruntuhan. Semua ini dilakukan atas nama “kepentingan keamanan nasional” AS—sebuah eufemisme untuk bisnis perang yang menguntungkan.

Tak butuh waktu lama bagi zionis untuk menggunakan hadiah dari Washington. Sejak Minggu pagi, serangan udara dan tembakan tank telah menewaskan empat orang, termasuk seorang wanita yang dihancurkan oleh drone di Khan Younis. Seperti biasa, media arus utama menyebutnya “operasi kontra-terorisme,” seolah yang mati adalah robot tanpa keluarga, bukan manusia dengan impian yang telah dihancurkan.

Tak cukup dengan itu, Netanyahu melangkah lebih jauh. Setelah mendapat stok amunisi baru, ia memutuskan untuk menghentikan bantuan kemanusiaan ke Gaza. Tak ada makanan, tak ada obat-obatan, tak ada harapan. Dengan tenang, Tel Aviv mengumumkan bahwa perbatasan akan ditutup “sampai pemberitahuan lebih lanjut.” Dalam bahasa sederhana: biarkan mereka kelaparan sampai menyerah atau mati.

Tapi ini bukan hal baru. Setiap pelanggaran gencatan senjata, setiap kejahatan perang, selalu dibungkus dalam narasi heroik. Zionis bukan agresor, mereka hanya “bertahan.” Amerika bukan sponsor genosida, mereka hanya “melindungi sekutu.” Dan dunia dipaksa menerima kebohongan ini, meskipun rekaman yang keluar dari Gaza menampilkan mayat anak-anak yang tertimbun beton dan ibu yang meratapi bayinya yang tak bernyawa.

Sementara itu, di Washington, para politisi bersorak gembira. Industri senjata Amerika mencatat rekor keuntungan. Saham produsen bom meroket, dan para lobi zionis di Capitol Hill memastikan bahwa mesin perang terus berjalan. Setiap rudal yang menghantam sekolah di Gaza berarti dividen lebih tinggi untuk eksekutif Lockheed Martin dan Raytheon. Setiap keluarga Palestina yang terkubur hidup-hidup berarti bonus tahunan bagi para pemodal perang.

Bagi Netanyahu, ini hanyalah bagian dari permainan. Bagi Washington, ini adalah investasi. Tapi bagi rakyat Gaza, ini adalah kiamat yang berlangsung setiap hari. Setidaknya 48.388 jenazah telah ditarik dari puing-puing sejak Oktober lalu, dan lebih dari 111.803 orang terluka. Angka ini terus bertambah, tapi bagi para pendukung zionis, mereka hanyalah statistik, bukan nyawa yang berharga.

Di balik semua ini, kemunafikan Amerika semakin sulit disembunyikan. Mereka berteriak soal kebrutalan Rusia di Ukraina, tapi mendanai kehancuran di Gaza. Mereka mengecam pelanggaran HAM di negara lain, tapi mengirim bom yang digunakan untuk menghabisi seluruh keluarga Palestina. Mereka bicara tentang hukum internasional, tapi ketika zionis melanggar gencatan senjata, mereka memilih diam atau bahkan membela.

Lalu, bagaimana reaksi dunia? Seperti biasa, kecaman kosong. Resolusi PBB yang akan diveto oleh AS. Protes di jalanan yang diabaikan oleh para pemimpin dunia. Kematian terus terjadi, dan mesin perang tetap berputar. Para jurnalis yang berani melaporkan kebenaran diintimidasi, dicap sebagai anti-Semit, atau bahkan dibungkam. Sementara itu, para pemimpin dunia hanya mengangkat bahu dan menyebut ini sebagai “konflik kompleks”—seolah genosida butuh kamus untuk dijelaskan.

Gaza tak perlu simpati palsu. Mereka tak butuh pernyataan keprihatinan yang tidak berarti. Mereka butuh keadilan, mereka butuh dunia yang berani mengatakan kebenaran: bahwa AS adalah sponsor utama pembantaian ini, bahwa zionis adalah penjajah, dan bahwa tak ada yang namanya “perang defensif” ketika yang dibom adalah anak-anak di sekolah dan pasien di rumah sakit.

Tapi dunia sudah tahu ini, bukan? Hanya saja, keberanian untuk bertindak masih kalah oleh ketakutan akan kehilangan dukungan politik, kehilangan akses ekonomi, dan kehilangan kenyamanan hidup tanpa harus peduli. Maka, perang ini akan terus berlanjut. Bom akan terus jatuh. Dan Gaza akan terus membayar harga yang tak pernah mereka pilih untuk tanggung.

Sementara itu, di ruang-ruang perundingan yang jauh dari suara ledakan dan jeritan kesakitan, politisi Amerika akan terus berdebat tentang “hak Israel untuk membela diri.” Wall Street akan terus menari dalam euforia keuntungan dari perang. Dan dunia akan tetap berpura-pura bahwa ini hanyalah bagian dari konflik yang “rumit.”

Karena pada akhirnya, bagi mereka yang di puncak kekuasaan, kehidupan Palestina tidak lebih dari angka di laporan, debu di bawah bom, atau suara yang dengan mudah bisa dibungkam oleh propaganda dan uang.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *