Opini
Di Balik Diplomasi Trump: Damai, Tekanan, atau Kolonialisme Baru?

“Get our children out of Gaza. You know they are sitting ducks in the crossfire” (Keluarkan anak-anak kami dari Gaza. Anda tahu mereka hanya menjadi sasaran empuk di tengah baku tembak). Kalimat itu tak datang dari seorang aktivis antiperang atau tokoh Hamas. Itu seruan dari para ibu tentara “Israel” yang berunjuk rasa di Tel Aviv. Di tengah kerumunan yang makin gelisah, para perempuan itu memohon kepada Kepala Staf agar anak-anak mereka ditarik dari Gaza. Bukan karena kemenangan sudah di depan mata, tapi karena kematian terasa makin dekat. Perang ini tak lagi bermakna—bahkan bagi sebagian rakyatnya sendiri.
Laporan terbaru dari Israel Hayom menyebutkan bahwa Presiden Donald Trump tengah menekan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menghentikan perang di Gaza. Tekanan itu disebut sudah berlangsung bahkan sebelum serangan terhadap Iran, dan kembali dilanjutkan segera setelahnya. Trump menyatakan bahwa kesepakatan damai sudah “sangat dekat,” sebagaimana dikonfirmasi oleh utusannya untuk Timur Tengah, Steve Witkoff. Tapi seberapa “dekat” sebenarnya kesepakatan itu, dan apakah benar itu akan membawa damai?
Sementara Trump memainkan peran sebagai juru runding, Hamas menyatakan bahwa belum ada tanda-tanda serius dari pemerintah “Israel” untuk mengubah posisi mereka. Tiga syarat yang mereka ajukan—penghentian agresi, gencatan senjata permanen, dan penarikan pasukan dari Gaza—masih belum mendapat respons konkret. Bahkan, menurut media advisor Hamas, para mediator internasional masih “menguji air,” mencari celah dari berbagai pihak tanpa kepastian arah.
Di sisi lain, tekanan tak hanya datang dari luar. Di Tel Aviv, para demonstran mulai memenuhi jalanan, bahkan menyimpang dari rute protes yang disetujui, memaksa polisi turun tangan. Ketegangan internal kian kentara. Kegelisahan menyeruak. Sejumlah besar warga, termasuk tokoh-tokoh oposisi, mulai mempertanyakan arah perang yang tak berujung. Ketika suara publik mulai menyuarakan kata cukup, mungkin ini bukan lagi sekadar pertempuran atas nama keamanan, melainkan sebuah kesesatan kolektif yang sedang diperjuangkan oleh segelintir elite.
Trump, dalam platform Truth Social miliknya, menyebut kasus korupsi Netanyahu sebagai “witch hunt”—perburuan penyihir. Ia bahkan menyerukan pembatalan pengadilan atau pemberian pengampunan kepada Netanyahu yang dia sebut sebagai “Pahlawan Besar.” Di satu sisi, ini bisa dibaca sebagai bentuk dukungan ideologis antar sesama pemimpin konservatif sayap kanan. Namun di sisi lain, ini juga membuka tanya: apakah “perdamaian” yang ditawarkan Trump benar-benar demi Palestina, atau hanya instrumen untuk menyelamatkan sekutu politik?
Kesepakatan yang disebut-sebut telah dicapai, jika benar adanya, justru memperlihatkan wajah baru dari kolonialisme modern. Empat negara Arab—termasuk Mesir dan Uni Emirat Arab—disebut akan mengambil alih pemerintahan Gaza, menggantikan Hamas. Sementara para pemimpin Hamas akan diasingkan, warga Gaza diizinkan mengungsi ke negara lain, dan tahanan dibebaskan. Sebagai gantinya, perluasan Abraham Accords akan membuka pintu normalisasi dengan negara-negara seperti Suriah dan Arab Saudi. Bahkan disebutkan, AS akan mengakui kedaulatan terbatas “Israel” atas wilayah Tepi Barat.
Terlalu banyak kejanggalan dalam paket “damai” semacam itu. Siapa yang diuntungkan dari eksil politik? Siapa yang diuntungkan dari diaspora paksa rakyat Gaza? Bagaimana mungkin rekonsiliasi bisa dibangun di atas penghapusan identitas perlawanan dan penguasaan militer? Bukankah ini bentuk kekerasan struktural yang dikemas sebagai kompromi? Apakah rakyat Palestina yang telah kehilangan rumah, keluarga, dan tanahnya selama lebih dari tujuh dekade, hanya pantas menerima “ganti rugi” berupa keterasingan dan janji-janji tanpa kedaulatan?
Di tengah semua ini, muncul pertanyaan yang lebih dalam: apakah Donald Trump benar-benar juru damai? Atau justru aktor utama dalam desain dominasi baru, dengan kemasan diplomatik yang rapi? Jika perdamaian berarti membungkam suara perlawanan dan menyingkirkan hak kembali para pengungsi, maka itu bukan damai—itu pemaksaan.
Palestina bukan sekadar masalah kemanusiaan, ia adalah masalah keadilan. Satu bangsa terusir, dibom, dan dipaksa hidup di reruntuhan, sementara bangsa lain terus diperluas wilayahnya, dilegalkan dominasinya, dan didukung oleh kekuatan-kekuatan besar dunia. Dalam konfigurasi ini, sulit menyebut bahwa yang sedang terjadi adalah proses perdamaian. Yang lebih tepat mungkin: realokasi konflik demi keuntungan geopolitik.
Rakyat Gaza tidak membutuhkan empat negara Arab untuk mengatur hidup mereka. Mereka membutuhkan hak untuk mengatur nasib mereka sendiri. Mereka tak butuh pengungsian ke negara lain, mereka butuh kembali ke tanah yang telah direbut. Dan mereka tidak butuh “dua negara” yang bersyarat, melainkan keadilan atas sejarah panjang pengusiran dan penindasan.
Apa yang disebut perdamaian ala Trump, jika kita jujur, adalah proyek politik yang sarat kepentingan pribadi dan sekutu. Ini tentang menambahkan babak baru dalam portofolio “Abraham Accords,” memperluas pengaruh AS di kawasan, dan menjaga eksistensi “Israel” sebagai pion utama di Timur Tengah. Jika ada yang dikorbankan, maka itu adalah rakyat Palestina. Sekali lagi.
Mungkin memang ada keinginan dari banyak pihak agar perang segera berakhir. Tidak ada yang ingin melihat anak-anak terkubur di bawah reruntuhan atau tentara mati sia-sia. Tapi penghentian perang yang tak disertai keadilan, hanyalah jeda menuju kekerasan berikutnya. Kita telah melihatnya berkali-kali.
Yang dibutuhkan hari ini bukan diplomasi prematur atau kompromi yang tak adil, tetapi keberanian untuk mengakui siapa pelaku kekerasan, siapa yang terusir, dan siapa yang berhak menentukan masa depannya sendiri. Dunia tak membutuhkan “juru damai” yang bersandar pada tekanan, normalisasi, dan penghapusan identitas. Dunia butuh pemulihan hak, bukan sekadar penghentian tembak-menembak.
Jadi, ketika Trump menyebut dirinya sebagai pembawa damai, barangkali yang patut kita tanyakan bukan apakah ia berhasil menghentikan perang. Tapi: damai untuk siapa? dan dengan harga apa?
Sumber: