Connect with us

Opini

Di Jerman, Anda Bebas Berbicara, Kecuali Tentang Palestina

Published

on

Di Jerman, kebebasan berpendapat telah lama dijadikan simbol utama negara ini. Anda bisa berkata apa saja, mengkritik kebijakan dalam negeri, atau bahkan berbicara soal keprihatinan global. Namun, ada satu hal yang sangat jelas tidak boleh dibicarakan: Palestina. Ketika bicara soal ini, tiba-tiba kebebasan itu menjadi sangat terbatas. Begitulah kebebasan ala Jerman.

Cobalah ikuti sebuah demonstrasi pro-Palestina di Berlin. Anda akan melihat ratusan orang mengangkat bendera Palestina dan meneriakkan slogan-slogan tentang penghentian agresi di Tepi Barat, atau penangguhan pasokan senjata untuk Israel. Semua itu dilakukan dengan semangat yang membara. Namun, semangat itu segera dibungkam ketika polisi, lengkap dengan perlengkapan anti-huru-hara, datang menghampiri.

Polisi Jerman, yang seharusnya menjaga kebebasan berpendapat, tampaknya lupa untuk memahami definisi kebebasan itu. Bukannya melindungi hak demonstrasi, mereka malah menginstruksikan para peserta untuk berhenti berteriak, mematikan musik, dan bahkan memaksa mereka untuk meninggalkan tempat tersebut. Apa yang mereka takutkan? Suara protes terhadap penjajahan Palestina? Tentu saja, ini adalah kebebasan yang sangat selektif.

Bukan hal baru jika negara-negara Barat mengaku sebagai penjaga kebebasan berpendapat. Kita ingat bagaimana Charlie Hebdo mendapat dukungan luas dari seluruh dunia saat mereka menerbitkan kartun Nabi Muhammad. “Kebebasan berpendapat!” teriak mereka, seolah-olah kebebasan itu adalah hak mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Namun, coba kritisi kebijakan Israel, dan tiba-tiba kebebasan itu seperti hilang ditelan angin.

Inilah ironi terbesar dari kebebasan yang dijunjung tinggi oleh Barat: Anda bisa mengkritik apa saja, kecuali kebijakan luar negeri Israel. Anda boleh berbicara tentang perubahan iklim, mengutuk penindasan terhadap minoritas, atau mengkritik kebijakan negara Anda sendiri. Namun, jika Anda mengangkat topik Palestina, Anda akan segera diperingatkan bahwa itu adalah zona larangan berbicara. Aneh, bukan?

Lalu, siapa yang bisa dipersalahkan? Tentu saja, kebebasan yang mereka klaim hanyalah kebebasan yang sudah dipilih-pilih. Dan siapa yang memilihnya? Tentu saja negara-negara besar yang tidak ingin kepentingan politiknya terganggu. Apa yang mereka takutkan dengan protes pro-Palestina? Mungkin mereka takut jika kebebasan itu benar-benar diterapkan, kebijakan mereka akan dipertanyakan di seluruh dunia.

Bahkan, tak jarang negara-negara Barat menciptakan kebijakan yang membatasi kebebasan berbicara soal Palestina. Jerman, misalnya, membuat peraturan yang mengharuskan siapa pun yang mengajukan permohonan kewarganegaraan untuk mengakui hak Israel untuk eksis. Ada apa dengan kebebasan itu? Bukankah itu hanya bentuk kekangan terhadap suara yang ingin didengar? Sebuah kebebasan yang sangat selektif, sangat politis.

Ironisnya, di negara-negara yang mengklaim paling peduli tentang kebebasan berpendapat, kebebasan itu ternyata tak seindah klaim mereka. Ketika solidaritas terhadap Palestina tumbuh, mereka malah mengintimidasi dan mengekang suara-suara tersebut. Ini bukan kebebasan berpendapat, ini adalah kebebasan yang dibatasi oleh kepentingan politik.

Dan ini adalah kenyataan yang semakin tidak bisa dipungkiri: kebebasan berbicara di negara-negara Barat hanya berlaku untuk hal-hal yang nyaman bagi mereka. Ketika suara-suara tersebut berbicara tentang keadilan untuk Palestina, kebebasan itu tiba-tiba hilang. Ini adalah sistem yang tidak konsisten, dan di situlah letak ketidakadilan yang paling nyata.

Jadi, untuk apa kita masih terbuai dengan klaim kebebasan berpendapat dari Barat? Apakah kita harus terus menerima standar ganda mereka yang menilai kebebasan hanya sesuai dengan kepentingan politik mereka? Kebebasan yang hanya berlaku ketika tidak mengganggu kenyamanan mereka jelas bukan kebebasan yang sesungguhnya. Inilah kebebasan yang patut dipertanyakan, bukan hanya untuk Palestina, tetapi untuk semua yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *