Opini
Di Balik Klaim Moderasi, HTS Tetap Mesin Pembantaian

Sejak awal, klaim perubahan yang diumbar oleh Ahmad al-Sharaa dan kelompoknya di Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) hanyalah permainan retorika murahan. Mereka ingin tampil sebagai pihak yang lebih moderat, lebih bisa diterima, dan lebih layak untuk diakui sebagai kekuatan sah dalam percaturan politik Suriah. Namun, semua itu hanya kebohongan yang dikemas rapi. Laporan-laporan kekerasan yang terus berlanjut membuktikan bahwa mereka tak pernah berubah. Yang berubah hanya cara mereka menjual citra. Kini, di bawah kepemimpinan al-Sharaa, HTS justru menunjukkan wajah aslinya: wajah kelompok teror.
Kekerasan yang mereka lakukan bukanlah sesuatu yang baru. Itu telah menjadi bagian dari strategi mereka sejak sebelum berkuasa, dan berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat setelah mereka menguasai wilayah-wilayah tertentu. Kini, yang terjadi bukan lagi sekadar tindakan brutal yang dilakukan dalam bayang-bayang kekacauan perang, tetapi kekerasan yang terstruktur, sistematis, dan dilegalkan oleh rezim baru yang mereka dirikan. Mereka berusaha menampilkan diri sebagai pemerintahan transisi yang sah, tetapi tingkah laku mereka tidak berbeda dengan geng kriminal bersenjata yang mendominasi suatu wilayah dengan cara paling brutal.
Al-Sharaa, sebagai figur yang diklaim menjadi pemimpin transisi, telah membiarkan semua ini terjadi. Bahkan, sikap diamnya adalah bentuk persetujuan. Tak ada sedikit pun pernyataan yang keluar darinya untuk meredakan situasi, apalagi langkah konkret untuk menghentikan kekerasan. Ini bukan lagi soal lemahnya kepemimpinan, tetapi soal pilihan sadar untuk membiarkan penindasan berlangsung. Apakah ini bagian dari strategi mereka? Tentu saja. Ketika teror menjadi alat utama untuk mengendalikan masyarakat, maka diamnya seorang pemimpin bukan sekadar kelalaian, melainkan pernyataan sikap yang jelas.
Mereka mengklaim telah berubah, tetapi fakta di lapangan membuktikan sebaliknya. Kelompok minoritas yang menjadi sasaran kekerasan kali ini bukanlah korban pertama, dan jelas bukan yang terakhir. Sebelumnya, HTS telah melakukan tindakan serupa terhadap berbagai kelompok yang dianggap sebagai ancaman. Bedanya, kali ini ada perlawanan. Dan inilah yang membuat mereka panik. Mereka terbiasa menindas tanpa ada yang melawan, tetapi kali ini perhitungan mereka meleset. Mereka menghadapi kelompok yang tidak tinggal diam, yang berani melawan meskipun dengan risiko besar. Dan ketika perlawanan itu muncul, mereka menanggapi dengan intensifikasi kekerasan yang lebih brutal.
Laporan terbaru dari berbagai sumber menunjukkan bagaimana HTS telah meningkatkan intensitas serangan terhadap komunitas minoritas. Eksekusi massal, penyiksaan, dan penghilangan paksa menjadi alat utama mereka dalam mempertahankan kendali. Di kota Maarat al-Numan, puluhan warga sipil dilaporkan dieksekusi tanpa proses pengadilan yang sah. Di desa Kafr Takharim, keluarga-keluarga dipaksa mengungsi karena rumah mereka dihancurkan oleh milisi HTS. Kasus penculikan dan penyiksaan meningkat drastis, dengan korban-korban yang akhirnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di pinggiran kota atau di kamp-kamp penahanan ilegal mereka.
Di Jisr al-Shughur, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 30 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, dibantai dalam satu malam. Saksi mata melaporkan bagaimana tentara HTS menyerbu rumah-rumah, menembaki warga sipil tanpa pandang bulu, dan membakar rumah-rumah mereka. Ini bukan lagi sekadar insiden sporadis, melainkan genosida perlahan yang dibiarkan terjadi di depan mata dunia.
Tak hanya itu, kekerasan juga meluas ke Tartous dan Latakia. Di Tartous, serangan terhadap pemukiman minoritas menyebabkan puluhan korban jiwa dan ratusan lainnya mengungsi. Milisi HTS merangsek masuk ke desa-desa, membunuh warga sipil tanpa ampun. Sementara di Latakia, serangan udara dan artileri telah menghancurkan rumah-rumah serta fasilitas umum, menyebabkan penderitaan yang tak terbayangkan bagi penduduk setempat. Ini bukan sekadar konflik biasa, melainkan upaya pemusnahan terhadap komunitas yang tidak sejalan dengan ideologi mereka.
Sayangnya, dunia internasional tampaknya sudah terlalu terbiasa dengan kebiadaban mereka hingga tak lagi melihatnya sebagai masalah mendesak. Ini bukan berarti mereka tidak tahu. Mereka tahu, tetapi mereka menganggapnya sebagai bagian dari “normal baru” yang sudah diterima begitu saja. Sejak sebelum berkuasa hingga setelah berkuasa, HTS tetaplah HTS. Tidak ada perubahan. Tidak ada reformasi. Yang ada hanya propaganda murahan yang mereka jual kepada dunia untuk mendapatkan legitimasi. Dan sayangnya, sebagian dunia mempercayai mereka. Padahal, mereka hanya memoles wajah lama dengan kosmetik baru.
Dalam kondisi seperti ini, kita harus bertanya: apakah HTS dan al-Sharaa benar-benar ingin membangun Suriah yang lebih baik, atau mereka hanya memperpanjang siklus kekerasan yang selama ini telah menjadi ciri khas mereka? Jawabannya sudah jelas. Jika mereka benar-benar ingin perubahan, mereka tidak akan diam ketika kejahatan kemanusiaan terjadi di depan mata mereka sendiri. Jika mereka benar-benar ingin moderasi, mereka tidak akan membiarkan kelompok minoritas dihancurkan tanpa perlawanan. Tapi mereka tidak peduli. Yang mereka pedulikan hanyalah bagaimana mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun, termasuk dengan menumpahkan darah.
Laporan lain juga mengungkap bahwa di wilayah Sarmada, milisi HTS melakukan razia ke rumah-rumah warga yang dianggap tidak setia pada pemerintahan baru mereka. Orang-orang ditangkap tanpa alasan yang jelas, dipenjara tanpa proses hukum, dan beberapa di antaranya dieksekusi secara diam-diam. Bukti-bukti kekejaman mereka semakin banyak, tetapi dunia tetap bungkam. Tidak ada sanksi tegas, tidak ada kecaman serius, hanya sekadar pernyataan normatif tanpa konsekuensi nyata. Ini adalah lampu hijau bagi HTS untuk terus menjalankan terornya.
Ini adalah wajah sejati mereka: wajah kelompok teror yang tidak pernah benar-benar berubah. Mereka mungkin bisa menipu sebagian orang dengan retorika dan propaganda mereka, tetapi fakta di lapangan tidak bisa dibantah. Kekerasan yang terus terjadi adalah bukti paling nyata bahwa mereka masih sama seperti dulu, dan mungkin lebih buruk. Al-Sharaa dan HTS telah kehilangan hak untuk disebut sebagai pemimpin. Mereka bukan pemimpin, mereka adalah algojo. Mereka bukan pemerintahan transisi, mereka adalah rezim teror. Dan selama mereka tetap berkuasa, tidak akan ada yang berubah. Hanya penderitaan yang semakin panjang, dan hanya darah yang terus mengalir.
Dunia mungkin bisa berpaling, tetapi sejarah tidak akan melupakan. Kelompok ini akan dicatat bukan sebagai penyelamat, tetapi sebagai perpanjangan dari rantai kekerasan yang telah menghancurkan Suriah selama bertahun-tahun. Dan bagi mereka yang masih percaya bahwa mereka bisa berubah, mungkin sudah waktunya untuk membuka mata dan melihat kenyataan yang ada di depan kita. HTS dan al-Sharaa tidak pernah berubah. Mereka hanya semakin pintar dalam menyembunyikan kebrutalan mereka. Tapi sebaik apa pun mereka menyembunyikan niat mereka, darah yang mereka tumpahkan akan selalu menjadi saksi bisu atas siapa mereka sebenarnya.
*Sumber: