Connect with us

Opini

Di Balik Panggung Suriah: Siapa yang Benar-Benar Mengatur Permainan?

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Katakanlah kita sedang menonton sebuah teater besar yang bertajuk “Suriah: Kisah Revolusi yang Tak Pernah Selesai”. Di panggung ini, ada ratusan aktor yang saling berperan, berpura-pura menjadi pahlawan pembebas, berjuang untuk kebebasan rakyat Suriah yang terkepung dalam perang saudara. Namun, di balik tirai yang terselubung gelap, satu hal yang tidak bisa disembunyikan: siapa yang benar-benar mengendalikan alur cerita ini?

Coba perhatikan salah satu pemain utama dalam drama ini, Salim Turki al-Anteri, seorang mantan kolonel yang memimpin pasukan oposisi dari Free Syrian Army (FSA) yang dulu dibina oleh Amerika Serikat. Sebelum Anda berpikir dia adalah pahlawan revolusi sejati, mari kita tengok sedikit lebih dalam. Ketika dia memerintahkan pasukannya untuk memberi tembakan peringatan pada tentara Assad, Salim dengan bijak menghindari melukai mereka—karena, katanya, “kami tidak ingin membunuh siapa pun.” Hm, seolah-olah sebuah perang bisa berjalan dengan penuh kasih sayang, ya?

Jangan salah, Salim tahu betul siapa yang mendukungnya. Bendera Amerika dengan bangga terpasang di seragam pasukannya. Jadi, dalam medan pertempuran yang berdebu itu, apakah mereka benar-benar melawan rezim Assad demi rakyat Suriah? Atau mereka hanya sedang berusaha memuaskan hasrat Amerika Serikat untuk menjaga kekuasaan di wilayah yang penting secara geopolitik? Ketergantungan pada AS bukanlah rahasia, malah sudah seperti ikatan suci yang tak bisa diputuskan. Dengan pelatihan dan dukungan yang diberikan oleh negara superpower, Salim dan pasukannya jelas bukanlah kelompok yang bisa dibilang “independen.” Mereka lebih mirip anak buah yang sudah terikat kontrak jangka panjang.

Mari kita tarik benang merahnya. Jika kelompok seperti Salim ini, yang digembar-gemborkan sebagai “pahlawan pembebasan,” ternyata adalah hasil dari pabrik pelatihan AS, maka bagaimana dengan kelompok lain yang berjuang di tanah Suriah? Tidak bisa dipungkiri, banyak kelompok oposisi yang menerima dukungan serupa, yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh luar. Salah satunya adalah Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa, alias Abu Mohammed al-Julani—yang, jika kita berbicara soal siapa yang sekarang mengendalikan Suriah, bisa dikatakan dia adalah penguasa de facto saat ini. Bayangkan jika Anda sedang memainkan monopoli, di mana HTS adalah pemain yang memiliki hampir seluruh properti di papan, sementara pemain lainnya—termasuk kelompok yang satu ini, yang dipimpin Salim—hanya tinggal menunggu giliran untuk mendapat instruksi dari yang memegang kunci permainan: Amerika Serikat.

Apa yang membuat kita berpikir bahwa HTS, yang seolah berjuang demi kebebasan Suriah, tidak juga terikat dengan janji manis yang datang dari aktor lain? HTS lebih dikenal dekat dengan Turki, jadi mungkin bukan Amerika Serikat yang ada di baliknya, tetapi ada kekuatan lain yang turut memainkan perannya dalam permainan ini. Mungkin mereka memang terlihat seperti pemain independen di atas panggung, tetapi apakah kita benar-benar percaya bahwa mereka bebas dari tekanan yang datang dari luar? Setelah semua, siapa yang memberi mereka pelatihan, sumber daya, dan logistik yang memungkinkan mereka bertahan selama ini? Lagi-lagi, pertanyaannya kembali ke satu titik yang tidak bisa diabaikan: apakah mereka benar-benar memperjuangkan Suriah, ataukah mereka hanya melakukan pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka?

Panggung besar Suriah ini penuh dengan aktor-aktor yang memainkan peran mereka dengan penuh keyakinan, tapi siapa yang duduk di belakang layar? Kalau kita lihat lebih dekat, bisa jadi jawabannya adalah negara-negara besar yang selama ini menjadi pemain kunci dalam kancah politik internasional. Keberadaan Amerika Serikat di Suriah jelas bukan tanpa tujuan—mereka tahu betul bagaimana mengatur roda permainan ini, menjadikan kelompok-kelompok ini sebagai pion dalam permainan catur global mereka. Apa yang dilakukan Amerika tidak hanya untuk membantu rakyat Suriah, tetapi lebih kepada bagaimana mereka bisa menjaga kendali di kawasan yang penuh dengan kekayaan sumber daya dan titik strategis.

Jadi, apakah kita benar-benar melihat kelompok yang independen? Atau mereka hanya figuran yang memainkan peran yang sudah diskenariokan jauh-jauh hari? Mungkin sudah saatnya kita berhenti terbuai oleh narasi heroik tentang kebebasan dan kemerdekaan, dan mulai menyadari bahwa siapa yang menang di Suriah ini bukan hanya tergantung pada siapa yang paling kuat di lapangan, tetapi siapa yang paling kuat dalam menentukan apa yang terjadi di balik layar. Mungkin Salim dan al-Julani sedang memperjuangkan banyak hal, tetapi apakah kebebasan Suriah itu benar-benar milik mereka, ataukah hanya bagian dari agenda besar negara-negara yang lebih berkuasa?

 

*Sumber: NPR

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *