Connect with us

Opini

Diplomasi Suriah: Antara Janji dan Kenyataan Pahit

Published

on

Di suatu pagi yang cerah di Suriah, Ahmad al-Sharaa, pemimpin transisi Suriah, terbang ke Arab Saudi. Ini adalah perjalanan luar negeri pertamanya setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024. Seolah-olah dunia ingin menunjukkan kepada kita bahwa setelah bertahun-tahun berperang, Suriah akhirnya menemukan cahaya di ujung terowongan diplomasi. Namun, ironisnya, begitu ia tiba di Riyadh, rakyat Suriah yang tinggal di tanah air mereka masih berjuang untuk bertahan hidup.

Sementara itu, rakyat Suriah yang tinggal di bawah bayang-bayang pendudukan Israel di Dataran Tinggi Golan, melihat dari kejauhan dengan perasaan campur aduk. Di sana, pasukan Israel semakin memperkuat cengkeraman mereka dengan membangun pos-pos militer baru, merusak desa-desa, dan menanamkan ketakutan pada masyarakat. Sedangkan para pemimpin Suriah sibuk dengan diplomasi, rakyat mereka malah terjebak dalam cengkeraman kekuasaan asing yang tak terperikan.

“Ke depan, Suriah akan menjadi negara yang lebih baik,” begitu kata al-Sharaa saat menggarisbawahi prioritasnya. Ia berbicara tentang membangun institusi negara dan ekonomi. Sementara itu, di Dataran Tinggi Golan, rakyat yang hidup dalam bayang-bayang Israel hanya bisa bertanya, “Negara yang lebih baik? Seperti apa itu?” Akankah mereka merasakan perubahan, atau mereka akan terus terpinggirkan oleh diplomasi yang dilakukan oleh para pemimpin mereka?

Di dunia luar, al-Sharaa dan Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shibani, mencoba untuk membangun hubungan baik dengan negara-negara besar, termasuk Arab Saudi. Sementara itu, di dalam Suriah sendiri, rakyat melihat ke arah mereka dengan skeptis, bertanya-tanya apa yang sebenarnya akan berubah. Di Dataran Tinggi Golan, mereka hanya bisa menonton dengan perasaan takut, karena setiap langkah diplomasi hanya semakin menguatkan kekuatan pendudukan yang mereka alami.

Ironinya, dalam pertemuan-pertemuan dengan pejabat Saudi, al-Sharaa menerima ucapan selamat atas pengangkatannya sebagai presiden interim Suriah. Tapi apakah ia bisa mengubah nasib rakyat yang sudah lama menderita? Sementara di Dataran Tinggi Golan, penduduk yang terus-menerus dipindahkan, dihancurkan, dan dikontrol oleh pasukan Israel hanya bisa memandang perubahan sebagai impian yang semakin jauh dari kenyataan.

Mungkin al-Sharaa dan para pemimpin Suriah lainnya menganggap bahwa diplomasi adalah jalan menuju perdamaian. Tapi di sisi lain, rakyat mereka merasakan perang dan pendudukan yang berlangsung tanpa henti. Rakyat yang terjebak dalam konflik terus bertanya-tanya apakah pengakuan internasional dan hubungan baik dengan negara besar bisa memberi mereka kehidupan yang lebih baik, ataukah itu hanya sebuah simbol kosong dari politik yang tidak menyentuh kehidupan mereka yang sebenarnya.

Para pemimpin Suriah tampaknya hidup dalam dunia yang berbeda dari dunia yang dijalani oleh rakyat mereka. Sementara mereka sibuk dengan konferensi dan diplomasi internasional, di lapangan, rakyat terus berjuang untuk bertahan hidup. Ketika al-Sharaa berbicara tentang membangun masa depan cerah bagi Suriah, di Dataran Tinggi Golan, sebuah wilayah yang telah lama terjajah, mereka hanya bisa berharap bahwa diplomasi yang begitu indah itu bisa memberikan mereka kebebasan yang seharusnya sudah mereka nikmati sejak lama.

Di luar sana, para pemimpin terus memberikan pernyataan optimis tentang masa depan yang cerah, sementara kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya. Rakyat Suriah, yang terjebak di dalam negeri dan terpinggirkan di luar, semakin merasa terasingkan dari para pemimpin yang begitu sibuk dengan urusan luar negeri. Ironinya, meski negara-negara besar memberikan ucapan selamat, rakyat Suriah yang sebenarnya, yang hidup dalam ketidakpastian, terus menanti jawaban dari para pemimpin mereka.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *