Connect with us

Opini

Di Balik Larangan Cadar Denmark

Published

on

Sebuah usulan kebijakan di Denmark kembali mengguncang nurani banyak orang. Perdana Menteri Mette Frederiksen mengajukan pembatasan praktik keagamaan Islam di lembaga pendidikan, termasuk larangan cadar dan penghapusan ruang salat. Alasan yang dikemukakan adalah untuk mencegah “tekanan sosial” dan “penindasan terhadap perempuan”. Namun, di balik narasi perlindungan itu, terbersit kegelisahan yang sulit ditepis: apakah kebebasan yang diagungkan demokrasi Eropa kini sedang mengalami penyusutan makna?

Bagi banyak orang, iman adalah sesuatu yang sangat personal. Ia bukan ancaman publik, bukan pula simbol dominasi sosial, melainkan jalan hidup yang dipilih dengan sadar. Di Indonesia, kita tumbuh dalam lanskap yang penuh warna—di mana hijab dan cadar hadir berdampingan dengan kebaya, rok mini, atau bahkan rambut tergerai. Dari pasar tradisional hingga kampus-kampus modern, keragaman itu hadir tanpa ancaman. Maka ketika mendengar rencana larangan tersebut, banyak dari kita bertanya-tanya: mungkinkah pilihan yang selama ini diterima secara sosial di negeri kita, justru dicurigai dan dihukum di negeri lain?

Larangan mengenakan cadar di ruang publik bukan hal baru di Denmark. Sejak 2018, perempuan yang mengenakannya dapat dikenai denda mulai dari 1.000 kroner (sekitar Rp2,4 juta), dan bisa meningkat hingga 10.000 kroner untuk pelanggaran berulang. Amnesty International telah menyebut kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap hak perempuan. Saya sepakat. Cadar bukanlah simbol paksaan bagi semua. Bagi sebagian perempuan Muslim, ia adalah bagian dari iman—sebuah bentuk ekspresi diri dan keyakinan yang mendalam.

Kini, Frederiksen ingin melangkah lebih jauh dengan membawa larangan itu ke sekolah dan universitas. Ia menyebut bahwa pengecualian sebelumnya adalah kesalahan, karena membuka ruang bagi “kontrol sosial Muslim”. Sayangnya, argumen tersebut tidak disertai data atau studi komprehensif. Tak ada laporan resmi tentang kasus pemaksaan bercadar di institusi pendidikan. Tak ditemukan bukti bahwa ruang salat menjadi tempat diskriminasi. Tanpa fakta yang kuat, kebijakan ini tampak seperti reaksi atas ketakutan yang belum tentu nyata.

Konteks sosial-politik Denmark mungkin bisa sedikit menjelaskan arah kebijakan ini. Seperti banyak negara Eropa lainnya, Denmark mengalami pertumbuhan populasi imigran Muslim dalam dua dekade terakhir. Bersamaan dengan itu, berkembang pula kekhawatiran sebagian kelompok terhadap “gagalnya integrasi” dan munculnya jurang budaya. Di tengah meningkatnya sentimen populis kanan dan nasionalisme, simbol-simbol Islam mulai dianggap sebagai tantangan terhadap “identitas Denmark” yang sekuler dan homogen. Tapi apakah respons yang paling bijak terhadap ketakutan itu adalah dengan membatasi hak beragama?

Penghapusan ruang salat di sekolah, seperti yang juga diusulkan, menjadi pukulan lain terhadap ekspresi keimanan. Frederiksen mengatakan ruang tersebut bisa menjadi “sarang diskriminasi”, tetapi sekali lagi, tak ada data yang mendukung tudingan itu. Jika benar ada ruang salat yang menjadi tempat tekanan sosial, penyelesaiannya bukan dengan menghapus ruang itu, melainkan dengan memperbaiki sistem pengawasan dan memastikan keterbukaan. Menghapus ruang salat hanya akan merenggut hak siswa untuk beribadah—hak yang seharusnya dilindungi dalam masyarakat demokratis.

Di Indonesia, kita hidup dalam sistem yang kompleks namun lentur. Kebebasan beragama diakui, meski tantangannya tetap ada. Seorang mahasiswi bercadar bisa kuliah bersama temannya yang tak mengenakan hijab, tanpa perlu merasa saling mengancam. Mushola hadir di berbagai institusi pendidikan sebagai fasilitas bersama, bukan simbol eksklusivitas. Kehidupan keagamaan menjadi bagian dari ritme sosial sehari-hari, bukan gangguan terhadapnya. Ketika mendengar ruang salat akan dihapus di Denmark, kita pun bertanya: apakah doa kini dianggap mengganggu?

Bukan hanya Denmark yang menerapkan larangan terhadap cadar. Prancis telah memulainya sejak 2011, diikuti Austria, Belgia, dan negara lain di Eropa Barat. Semua dengan dalih menjaga “kesetaraan” dan “keamanan publik”. Namun, sejarah membuktikan bahwa pelarangan semacam itu justru memperdalam rasa keterasingan komunitas Muslim. Di Denmark sendiri, Komisi untuk Perjuangan Perempuan yang Terlupakan pernah mengusulkan larangan hijab di sekolah dasar pada 2022. Usulan itu akhirnya ditolak setelah mendapat gelombang protes publik pada 2023. Protes itu menjadi penanda: bahwa masih ada suara-suara yang menolak kebijakan diskriminatif, bahkan di tengah masyarakat Eropa.

Di Indonesia, kita memiliki pengalaman panjang dengan dinamika protes keagamaan. Isu Ahok pada 2018, meskipun kompleks dan penuh kontroversi, menunjukkan betapa isu keagamaan dapat menggerakkan massa dalam skala besar. Jika larangan seperti diusulkan Frederiksen diterapkan di sini, bukan tidak mungkin akan memicu kemarahan serupa. Sebab ia menyentuh sesuatu yang paling mendasar dalam diri manusia: hak untuk menjadi dirinya sendiri.

Sekulerisme, dalam pengertian aslinya, bukan tentang meniadakan agama dari ruang publik, melainkan menjaga agar negara tidak berpihak pada satu agama. Sayangnya, dalam praktiknya, sekulerisme Eropa kadang berubah menjadi alat untuk membatasi agama—terutama Islam. Usulan Frederiksen mencerminkan kekeliruan ini. Alih-alih netral, ia menjadi instrumen penyeragaman budaya. Jika seorang perempuan memilih cadar karena keyakinan, mengapa negara merasa berhak mendenda? Jika seorang siswa mengambil waktu untuk salat di sela pelajaran, mengapa itu dianggap ancaman?

Saya percaya bahwa kebebasan sejati tidak dibangun di atas larangan, tetapi pada penghormatan terhadap pilihan yang berbeda. Di pantai-pantai Eropa, nudis diberi ruang dan dilindungi sebagai ekspresi pribadi. Maka seharusnya perempuan bercadar juga berhak atas perlindungan yang sama. Keduanya adalah bentuk otonomi tubuh dan nilai—yang satu tidak lebih mulia dari yang lain. Di Indonesia, kita terbiasa melihat perempuan bercadar duduk di samping perempuan berkebaya. Kita tahu bahwa saling menghormati lebih penting daripada menyeragamkan cara berpakaian.

Kebijakan Frederiksen mencerminkan kegagalan untuk memahami kompleksitas keyakinan. Ia bukan sekadar regulasi teknis, tetapi menciptakan suasana curiga terhadap komunitas tertentu. Yang lebih memprihatinkan, tidak adanya data pendukung memperlihatkan bahwa ini adalah kebijakan tanpa fondasi, semacam solusi untuk masalah yang tak terbukti eksis. Ketika negara mulai menetapkan standar budaya tunggal, maka kita patut khawatir bahwa prinsip kebebasan sedang tergelincir menjadi bentuk baru dari dominasi mayoritas.

Indonesia, meski bukan tanpa masalah, masih memegang prinsip bahwa kebebasan berpakaian dan beragama adalah bagian dari hak asasi. Kita pernah menyaksikan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah—dan itu menjadi pelajaran penting bahwa negara seharusnya berdiri di tengah, bukan berpihak pada satu narasi keagamaan atau kultural saja. Kebijakan Denmark hari ini seakan mengulang pola yang pernah kita sesali: menyudutkan kelompok tertentu demi alasan “ketertiban”.

Pada akhirnya, persoalan ini bukan semata-mata soal Denmark. Ini adalah cermin dunia hari ini: bagaimana kebebasan bisa perlahan terkikis oleh ketakutan dan homogenisasi. Apakah kesetaraan berarti semua orang harus terlihat sama? Apakah kebebasan harus datang dengan syarat dan denda? Saya yakin tidak. Dunia yang kita butuhkan adalah dunia yang memberi ruang untuk keberagaman, bukan yang menghapusnya.

Saya berdiri bersama mereka yang menolak larangan ini, karena saya percaya bahwa iman bukan ancaman, dan pilihan pribadi bukan dosa publik. Dalam demokrasi yang sejati, perbedaan bukanlah beban, melainkan kekayaan yang harus dijaga bersama.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *