Connect with us

Opini

Di Balik Sikap Heroik Erdogan, Bermuka Dua dalam Membela Gaza

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Dalam sebuah pidato yang menggema di panggung dunia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tampil penuh semangat di depan para pemimpin dunia di KTT D-8 di Kairo. Dengan gestur dramatis dan nada yang membakar, ia menyerukan embargo senjata terhadap Israel, penghentian perdagangan, dan isolasi internasional terhadap negara tersebut. Laporan dari TRTWorld menggambarkan Erdogan berapi-api, menyebut langkah ini sebagai “langkah krusial untuk meminta pertanggungjawaban Israel.” Seruan ini tampak seperti angin segar bagi perjuangan Palestina, menggugah harapan akan solidaritas dunia Muslim.

Namun, bayangan gelap segera muncul dari laporan investigasi Middle East Eye. Laporan tersebut mengungkap bagaimana kapal tanker minyak seperti “Kimolos” dan “Seavigour” terus-menerus mengangkut minyak mentah dari pelabuhan Ceyhan di Turki ke Ashkelon di Israel, bahkan setelah Turki mengumumkan embargo perdagangan terhadap Israel pada Mei 2023. Data satelit dan log pelabuhan mengungkapkan manipulasi rute perjalanan dengan mematikan transponder dan “menghilang” di Laut Tengah sebelum akhirnya berlabuh di Israel. Ironisnya, minyak ini diduga diolah menjadi bahan bakar jet tempur F-35 yang digunakan Israel untuk membombardir Gaza.

Berdasarkan laporan Middle East Eye, Azerbaijan telah mengekspor 1,3 juta ton minyak mentah ke Israel setiap bulan sejak Oktober 2023. Dengan kapal tanker seperti “Kimolos” yang mampu mengangkut sekitar 140.000 ton per perjalanan, ini berarti delapan hingga sepuluh perjalanan setiap bulan—angka yang mencengangkan untuk negara yang katanya “memboikot” Israel. Tak heran jika kampanye Stop Fuelling Genocide menyebut tindakan ini sebagai “sistematisasi perdagangan minyak mentah yang menopang kejahatan perang.”

Dalam dunia mitologi, Erdogan mengingatkan kita pada sosok Janus, dewa Romawi yang bermuka dua. Di satu sisi, ia berbicara manis, menawarkan harapan dan solidaritas, namun di sisi lain, ia bersekongkol di balik layar dengan tindakan yang bertolak belakang. Bagaimana kita bisa memahami perilaku ini? Barangkali Erdogan tengah memainkan permainan berbahaya, mencoba menyeimbangkan citra heroiknya di dunia Muslim dengan kepentingan strategis dan ekonominya di belakang layar.

Dampak dari perilaku ini sangat merusak bagi perjuangan rakyat Palestina. Saat Erdogan berdiri di podium dengan klaim mendukung Palestina, serangan brutal Israel terus berlangsung. Menurut Palestine News Network, hingga kini, korban jiwa akibat agresi Israel sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai 45.129 orang, dengan 107.338 lainnya terluka, mayoritas di antaranya adalah wanita dan anak-anak. Serangan ini mencakup empat pembantaian terhadap keluarga di Gaza hanya dalam 24 jam terakhir, yang menewaskan 32 orang dan melukai 94 lainnya. Semua ini terjadi ketika Turki tetap menjadi salah satu pemasok utama minyak mentah ke Israel.

Retorika Erdogan, meskipun memikat bagi sebagian orang, menciptakan ilusi solidaritas yang memecah belah dunia Muslim. Alih-alih memperkuat perjuangan melawan kekejaman Israel, tindakan di balik layar ini memperpanjang penderitaan rakyat Palestina. Dunia Muslim harus mulai melihat melalui topeng Erdogan yang bermuka dua dan menuntut aksi nyata, bukan sekadar pidato yang menggelegar tanpa substansi. Solidaritas sejati tidak hanya membutuhkan kata-kata, tetapi juga konsistensi antara apa yang dikatakan dan dilakukan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *