Connect with us

Opini

Di Turki, Protes ke Erdogan Sama dengan Terorisme

Published

on

Di Istanbul, 21 Maret 2025, ribuan orang membanjiri Alun-alun Taksim, meneriakkan keadilan setelah penangkapan Wali Kota Ekrem Imamoglu. Gas air mata mengepul, peluru karet melesat, dan polisi bersikap seolah sedang berlomba menebar ketakutan. Sementara itu, Presiden Recep Tayyip Erdogan, dengan wajah setenang sultan, menyebut para demonstran sebagai “teroris jalanan.”

Erdogan, maestro propaganda, telah menyempurnakan seni melabeli lawan politik. Dalam kamusnya, kritik adalah ancaman, oposisi adalah musuh, dan protes adalah teror. Penangkapan Imamoglu hanyalah episode terbaru dalam serial panjang “Erdogan vs. Siapa Saja yang Berani Membuka Mulut.” Ketika rakyat turun ke jalan menuntut keadilan, Erdogan justru berbicara tentang “stabilitas,” seolah itu sinonim dengan kekuasaannya yang mulai goyah setelah 22 tahun berkuasa.

Konstitusi Turki menjamin hak berkumpul, tetapi Erdogan menafsirkannya dengan catatan kaki: “Kecuali jika mengganggu saya.” Ribuan orang di Istanbul, Ankara, dan Izmir hanya ingin suara mereka didengar, tetapi aparat menanggapinya dengan barikade, meriam air, dan gas air mata. “Stabilitas,” kata Erdogan, sementara demokrasi hanya menjadi dekorasi panggung kekuasaannya. Kejadian seperti ini bukan pertama kalinya. Sejak kudeta gagal 2016, Erdogan semakin mempersempit ruang oposisi. Jurnalis dipenjara, akademisi diberhentikan, dan politisi oposisi dikecam sebagai bagian dari “konspirasi global.”

Duduk di istananya yang megah, Erdogan mungkin tersenyum puas saat menulis ulang definisi demokrasi: rakyat boleh berbicara, selama itu mendukungnya. Jika tidak, mereka otomatis menjadi bagian dari konspirasi global. Penangkapan Imamoglu adalah langkah strategis dalam catur kekuasaannya, tetapi rakyat tidak tinggal diam. “Tayyip, mundur!” menggema di jalanan, lebih lantang dari lagu pop Turki. Namun, apakah suara rakyat masih memiliki daya tawar di negeri di mana pemilu lebih mirip ritual formalitas daripada perwujudan demokrasi sejati?

Ironisnya, jika semua dianggap “teror,” maka tak ada lagi yang benar-benar teror. Kritik terhadap harga roti bisa dianggap sabotase, keluhan soal listrik bisa jadi ancaman nasional. Erdogan telah mengubah “terorisme” menjadi label serbaguna untuk membungkam siapa pun yang tak sejalan dengannya. Dalam dunia Erdogan, jurnalis yang menulis tentang inflasi bisa dianggap bagian dari “perang ekonomi Barat.” Mahasiswa yang berdemo bisa dicap sebagai “agen asing.” Setiap bentuk perbedaan pendapat dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap negara.

Turki bukan hanya Istanbul atau Ankara. Di luar kota-kota besar, di desa-desa Anatolia, banyak yang masih setia pada Erdogan. Mereka melihatnya sebagai pemimpin yang membawa kemakmuran dan kebanggaan nasional. Tapi, apakah kebanggaan cukup untuk mengisi perut yang kosong? Ekonomi Turki yang merosot, inflasi yang melonjak, dan korupsi yang merajalela adalah fakta yang sulit disembunyikan, bahkan oleh propaganda yang paling kuat sekalipun.

Erdogan telah berkuasa begitu lama hingga ia menganggap dirinya dan Turki adalah satu kesatuan. Kritik terhadapnya dianggap sebagai penghinaan terhadap negara. Di media yang dikontrol pemerintah, Imamoglu tidak digambarkan sebagai pemimpin yang diinginkan rakyat, melainkan sebagai ancaman terhadap “kesatuan bangsa.” Narasi ini terus diulang dalam siaran berita dan pidato resmi, seolah-olah Turki hanya bisa selamat di bawah satu orang saja.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa rezim otoriter selalu menghadapi ujung jalan. Mungkin bukan hari ini, mungkin bukan besok, tetapi semakin besar tekanan terhadap rakyat, semakin besar pula potensi perlawanan. Imamoglu adalah simbol harapan bagi banyak warga Turki yang ingin melihat perubahan. Tapi seperti yang terjadi pada banyak pemimpin oposisi sebelumnya, ia harus berhadapan dengan sistem yang dirancang untuk membuat lawan-lawan Erdogan gagal.

Turki pernah mengenal demokrasi yang lebih bebas, meskipun tidak sempurna. Sebelum Erdogan menguasai negara ini bak sultan Ottoman yang kembali hidup, ada masa ketika perdebatan politik lebih terbuka. Namun, seperti yang sering terjadi, kekuasaan yang terlalu lama berada di tangan satu orang akan selalu mencari cara untuk mengamankan dirinya. Erdogan telah membangun sistem yang menormalisasi otoritarianisme, dengan mengemasnya dalam jargon populis dan nasionalisme sempit.

Jika kita menoleh ke belakang, kita bisa melihat pola yang sama terjadi dalam berbagai rezim otoriter lainnya. Dari Rusia hingga Mesir, dari Venezuela hingga Filipina, para pemimpin kuat ini memiliki satu kesamaan: mereka menciptakan musuh di mana-mana. Semakin banyak musuh yang diciptakan, semakin kuat alasan bagi mereka untuk tetap berkuasa. Erdogan mengerti seni ini dengan sangat baik.

Lihat saja bagaimana ia mengendalikan militer dan yudikatif. Kudeta 2016, meskipun masih menyisakan tanda tanya, telah menjadi alasan bagi Erdogan untuk membersihkan siapa pun yang dianggap lawan politiknya. Ribuan pegawai negeri, hakim, dan perwira militer dipecat atau dipenjara dengan alasan keterlibatan dalam kudeta. Dengan langkah itu, Erdogan tidak hanya mengamankan cengkeramannya di pemerintahan tetapi juga mengirimkan pesan: “Tidak ada tempat bagi oposisi di Turki yang baru.”

Dan kini, Imamoglu berada dalam pusaran permainan ini. Sebagai tokoh oposisi yang berhasil mengalahkan kandidat Erdogan di Istanbul, ia telah menjadi duri dalam daging bagi rezim. Menyingkirkannya bukan hanya soal membungkam oposisi, tetapi juga mengamankan simbol kekuasaan Erdogan di kota terbesar Turki. Jika Istanbul tetap berada di tangan oposisi, maka pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa ada harapan untuk perubahan.

Maka tak heran jika Erdogan terus memperketat cengkeramannya. Setiap upaya perlawanan diredam dengan berbagai cara: dari tuduhan hukum yang dibuat-buat, hingga pembungkaman media independen. Turki di bawah Erdogan adalah laboratorium bagi otoritarianisme modern yang dikemas dalam demokrasi palsu.

Di tahun 2028, jika Imamoglu tak dipenjara seumur hidup, ia mungkin mencalonkan diri sebagai presiden. Apa yang akan dikatakan Erdogan saat itu? “Pemilu adalah teror demokrasi”? Mungkin dia akan melarang pemungutan suara sama sekali, menyebutnya sebagai konspirasi Barat. Sementara rakyat, yang telah terbiasa dengan gas air mata dan represi, hanya bisa mengangkat bahu.

Di mana demokrasi dalam semua ini? Terkubur di bawah puing-puing Taksim, tersedak gas air mata, atau dipenjara bersama Imamoglu. Erdogan telah menciptakan dunia di mana ketidaksetujuan adalah kejahatan, dan protes adalah teror. Jika ini adalah wajah modernitas Turki, maka kita semua sudah resmi menjadi “teroris” bagi Erdogan—hanya karena masih berani berpikir.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *