Opini
Dermaga Italia, Medan Baru Solidaritas Palestina

Di sebuah dunia yang sibuk menghitung arus barang, waktu kapal, dan nilai kontainer, tiba-tiba muncul sebuah ancaman yang terdengar lebih seperti naskah film distopia ketimbang berita sehari-hari. Seorang buruh pelabuhan Italia, Riccardo Rudina dari serikat USB, menegaskan bahwa jika flotilla solidaritas untuk Gaza hilang kontak walau hanya 20 menit, mereka siap menghentikan seluruh bongkar muat kapal dari Eropa. Kalimat itu mungkin terdengar hiperbolis, tapi justru karena terdengar tak masuk akal, ia memaksa kita berhenti sejenak. Apa yang selama ini tak terbayangkan, tiba-tiba menjadi mungkin: sebuah dermaga berubah menjadi medan perlawanan.
Dermaga biasanya kita bayangkan sebagai tempat singgah kapal, bongkar muat barang, dan lalu lintas ekonomi yang tak pernah tidur. Namun dalam ancaman itu, dermaga pelabuhan Italia menjelma menjadi panggung politik, tempat solidaritas Palestina menemukan bentuk baru. Di sinilah ironi dunia modern tersingkap. Eropa, yang mengklaim diri sebagai penjaga peradaban, hukum, dan hak asasi manusia, justru diguncang oleh suara buruh yang sehari-hari mengoperasikan crane, tali kapal, dan kontainer. Ironis, tapi justru di situ letak kekuatannya: dari pelabuhan yang tampak rutin dan mekanis, muncul politik yang hidup dan penuh keberanian.
Rudina tidak bicara kosong. Ia menyebut angka 13.000 hingga 14.000 kontainer per tahun berangkat dari wilayah itu menuju Israel. Angka teknis yang biasanya hanya ada di laporan perdagangan tiba-tiba berubah menjadi kartu truf politik. Bayangkan: jika arus barang itu dihentikan, bukan hanya Israel yang terganggu, tapi rantai pasok Eropa bisa terguncang. Sering kita menganggap solidaritas Palestina hanya sebatas aksi massa atau pernyataan pejabat, tetapi ancaman buruh Italia ini membuka mata bahwa solidaritas juga bisa berwujud dalam bahasa logistik. Sederhana, konkret, sekaligus strategis.
Dan jangan salah, ini bukan sekadar gertak sambal. Buruh pelabuhan, dengan posisi strategisnya, tahu betul bahwa mereka punya kendali atas simpul vital ekonomi. Dermaga adalah titik di mana globalisasi benar-benar bersandar. Jika dermaga berhenti bekerja, seluruh sistem bisa macet. Kita sering menganggap kerja buruh pelabuhan itu rutin, tapi nyatanya mereka adalah penjaga gerbang ekonomi dunia. Ketika mereka berkata “tidak satu paku pun akan sampai ke Israel,” itu bukan sekadar retorika. Itu adalah kenyataan yang bisa diwujudkan dengan menutup satu pintu saja.
Namun, kita juga tak bisa menutup mata terhadap risiko yang mereka hadapi. Aksi macam ini tentu mengundang reaksi keras, baik dari perusahaan logistik, pemerintah Italia, maupun tekanan internasional. Buruh bisa dianggap melanggar hukum, serikat mereka bisa digugat, dan stigma sebagai “radikal” mudah dilekatkan. Tapi justru di situlah nilai keberanian mereka: mengambil risiko nyata demi sesuatu yang lebih besar. Kita di Indonesia mungkin bisa memahami, betapa sulitnya buruh hanya untuk menuntut kenaikan upah atau perbaikan jam kerja. Apalagi kalau tuntutannya berkaitan dengan isu Palestina, yang dianggap jauh dari urusan dapur sehari-hari.
Di titik ini, dermaga Italia memberi kita sebuah cermin. Kalau di Genoa, buruh bisa menjadikan pelabuhan sebagai arena solidaritas, mengapa tidak di tempat lain? Spanyol, Yunani, Belanda, Turki—semua punya pelabuhan sibuk yang menjadi jalur keluar masuk barang. Bahkan di Indonesia, pelabuhan Tanjung Priok, Belawan, dan Makassar adalah simpul vital ekonomi Asia Tenggara. Tentu kondisi politik dan keberanian serikat berbeda-beda, tetapi dermaga Italia telah memberi preseden: pelabuhan bisa menjadi “medan baru” perjuangan, bukan sekadar ruang logistik.
Bagi rakyat Palestina, ancaman ini bukan sekadar berita. Ia adalah suntikan moral. Flotilla Global Sumud yang berangkat dari Barcelona dan Tunis menuju Gaza membawa misi kemanusiaan, tetapi juga memikul risiko. Kita semua tahu bagaimana flotilla sebelumnya sering diganggu, bahkan diserang zionis di laut. Dengan ancaman buruh Italia ini, seolah muncul tameng baru: jika zionis berani menyentuh flotilla, konsekuensinya bisa meluas ke seluruh Eropa. Solidaritas buruh menjelma menjadi pelindung tak kasat mata yang jauh lebih menggentarkan daripada sekadar kecaman diplomatik.
Saya rasa kita patut merenungkan bagaimana solidaritas ini bekerja. Negara-negara sering kali hanya bisa mengeluarkan pernyataan “keprihatinan,” yang terasa hambar dan hampa. Diplomasi tingkat tinggi berjalan lambat, penuh kompromi, dan sering berujung pada kebuntuan. Tetapi buruh, dengan satu keputusan kolektif, bisa menciptakan dampak nyata yang langsung terasa. Inilah demokrasi akar rumput dalam bentuk paling konkret: orang-orang biasa menolak tunduk, dan dunia terpaksa mendengar.
Ada juga nilai simbolik yang tak kalah penting. Dermaga, dalam imajinasi kita, adalah tempat pertemuan: kapal dari berbagai negeri, barang dari segala penjuru, orang dari latar belakang berbeda. Kini, dermaga Italia menjadi simbol pertemuan solidaritas global untuk Palestina. Dari pelabuhan, sebuah pesan universal dikirim: kemanusiaan tidak bisa diperdagangkan. Barang boleh keluar masuk, tetapi nilai kemanusiaan tidak bisa ditukar dengan keuntungan ekonomi.
Tentu, ada yang skeptis. “Apakah benar buruh bisa menutup seluruh Eropa?” Mereka mungkin melihat ancaman itu berlebihan. Namun sering kali yang lebih penting bukan realisasi teknisnya, melainkan gema moralnya. Ancaman itu ibarat palu yang mengetuk meja rapat dunia: keras, mengejutkan, dan mustahil diabaikan. Sama seperti mogok guru yang membuat masyarakat sadar betapa pentingnya pendidikan, atau mogok sopir yang membuat kota lumpuh, ancaman buruh pelabuhan Italia membuat kita sadar: tanpa mereka, arus globalisasi bisa berhenti seketika.
Saya sendiri merasa, dunia kini semakin absurd. Ribuan anak di Gaza terbunuh, namun yang kita dengar dari para pemimpin dunia hanyalah kalimat klise: “Kami menyerukan de-eskalasi.” Absurditas itu hanya bisa ditandingi dengan absurditas yang lain: buruh mengancam menutup Eropa demi flotilla Gaza. Ketika diplomasi kehilangan makna, justru buruh yang memberi makna baru pada kata solidaritas.
Di akhir, mari kita tarik benang merahnya. Dermaga Italia kini bukan hanya ruang bongkar muat barang, melainkan arena perlawanan yang mengguncang politik global. Buruh Italia telah menunjukkan bahwa solidaritas Palestina tidak berhenti di jalanan, tidak mandek di parlemen, tetapi bisa hidup di dermaga, di tangan-tangan pekerja biasa. Dermaga itu kini menjadi medan baru solidaritas. Pertanyaannya, apakah Israel masih tetap akan menggagalkan Global Sumud meski ancaman buruh Italia menggema hingga ke jantung Eropa?