Connect with us

Opini

Diplomasi Sharaa vs. Darah Alawit: Masa Depan Suriah Rapuh

Published

on

Karpet merah terbentang di Bandara Internasional Hamad, Doha, menyambut Presiden Interim Suriah Ahmed al-Sharaa dengan kemegahan diplomatik. Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani menjabat tangannya, simbol harapan baru bagi Suriah pasca-Assad. Namun, di Latakia, warga Alawit bersemayam dalam ketakutan, dihantui pembantaian dan penculikan, sebagaimana dilaporkan The Cradle. Menurut Al Mayadeen, kunjungan Sharaa ke Qatar menjanjikan rekonstruksi, tetapi darah di pantai Suriah mengancam narasi persatuan.

Kunjungan Sharaa ke Qatar menandakan langkah strategis untuk membangun legitimasi regional. Al Mayadeen melaporkan bahwa Emir Qatar, yang pertama kali mengunjungi Damaskus pasca-Assad, menegaskan dukungan untuk Suriah. Qatar, yang mendanai pemberontak anti-Assad sejak 2011, berjanji memasok 200 megawatt listrik dan membantu rekonstruksi. Menteri luar negeri Suriah, melalui X, memuji Qatar sebagai sekutu setia. Pertemuan Sharaa dengan Presiden UEA Sheikh Mohamed bin Zayed sebelumnya juga menghasilkan komitmen serupa untuk pembangunan kembali.

Namun, laporan The Cradle mengungkap realitas kelam di dalam negeri. Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) mencatat 1.700 Alawit dibantai oleh pasukan pro-pemerintah di Latakia, Tartus, dan Homs pada Maret. Kekerasan berlanjut, dengan 42 kematian tambahan pasca-Ramadan. Seorang warga Alawit anonim kepada Associated Press (AP) menggambarkan serangan acak, seperti pembunuhan pekerja pabrik berusia 20 tahun yang tak terkait dengan rezim Assad, menyoroti sifat sektarian kekerasan ini.

Sharaa, mantan komandan Al-Nusra Front, berupaya meredam krisis dengan membentuk komite investigasi pada 9 Maret, menjanjikan laporan dalam 30 hari. Namun, Reuters melaporkan perpanjangan tenggat waktu hingga tiga bulan pada 11 April, memicu skeptisisme. Firas, warga Alawit di Latakia, menyebutnya upaya “mengulur waktu.” Pernyataan Sharaa pada 2015, yang menyerukan Alawit masuk Islam Sunni atau mati, sebagaimana dikutip The Cradle, memperumit klaimnya sebagai pemimpin inklusif.

Kekerasan ini bukan sekadar pelanggaran HAM, tetapi ancaman bagi ambisi diplomatik Sharaa. Amnesty International mendokumentasikan kasus di mana penyerang menargetkan Alawit karena identitas sektarian, menyalahkan mereka atas pelanggaran era Assad. Video eksekusi brutal, diposting oleh pasukan keamanan Suriah di media sosial, memperkuat persepsi impunitas. Aktivis Mohammed Saleh, mantan tahanan politik, kepada AP memperingatkan risiko Suriah beralih dari satu kediktatoran ke kediktatoran lain tanpa keamanan inklusif.

Dampak kekerasan meluas ke kawasan. SOHR melaporkan 30.000 Alawit mengungsi ke Lebanon, memperberat krisis pengungsi di negara yang telah menampung 1,5 juta warga Suriah. Presiden Lebanon Joseph Aoun ke Qatar dan pertemuan Perdana Menteri Nawaf Salam dengan Sharaa di Damaskus, seperti dilaporkan Al Mayadeen, menunjukkan upaya meredakan ketegangan regional. Qatar, yang mendanai angkatan bersenjata Lebanon, berada di posisi strategis untuk memediasi, tetapi stabilitas Suriah tetap prasyarat.

Keberhasilan diplomasi Sharaa bergantung pada kemampuannya mengatasi krisis domestik. Qatar dan UEA, dengan sumber daya finansialnya, menawarkan harapan rekonstruksi, tetapi ketidakstabilan akibat kekerasan sektarian dapat menghalangi investasi. Laporan International Crisis Group (2024) memperkirakan biaya rekonstruksi Suriah mencapai $250 miliar, angka yang memerlukan kepercayaan investor. Jika kekerasan berlanjut, negara-negara Teluk mungkin ragu, mengingat risiko ketidakstabilan dan arus pengungsi baru.

Sejarah menawarkan pelajaran keras. Perang dagang Suriah dengan Turki pada 2010-an, menurut laporan World Bank, memangkas ekspor Suriah sebesar 60%, menunjukkan betapa cepat ketidakstabilan dapat merusak ekonomi. Kekerasan saat ini, yang menargetkan Alawit yang sering kali tidak terkait dengan rezim Assad, mencerminkan pola balas dendam sektarian yang menghambat rekonsiliasi nasional. Tanpa akuntabilitas, seperti yang dituntut Saleh, Suriah berisiko terjebak dalam siklus konflik baru.

Sharaa menghadapi dilema kritis: memproyeksikan persatuan di panggung global sambil mengendalikan elemen radikal dalam koalisinya. Pasukan keamanan, didominasi kelompok seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), tampaknya beroperasi dengan impunitas, sebagaimana ditunjukkan oleh video eksekusi. Komite investigasi harus menghasilkan laporan transparan, dengan hukuman bagi pelaku, termasuk dari dalam pemerintah. Kegagalan akan memperdalam perpecahan sektarian, melemahkan dukungan regional yang baru dirintis.

Qatar, dengan pengalaman menengahi konflik di Lebanon dan Afghanistan, dapat memainkan peran kunci. Dukungannya untuk Lebanon, termasuk bantuan $70 juta untuk angkatan bersenjata pada 2024 (Reuters), menunjukkan kapasitasnya sebagai stabilisator. Namun, Qatar harus mendesak Sharaa untuk mengatasi kekerasan sektarian sebagai syarat investasi. Tanpa langkah ini, janji listrik dan rekonstruksi, seperti yang diumumkan Al Mayadeen, berisiko menjadi simbol kosong di tengah penderitaan warga Alawit.

Krisis ini juga menyoroti tantangan transisi pasca-konflik. Studi United Nations (2023) tentang Irak pasca-Saddam menunjukkan bahwa kegagalan melindungi minoritas memicu konflik baru, dengan 20% populasi Irak mengungsi antara 2003-2008. Suriah, dengan 13% populasinya Alawit, menghadapi risiko serupa. Peringatan Saleh tentang perlunya angkatan bersenjata nasional yang inklusif harus menjadi prioritas, tetapi rekam jejak Sharaa menimbulkan keraguan.

Diplomasi Sharaa di Doha dan Abu Dhabi menawarkan secercah harapan, tetapi darah di Latakia mengingatkan bahwa legitimasi tidak hanya diraih di panggung internasional. Setiap Alawit yang dibunuh, setiap keluarga yang mengungsi, merusak narasi persatuan yang Sharaa coba bangun. Qatar dan UEA, sebagai mitra, harus menekan akuntabilitas, bukan hanya menjanjikan dana. Tanpa keadilan, Suriah akan tetap terperangkap dalam bayang-bayang konflik sektarian yang menghantui.

Masa depan Suriah bergantung pada kemampuan Sharaa untuk menjembatani jurang antara ambisi regional dan realitas domestik. Komite investigasi harus bertindak cepat, bukan mengulur waktu. Pasukan keamanan harus direformasi untuk mencerminkan keragaman Suriah, bukan dominasi satu kelompok. Qatar, dengan pengaruhnya, dapat mendorong perubahan ini, tetapi Sharaa harus membuktikan bahwa ia bukan lagi komandan Al-Nusra, melainkan pemimpin untuk semua warga Suriah.

Darah Alawit di pantai Suriah bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi ujian bagi visi Sharaa. Dunia menyaksikan, dari Doha hingga Damaskus, apakah ia akan membangun negara yang bersatu atau membiarkan perpecahan sektarian menghancurkan harapan rekonstruksi. Pilihan ada padanya, tetapi waktu semakin menipis, dan setiap nyawa yang hilang memperdalam luka yang sulit disembuhkan.

Sumber:

  1. Al Mayadeen. Laporan tentang kunjungan Presiden Interim Suriah Ahmed al-Sharaa ke Qatar, hubungan diplomatik dengan Emir Qatar, dan komitmen Qatar untuk pasokan listrik serta rekonstruksi Suriah.
  2. The Cradle. Laporan tentang kekerasan sektarian terhadap Alawit di wilayah pantai Suriah, termasuk pembantaian, penculikan, dan pernyataan Sharaa pada 2015 tentang Alawit.
  3. Syrian Observatory for Human Rights (SOHR). Data tentang pembunuhan 1.700 Alawit pada Maret 2025, 42 kematian tambahan pasca-Ramadan, dan 30.000 pengungsi Alawit ke Lebanon.
  4. Associated Press (AP). Wawancara dengan warga Alawit anonim di Latakia dan aktivis Mohammed Saleh tentang serangan sektarian dan risiko kediktatoran baru di Suriah.
  5. Laporan tentang perpanjangan tenggat waktu komite investigasi kekerasan Alawit hingga tiga bulan pada 11 April dan bantuan Qatar sebesar $70 juta untuk angkatan bersenjata Lebanon pada 2024.
  6. Amnesty International. Dokumentasi kasus penargetan sektarian terhadap Alawit selama pembantaian pada 7 Maret 2025, termasuk pernyataan penyerang yang menyalahkan korban atas pelanggaran era Assad.
  7. International Crisis Group (2024). Laporan yang memperkirakan biaya rekonstruksi Suriah mencapai $250 miliar, menyoroti kebutuhan stabilitas untuk menarik investasi.
  8. World Bank. Laporan tentang dampak perang dagang Suriah dengan Turki pada 2010-an, yang memangkas ekspor Suriah sebesar 60%, sebagai konteks ketidakstabilan ekonomi.
  9. United Nations (2023). Studi tentang Irak pasca-Saddam, yang menunjukkan kegagalan perlindungan minoritas memicu konflik baru dan pengungsian 20% populasi antara 2003-2008.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *