Connect with us

Opini

Diam-Diam, Al-Sharaa Bangun Kekhalifahan di Suriah?

Published

on

Dalam pidatonya yang penuh dengan janji dan optimisme, Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa mengumumkan era baru bagi negaranya. Dengan nada penuh percaya diri, ia menegaskan bahwa pemerintahan yang baru dibentuk adalah cerminan dari komitmen bersama untuk membangun negara yang lebih kuat. Ia berbicara tentang persatuan nasional, pembangunan sumber daya manusia, dan transformasi teknologi sebagai pilar utama kebijakan pemerintahannya. Namun, di balik retorika megah itu, ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang dibangun—sebuah kekhalifahan terselubung yang perlahan namun pasti mengambil bentuk di Suriah.

Al-Sharaa mengawali pemerintahannya dengan membangun struktur kekuasaan yang berpusat di tangannya sendiri. Deklarasi konstitusional yang baru disahkan memberikan kewenangan mutlak kepada dirinya untuk mengangkat hakim dan anggota parlemen tanpa perlu pengawasan independen. Dalam praktiknya, ini berarti al-Sharaa dapat mengontrol setiap aspek pemerintahan tanpa tantangan dari lembaga lain. Meskipun ia berbicara tentang transparansi dan akuntabilitas, kenyataannya, ia telah menyiapkan panggung bagi dirinya untuk menjadi pemimpin absolut dengan legitimasi penuh. Human Rights Watch (HRW) dengan cepat menyoroti ancaman ini, menyatakan bahwa deklarasi tersebut secara efektif menghapus sistem checks and balances yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi.

Dalam perjalanannya menuju supremasi politik, al-Sharaa juga tampaknya tidak terlalu peduli dengan kelompok-kelompok lain yang masih memiliki pengaruh di Suriah, seperti Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Ia seakan menutup mata terhadap realitas bahwa SDF masih menguasai sebagian besar wilayah di utara dan timur negara itu. Alih-alih mencari solusi diplomatik atau merangkul semua pihak dalam proses transisi, al-Sharaa justru lebih fokus memperkuat cengkeramannya terhadap pemerintahan pusat. Ini memperlihatkan bahwa visinya bukanlah persatuan dalam arti sebenarnya, melainkan dominasi penuh atas Suriah, dengan dirinya sebagai pusat kekuasaan tunggal.

Namun, yang lebih mencurigakan adalah latar belakang politik al-Sharaa sebelum ia berkuasa. Ia bukanlah sosok asing di dunia politik Islamis. Sebelum menjadi presiden sementara, ia dikenal memiliki hubungan erat dengan kelompok-kelompok jihadis yang pernah berperang di Suriah. Selama bertahun-tahun, ia berjanji kepada para pendukungnya bahwa ia akan mewujudkan cita-cita mereka—membangun sebuah negara Islam. Kini, ketika ia akhirnya memiliki kendali atas pemerintahan, sulit untuk mengabaikan fakta bahwa janji tersebut harus dipenuhi, atau ia akan menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok yang dulu menjadi tulang punggung perjuangannya.

Untuk meredam kecurigaan dari masyarakat internasional, al-Sharaa membungkus kebijakannya dengan retorika moderat. Ia berbicara tentang kemajuan, reformasi, dan teknologi, seakan ingin menunjukkan bahwa ia membawa Suriah ke arah modernisasi. Namun, ini adalah taktik klasik yang digunakan oleh banyak pemimpin otoriter dalam sejarah. Dengan mengalihkan perhatian ke proyek-proyek pembangunan dan digitalisasi, ia mencoba menutupi fakta bahwa ia sedang membangun sistem pemerintahan yang sangat terpusat di tangannya. Deklarasi konstitusional yang baru juga memberinya wewenang untuk menunjuk sepertiga anggota parlemen, sementara sisanya dipilih oleh komite yang juga ia kontrol. Ini berarti bahwa secara de facto, ia memiliki kendali penuh atas legislatif, membuat oposisi menjadi mustahil.

Menariknya, langkah-langkah yang diambil al-Sharaa memiliki banyak kesamaan dengan strategi yang digunakan oleh para khalifah dalam sejarah. Mereka selalu berusaha menciptakan legitimasi absolut dengan mengendalikan institusi-institusi kunci dan memastikan bahwa hanya orang-orang setia yang berada di lingkaran kekuasaan. Jika dilihat dari susunan kabinetnya, sangat jelas bahwa al-Sharaa hanya mengangkat individu-individu yang memiliki kedekatan ideologis dengannya. Tidak ada perwakilan dari oposisi sejati, tidak ada tokoh dari kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda. Ini bukan pemerintahan inklusif, melainkan sebuah proyek politik yang sangat personal.

Salah satu kebijakan yang paling mencolok adalah pembentukan Kementerian Darurat dan Manajemen Bencana. Di permukaan, ini tampak seperti langkah logis untuk meningkatkan respons terhadap berbagai krisis. Namun, dalam konteks pemerintahan al-Sharaa, kementerian ini bisa menjadi alat kontrol yang sangat efektif. Dengan dalih keadaan darurat, pemerintah dapat mengesahkan kebijakan-kebijakan represif, membatasi kebebasan sipil, dan bahkan melakukan tindakan keras terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai ancaman. Ini adalah mekanisme yang sangat mirip dengan yang digunakan oleh berbagai rezim otoriter di masa lalu.

Selain itu, al-Sharaa juga menaruh perhatian besar pada sektor energi dan ketahanan pangan. Ia berjanji akan melakukan reformasi untuk memastikan pasokan listrik yang stabil dan mendukung para petani. Sekilas, ini terdengar seperti kebijakan populis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, ada kemungkinan besar bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang setia kepada pemerintahannya. Dalam sistem pemerintahan yang sangat terpusat, kontrol atas sumber daya sering kali digunakan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan. Jika rakyat bergantung pada negara untuk kebutuhan dasar mereka, maka mereka akan lebih sulit menentang rezim yang berkuasa.

Dengan segala kebijakan yang telah diambil, pertanyaannya bukan lagi apakah al-Sharaa sedang membangun kekhalifahan terselubung, melainkan seberapa jauh ia akan melangkah sebelum upaya ini mendapat perlawanan yang serius. Bagaimana rakyat Suriah akan merespons ketika mereka menyadari bahwa yang dijanjikan sebagai pemerintahan baru yang demokratis justru berubah menjadi sistem pemerintahan yang semakin otoriter? Apakah mereka akan menerima ini sebagai harga yang harus dibayar demi stabilitas, ataukah mereka akan bangkit untuk menuntut hak-hak mereka?

Masa depan Suriah kini berada di persimpangan jalan. Jika al-Sharaa terus melangkah tanpa ada oposisi yang kuat, maka Suriah mungkin akan memasuki era baru yang tidak jauh berbeda dari masa lalu—hanya dengan wajah baru di tampuk kekuasaan. Namun, jika rakyat menolak untuk tunduk, maka konflik baru bisa saja meletus, mengancam stabilitas yang selama ini diklaim oleh pemerintahannya. Pada akhirnya, pertanyaan terbesar adalah apakah Suriah akan benar-benar menjadi negara yang lebih baik, ataukah ini hanyalah siklus lama yang berulang dengan kemasan yang berbeda.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *