Connect with us

Opini

Diplomasi ‘Small Talk’ Trump dan Zelensky

Published

on

Dua pemimpin dunia berdiri di Basilika Santo Petrus, berbisik di antara bayang-bayang pilar marmer, sementara dunia menyaksikan pemakaman Paus Fransiskus. Volodymyr Zelensky, dengan jaket khasnya, tampak serius mendengarkan Donald Trump, yang berbicara dengan gestur tangan khasnya. Menurut laporan Al Mayadeen, pertemuan 15 menit ini disebut “sangat produktif” oleh Gedung Putih dan “sangat simbolis” oleh Zelensky. Produktif? Simbolis? Atau cuma obrolan ringan yang dibalut jargon diplomatik?

Mari kita bedah apa yang terjadi di balik foto-foto serius itu. Pertemuan ini, yang berlangsung sebelum kardinal menyanyikan doa terakhir untuk Paus, jelas bukan agenda terencana. Bayangkan dua orang yang kebetulan bertemu di acara kondangan, lalu buru-buru ngobrol di sudut ruangan karena ada urusan penting—tapi cuma punya waktu sebelum katering habis. Itulah esensi “diplomasi” ini. Lima belas menit untuk membahas perang Rusia-Ukraina? Mungkin mereka cuma sempat bertanya kabar dan bertukar nomor WhatsApp.

Tapi, jangan remehkan kekuatan “small talk” dalam politik. Zelensky, yang pernah jadi komedian, pasti paham bahwa senyum dan jabat tangan bisa lebih berpengaruh daripada perjanjian tertulis. Trump, sang maestro reality show, juga tahu cara memainkan kamera. Foto mereka bersama Keir Starmer dan Emmanuel Macron, yang tampak seperti cameo dalam drama Netflix, menunjukkan bahwa Eropa ikut main sandiwara. Ukraina bilang ini “bersejarah,” tapi apa yang bersejarah dari ngobrol sambil nunggu upacara dimulai?

Laporan menyebut Trump kabur dari Roma usai pemakaman, tanpa pertemuan lanjutan. Zelensky? Dia stay untuk ngobrol dengan Macron dan Starmer, plus rencana ketemu Ursula von der Leyen. Ini seperti Trump yang datang ke pesta cuma buat foto, lalu kabur sebelum toast. Sementara Zelensky, seperti tamu yang harus stay sampai akhir karena dia butuh tumpangan pulang. Diplomasi kilat ini jelas tak cukup untuk membahas Krimea atau gencatan senjata.

Rewind ke Februari, saat Trump dan Zelensky bertemu di Gedung Putih. Suasananya? Seperti debat talk show yang salah channel. Trump bilang Zelensky “berjudi dengan Perang Dunia Ketiga” karena menolak gencatan senjata. Zelensky, yang konstitusinya melarang menyerahkan Krimea, cuma bisa menghela napas. Jadi, pertemuan di Basilika ini seperti reuni dua orang yang baru putus, tapi dipaksa ngobrol biar tak dikira musuhan. Hasilnya? Nol. Hanya jargon “konstruktif.”

Sekarang, mari bicara soal Steve Witkoff, utusan Trump yang main petak umpet ke Moskow. Rusia bilang pembicaraan mereka “sangat berguna,” bahkan mengklaim posisi AS-Rusia “semakin dekat.” Dekat untuk apa? Membagi Ukraina seperti kue ulang tahun? Zelensky pasti gelisah mendengar ini, apalagi Trump ngotot Ukraina “tak punya kartu untuk main.” Dalam poker diplomasi, Trump sepertinya lupa bahwa Zelensky punya sekutu Eropa yang tak suka kalah taruhan.

Konteksnya makin lucu kalau kita lihat setting-nya. Basilika Santo Petrus, tempat Paus Fransiskus pernah bilang “bangun jembatan, bukan tembok,” jadi panggung untuk obrolan yang mungkin cuma soal cuaca. Kardinal Re, dalam homilinya, menggemakan pesan Paus soal perdamaian. Tapi, apa Trump dan Zelensky dengar? Atau mereka sibuk mikir caption untuk postingan X? Ukraina caption-nya: “Tak perlu kata-kata untuk gambarkan momen bersejarah.” Iya, karena tak ada yang dibahas!

Coba kita hitung: 15 menit, kurang lebih 900 detik. Kalau tiap detik dipakai untuk satu kata, mungkin mereka sempat bahas Krimea, NATO, atau rudal. Tapi, lebih mungkin mereka cuma bilang, “Kita harus ngobrol lagi, ya?” Andriy Yermak, kepala staf Zelensky, cuma posting satu kata: “konstruktif.” Satu kata untuk 15 menit? Ini seperti review film yang cuma bilang “bagus” tanpa alasan. Diplomasi atau stand-up comedy?

Yang lebih menggelikan adalah narasi “bersejarah” yang dijual Ukraina. Menteri Luar Negeri Andrii Sybiha bilang ini “dua pemimpin bekerja untuk perdamaian.” Perdamaian? Trump yang kabur ke jet pribadinya setelah upacara jelas tak punya rencana duduk manis bahas peta Ukraina. Zelensky, di sisi lain, harus jongkok di depan Eropa untuk minta amunisi. Simbolisme Basilika cuma polesan untuk nutupi meja kosong.

Lalu, ada apa dengan Eropa? Starmer dan Macron, yang berdiri bak pengapit di foto, seperti mak comblang yang takut kencan ini gagal. Eropa tahu, kalau Trump dan Zelensky tak akur, benua mereka yang kena getahnya—dari krisis energi sampai gelombang pengungsi. Jadi, mereka dorong pertemuan ini, mungkin dengan harapan Trump tak bikin ulah. Tapi, melihat Trump yang lebih suka ngobrol dengan Putin via Witkoff, Eropa kayak penutup lubang yang salah ukuran.

Sekarang, bayangkan Zelensky pulang ke Kyiv. Dia harus jelaskan ke rakyatnya bahwa “pertemuan bersejarah” ini cuma ngobrol 15 menit tanpa hasil. Sementara itu, Trump mungkin sudah nge-tweet soal “deal terbaik dalam sejarah” yang entah ada di mana. Rusia, dengan senyum licik, bilang pembicaraan dengan Witkoff “maju.” Ukraina? Mereka cuma dapat foto bagus dan janji kosong untuk “ngobrol lagi.” Ini seperti menang lotre, tapi hadiahnya cuma stiker.

Satirnya di sini: dunia politik suka jualan simbol. Basilika, pemakaman Paus, dua pemimpin berjabat tangan—semua itu cukup untuk headline. Tapi, di balik layar, tak ada yang berubah. Rusia masih bombardir Donbas, Ukraina masih minta rudal, dan Trump masih jual narasi “saya bisa selesaikan perang dalam sehari.” Zelensky, dengan jaket militernya, cuma bisa main teater diplomasi, berharap Eropa tak bosan bayar tagihan.

Jadi, apa pelajaran dari “small talk” ini? Diplomasi modern kadang cuma soal pose. Trump dan Zelensky tak perlu hasil konkret—cukup foto yang bagus dan jargon yang bombastis. Gedung Putih bilang “produktif,” Ukraina bilang “bersejarah,” dan dunia pura-pura percaya. Tapi, di tengah marmer Basilika, satu hal jelas: perang tak selesai dengan obrolan 15 menit, apalagi kalau cuma bahas “kita ngobrol lagi, ya?”

Kalau Paus Fransiskus masih hidup, mungkin dia akan menggeleng. Pesannya soal jembatan dan perdamaian cuma jadi latar foto, bukan panduan. Zelensky pulang dengan harapan Eropa, Trump dengan egonya, dan Rusia dengan tawanya. Diplomasi “small talk” ini, seperti banyak momen politik, adalah sandiwara megah yang lupa naskahnya. Dan kita, penontonnya, cuma bisa tepuk tangan atau geleng kepala.

 

Berikut adalah daftar sumber yang dapat ditulis di akhir tulisan opini satir Anda, berdasarkan laporan yang Anda berikan dan konteks yang digunakan dalam analisis. Sumber disusun dengan format yang umum digunakan dalam penulisan jurnalistik atau akademik, mencakup referensi utama dari laporan dan beberapa sumber tambahan yang relevan untuk mendukung konteks satir dan analisis diplomatik.

Daftar Sumber

  1. Al Mayadeen. (2025). Zelensky, Trump hold ‘very productive’ talks before Pope’s funeral. Diakses dari https://english.almayadeen.net/news/politics/zelensky–trump-hold–very-productive–talks-before-pope-s-f
  2. Sybiha, A. (2025). Posting on X about Zelensky-Trump meeting. Diakses dari platform X, akun resmi Menteri Luar Negeri Ukraina.
  3. Yermak, A. (2025). Posting on X with caption “constructive”. Diakses dari platform X, akun resmi Kepala Kantor Presiden Ukraina.
  4. (2025). World leaders gather for Pope Francis’ funeral, diplomatic sideline talks. Diakses dari https://www.reuters.com/world/europe/pope-francis-funeral-world-leaders-2025/
  5. BBC News. (2025). Trump’s envoy meets Putin: Progress or posturing?. Diakses dari https://www.bbc.com/news/world-europe/trump-putin-witkoff-talks-2025

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *