Connect with us

Opini

Di Balik Layar: Tragedi Kemanusiaan Judi Digital

Published

on

Saudara, mari kita masuk ke segmen yang bukan sekadar sajian berita, tetapi cermin pekat dari sisi gelap kehidupan sosial kita. Judi online, atau yang kini akrab disebut “judol,” bukan lagi sekadar permainan di ujung jari—ia telah menjelma menjadi epidemi sosial. Ia mengguncang fondasi rumah tangga, menghancurkan sendi ekonomi rakyat kecil, dan menelusup ke ruang-ruang yang paling pribadi dalam kehidupan masyarakat. Jika dibiarkan, ia berpotensi meluluhlantakkan generasi mendatang.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah mengangkat tirai kegelapan ini. Laporan-laporan mereka bukan hanya berisi angka, tetapi kisah getir dari balik transaksi digital: anak-anak dijual demi membayar kekalahan taruhan, istri dipukuli karena tak menyerahkan uang belanja, keluarga porak-poranda. Di balik angka-angka triliunan rupiah, tersembunyi tragedi kemanusiaan yang nyaris tak terdengar oleh gemuruh perdebatan politik dan hiruk-pikuk pemberitaan selebritas. Sungguh, pertaruhan ini bukan sekadar uang—tetapi masa depan bangsa.

Bayangkan, pada tahun 2024, jumlah pemain judi online di Indonesia mencapai 8,8 juta orang—melonjak lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang “hanya” 3 juta. Tapi ini bukan sekadar ledakan statistik; ini adalah lonceng kematian bagi akal sehat dan ketahanan sosial kita. Dan yang paling mengkhawatirkan, mayoritas dari mereka—71,6%—berasal dari kelompok berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan. Artinya, rakyat kecil yang seharusnya berjuang memenuhi kebutuhan dasar justru terperangkap dalam ilusi kemenangan instan.

Mereka berhutang melalui pinjaman online ilegal, menggadaikan harta, dan bahkan menjual anggota keluarga. Semuanya demi harapan palsu akan “balik modal”. Di tengah penderitaan mereka, para bandar justru bersuka cita di balik layar, menikmati aliran dana yang tiada henti. Bukankah ini bentuk kolonialisme baru—yang menjajah dari dalam, tanpa senjata, tanpa pasukan, tetapi dengan algoritma dan jaringan server?

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menuturkan dengan nada getir: “Di balik rupiah-rupiah ini, ada uang untuk sekolah, untuk makan bergizi, untuk hidup layak.” Tapi uang itu telah raib, tersedot ke dunia maya yang dikendalikan oleh predator digital. Bahkan ada seorang anak usia 10 tahun yang, berdasarkan data PPATK, menyumbang deposit judi sebesar Rp2,2 miliar. Sungguh, ini bukan sekadar kriminalitas, tapi kebangkrutan moral.

Jika tren ini berlanjut tanpa intervensi serius, PPATK memproyeksikan perputaran dana judi online akan menyentuh Rp1.200 triliun pada akhir 2025—angka yang mencengangkan, lebih dari sepertiga target pendapatan negara dalam APBN 2025. Bayangkan, dana yang seharusnya dibelanjakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur, justru tersedot ke dunia abu-abu. Ini bukan hanya kegagalan penegakan hukum, tetapi juga kegagalan kita sebagai masyarakat dalam membentengi diri dari godaan yang mematikan.

Bukti kerusakan itu nyata. Di Indramayu, Jawa Barat, Pengadilan Agama mencatat 6.860 perkara gugatan cerai dari istri dan 2.581 cerai talak dari suami, dengan lebih dari 100 kasus disebabkan oleh judi online. Yayasan Selendang Puan Darma Ayu melaporkan bahwa perempuan menjadi korban berlapis—tak hanya kekerasan fisik, tapi juga kekerasan ekonomi. Uang belanja hilang, utang menumpuk, dan anak-anak tumbuh dalam suasana rumah yang penuh ketakutan. Apa lagi yang kita tunggu untuk menyatakan bahwa ini adalah darurat nasional?

Pemerintah memang tidak tinggal diam. Satgas Pemberantasan Judi Online, yang dibentuk melalui Keppres 21/2024, telah memblokir 1,3 juta konten terkait, membekukan 573 akun e-wallet, dan menutup 6.199 rekening bank. PPATK juga memblokir 28.000 rekening yang terlibat jual beli akun judi. Dampaknya, transaksi judi online turun drastis dari Rp51 triliun pada 2024 menjadi Rp7 triliun di kuartal pertama 2025. Ini adalah capaian penting, tapi belum cukup. Kita hanya memangkas ranting, sementara akarnya terus tumbuh subur.

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2025 yang membatasi kepemilikan SIM card hingga maksimal tiga nomor per NIK memang langkah maju. Demikian pula upaya untuk memperkuat literasi digital anak-anak. Tapi, siapa yang mengawasi implementasinya? Siapa yang memastikan bahwa peraturan itu bukan sekadar formalitas di atas kertas?

Danang Trihartono dari PPATK menyoroti fenomena jual beli rekening bank yang kian marak. Banyak warga membuka rekening karena desakan ekonomi, lalu menjualnya kepada sindikat. Ada pula rekening dorman yang tiba-tiba aktif, digunakan untuk transaksi ilegal tanpa sepengetahuan pemilik. Ini membuka celah baru dalam kejahatan digital. PPATK bahkan menemukan rekening dengan saldo ratusan miliar rupiah dan jejak aliran dana yang mengarah ke aset kripto senilai Rp28 triliun.

Sementara itu, para bandar besar bersembunyi di balik server asing—Filipina, Kamboja, dan negara-negara lain yang sukar dijangkau oleh hukum nasional. Ini menunjukkan betapa kompleks dan global jaringan kejahatan ini. Tanpa kerja sama internasional yang serius, pemberantasan hanya akan seperti menggali pasir di pantai—setiap lubang yang ditutup akan terbuka lagi oleh gelombang berikutnya.

Namun, mari kita bertanya lebih dalam: mengapa begitu banyak rakyat Indonesia—terutama dari golongan bawah—terjerat judi online? Ini bukan hanya soal rakus atau malas. Ini tentang frustrasi ekonomi, ketimpangan sosial, dan kurangnya ruang harapan. Ketika upah tak cukup, harga barang melonjak, dan kehidupan terasa mentok, tawaran “uang cepat” dari judi online menjadi oase palsu. Pemerintah tidak bisa sekadar memblokir; mereka harus hadir dengan solusi yang menyentuh akar masalah: penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, dan peningkatan kesejahteraan.

Saya teringat cerita seorang kawan di kampung. Tetangganya, seorang buruh pabrik, setiap bulan menghabiskan gaji untuk taruhan online. Awalnya demi tambahan penghasilan, lalu ketagihan. Kini, rumah tangganya berantakan. Anak-anaknya putus sekolah. Istrinya kembali ke rumah orang tua. Bukan hanya uang yang hilang, tapi juga martabat dan kepercayaan.

Literasi digital harus diperkuat—tetapi lebih dari itu, kita butuh literasi emosional dan sosial. Anak-anak harus diajarkan nilai kerja keras, bukan ilusi kaya mendadak. Orang tua harus didampingi agar melek digital dan mampu mengenali bahaya yang tersembunyi di balik layar ponsel. Sekolah, tokoh agama, media, dan komunitas harus menjadi tameng budaya yang menolak normalisasi judi sebagai hiburan.

Saudara, ini bukan semata-mata soal Rp1.200 triliun atau 8,8 juta pemain. Ini tentang masa depan bangsa yang dipertaruhkan. Tentang anak-anak yang kehilangan arah, tentang ibu yang menangis di dapur, tentang keluarga yang tercerai berai oleh layar ponsel. Pemerintah telah melangkah. Tapi langkah itu tak akan berarti jika kita semua, sebagai warga, tak bergerak.

Kini saatnya kita bertanya: apa yang bisa kita lakukan? Mungkin tak banyak. Tapi satu keluarga yang diselamatkan dari jerat ini, satu anak yang dialihkan dari judi ke pendidikan, satu komunitas yang bersatu melawan normalisasi kejahatan ini—itu adalah awal perubahan. Karena di balik setiap klik, di balik setiap taruhan, ada harapan yang seharusnya tak pernah dipatahkan.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *