Connect with us

Opini

Dokter Cabul: Nodai Jubah Putih, Retakkan Kepercayaan Publik

Published

on

Di ruang praktik yang seharusnya menjadi kuil penyembuhan, aroma antiseptik kini tercemar oleh skandal. Laporan mengerikan mengguncang kepercayaan publik: dokter-dokter, para “dewa berjubah putih,” ternyata tak selalu suci. Dari Bandung hingga Malang, kasus kekerasan seksual oleh dokter mencuat, menyeret nama-nama seperti Priguna Anugerah Pratama, Muhammad Syafril Firdaus, hingga AYP ke lumpur aib. Ini bukan sekadar oknum, melainkan cermin retaknya sistem kesehatan kita.

Mari kita mulai dari Bandung, di mana Priguna, dokter PPDS Unpad, mengubah Rumah Sakit Hasan Sadikin menjadi panggung kejahatan. Dengan dalih pencocokan darah, ia memikat korban ke gedung kosong, menyuntikkan obat bius, lalu memperkosanya. Korban terbangun dengan trauma dan luka, sementara polisi menemukan bukti yang tak terbantahkan. Setelah kasus ini viral, dua korban lain muncul, mengaku diperdaya pria yang sama. Bukankah ini ironis? Seorang yang bersumpah menyelamatkan nyawa justru menjadi predator.

Tak jauh dari sana, di Garut, Muhammad Syafril Firdaus, dokter kandungan, menodai profesi dengan tangan-tangan cabul. Video viral memperlihatkan ia menyentuh payudara pasien saat USG, tindakan yang tak bisa dibenarkan sebagai bagian dari prosedur medis. Polres Garut menangkapnya setelah laporan korban lain mengungkap pelecehan di indekosnya. Korban dari video itu? Masih ragu melapor, terbelenggu stigma. Betapa mulianya profesi ini, hingga korban pun takut bersuara!

Lalu, di Jakarta, Muhammad Azwindar Eka Satria, dokter PPDS UI, menambah daftar dosa. Ia merekam mahasiswi saat mandi, mengintip dari kamar mandi indekos. Ponselnya, alat kejahatan, kini jadi barang bukti. Korban kini bergulat dengan trauma, sementara Azwindar meringkuk di tahanan. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada dokter. Sungguh, jubah putih ternyata bisa menyembunyikan niat busuk.

Di Malang, Persada Hospital menjadi saksi bisu ulah AYP, dokter yang meminta pasien membuka pakaian atas tanpa alasan medis jelas, lalu menyentuh area sensitif dan memotretnya. Korban, yang awalnya menolak, dibujuk dengan dalih pemeriksaan. Kemarahan korban memicu laporan, dan rumah sakit buru-buru menonaktifkan AYP. Tapi, benarkah ini cukup? Sebuah penonaktifan sementara untuk dosa yang menghancurkan kepercayaan pasien?

Jangan salah sangka, ini bukan tentang menstigma seluruh dokter. Mereka yang berdedikasi, yang rela begadang demi nyawa pasien, masih berjumlah jauh lebih banyak. Namun, oknum-oknum ini bukan sekadar noda kecil di kain putih; mereka adalah retakan yang mengguncang fondasi kepercayaan publik. Empat kasus dalam dua bulan, di empat kota berbeda, bukan kebetulan. Ini adalah sirene peringatan bahwa sistem kita pincang, dan kita tak boleh tutup mata.

Lihatlah polanya: kuasa dan kesempatan. Dokter, dengan otoritas ilmu dan akses ke tubuh pasien, berada dalam posisi sempurna untuk menyalahgunakan kepercayaan. Priguna memanfaatkan gedung kosong, AYP bertindak tanpa pendamping, MSF beraksi di balik layar USG. Ini bukan hanya soal moral individu, tetapi kegagalan sistem yang membiarkan celah-celah ini ada. Rumah sakit, yang seharusnya benteng keamanan, ternyata rapuh.

Pengawasan adalah lelucon pahit. Ikatan Dokter Indonesia mengeluh bahwa UU Kesehatan 2023 memindahkan tanggung jawab pengawasan ke Kementerian Kesehatan, tapi sumber daya manusia tak memadai. Hasilnya? Dokter cabul berkeliaran, sementara korban berjuang sendiri melawan trauma dan stigma. Polda Jawa Barat masih menunggu hasil laboratorium untuk kasus Priguna, sementara 17 saksi telah diperiksa. Lambat, tapi setidaknya bergerak. Tapi, berapa kasus lain yang tenggelam dalam diam?

Pendidikan kedokteran juga tak luput dari kritik. Universitas ternama seperti Unpad dan UI melahirkan pelaku, bukan hanya pahlawan kesehatan. Direktur RSA UGM, Dr. Darwito, menyinggung pentingnya seleksi karakter dan pelatihan etika. Tapi, benarkah tes psikologis atau kuliah etika cukup untuk menyaring predator? Kriminolog UI Adrianus Meliala bahkan memperingatkan agar tak bereaksi berlebihan dengan kebijakan baru yang tak perlu. Lalu, apa solusinya? Abaikan saja?

Korban, oh, para korban. Mereka adalah pahlawan sejati, berani melapor meski dunia menatap dengan sinis. Di Garut, korban video viral masih menimbang-nimbang, terjebak antara privasi dan tekanan publik. Di Malang, korban AYP harus melawan bujukan pelaku sebelum akhirnya bersuara. Ini bukan sekadar kasus hukum, tetapi perjuangan melawan relasi kuasa yang timpang. Pasien, yang seharusnya dilindungi, justru menjadi mangsa.

Media sosial menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mengamplifikasi suara korban, seperti video MSF yang memicu penangkapan. Di sisi lain, ia mempermalukan korban yang belum siap, seperti di Garut. Tapi, tanpa viralnya kasus-kasus ini, akankah polisi bergerak secepat itu? Akankah rumah sakit bertindak? Publisitas adalah senjata, tapi juga beban. Dan kita, masyarakat, sering kali hanya penonton yang gemar menghakimi.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, rumah sakit harus berhenti bersembunyi di balik “penonaktifan sementara.” Prosedur ketat, seperti pendamping wajib saat pemeriksaan dan larangan dokter bertindak sendirian di ruang tertutup, harus diterapkan. Kedua, Kementerian Kesehatan harus serius menambah sumber daya pengawasan, bukan sekadar lempar tanggung jawab. Ketiga, edukasi pasien tentang hak mereka—termasuk menolak pemeriksaan tanpa pendamping—adalah keharusan.

Pendidikan kedokteran juga perlu introspeksi. Seleksi karakter bukan sekadar formalitas, dan pelatihan etika harus lebih dari kuliah membosankan. Tes psikologis berkala, meski bukan solusi ajaib, bisa membantu. Tapi, yang terpenting, budaya impunitas harus dihentikan. Dokter bukan dewa yang kebal hukum. Hukuman tegas, seperti yang dijanjikan Polda Jawa Barat untuk Priguna, harus menjadi preseden.

Terakhir, untuk korban yang masih diam, yang tak tahu cara melapor, atau yang bahkan tak sadar telah dilecehkan: ini bukan salah kalian. Sistem yang gagal melindungi, yang membiarkan dokter cabul berkuasa, adalah penutup. Komnas Perempuan, LBH APIK, atau hotline rumah sakit ada untuk membantu. Suara kalian penting, meski dunia terasa menyeramkan. Dan untuk masyarakat, berhentilah menghakimi korban. Hakimilah sistem yang membiarkan ini terjadi.

Kasus-kasus ini bukan sekadar skandal, tetapi cermin kegagalan kolektif. Dokter cabul adalah oknum, tapi oknum tak lahir dari kekosongan. Mereka tumbuh subur di celah-celah sistem yang longgar, di bawah jubah putih yang kita anggap suci. Jika kita ingin rumah sakit kembali menjadi tempat penyembuhan, bukan sarang predator, kritikan tajam dan perubahan nyata adalah harga yang harus dibayar. Jangan sampai kepercayaan kita pada kesehatan terus diperkosa oleh kelalaian.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *