Opini
Dermaga Gaza: Monumen Absurditas Kemanusiaan AS

Di tepi laut Gaza yang kelabu, di mana ombak memecah dengan nada keluh, berdirilah sebuah dermaga—monumen sementara dari ambisi kemanusiaan Amerika yang penuh paradoks. Operation Neptune Solace, begitu mereka menyebutnya, lahir di bawah bayang-bayang kegagalan diplomasi, ketika Amerika Serikat, tak mampu membujuk Israel membuka jalur darat, memilih mendirikan jembatan apung nan megah untuk mengirim bantuan ke tanah yang kelaparan. Tapi laporan terbaru dari Department of Defense Inspector General, bagai pisau bedah, mengiris lapis demi lapis kegagalan yang disembunyikan: 62 prajurit terluka, satu nyawa melayang, dan ratusan juta dolar menguap untuk dermaga yang hanya hidup 20 hari. Realitas ini bukan sekadar tragis—ia absurd, seperti menawarkan segelas air pada lautan yang haus.
Bayangkan, sebuah dermaga yang dibangun dengan biaya $230 juta, ditambah $31 juta untuk memperbaiki kapal-kapal yang remuk diterjang ombak. Tapi apa yang didapat? Dua puluh juta pon bantuan, jumlah yang menurut kelompok kemanusiaan hanya cukup untuk sehari di Gaza yang terkepung. Dua puluh hari operasi dari tiga bulan, seperti pertunjukan teater yang kehabisan naskah di babak pertama. Laporan itu blak-blakan: Angkatan Darat dan Angkatan Laut AS tak siap, peralatan tak memenuhi standar, dan perencanaan logistik oleh Transportation Command bagai lelucon buruk. Ini bukan sekadar kegagalan teknis; ini adalah potret ketidakseriusan yang diselimuti jargon “kemanusiaan”. Di negeri kita, kalau proyek jembatan di desa saja ambruk karena korupsi, kita ngomel. Tapi ini? Ini level dunia, kawan.
Lalu ada kisah Sersan Quandarius Stanley, prajurit yang terluka parah di atas kapal Angkatan Laut, berjuang lima bulan sebelum akhirnya menyerah pada maut. Enam puluh dua lainnya cedera, beberapa mungkin membawa luka seumur hidup, untuk apa? Untuk sebuah dermaga yang lebih sering jadi penutup berita ketimbang penyelamat nyawa. Ironinya, di Gaza, kematian bukan cuma soal peluru atau bom. Kelaparan merenggut perlahan, seperti pencuri yang tak pernah tertangkap. Laporan itu tak malu-malu menyingkap bahwa bantuan yang dikirim lewat dermaga ini bagai setetes embun di padang pasir—tak cukup, tak berarti, dan terlambat. Kita di sini mungkin tahu rasanya antre beras raskin yang tak kunjung datang; bayangkan itu, tapi dengan nyawa sebagai taruhannya.
Tapi tunggu, cerita ini jadi lebih gelap. Juni 2024, operasi penyelamatan sandera Israel di Nuseirat, Gaza, membawa noda baru. Lebih dari 270 warga sipil tewas, kata otoritas Gaza, saat Israel membebaskan empat sandera. Truk-truk Israel, konon menyamar sebagai kendaraan bantuan, disebut bergerak dari sekitar dermaga AS. Pentagon buru-buru membantah, tapi lumpur sudah tercecer. Organisasi bantuan, seperti Norwegian Refugee Council, mengeluh: dermaga yang seharusnya suci kini dicurigai sebagai panggung militer. World Food Programme sampai menjeda operasinya, takut jadi sasaran. Dermaga kemanusiaan, yang sudah rapuh, kini kehilangan kepercayaan—seperti warung yang ketahuan jualan makanan kadaluarsa, siapa yang mau datang lagi?
Konteksnya makin runyam. Gaza, tanah yang terkunci oleh blokade Israel sejak serangan Hamas 2023, adalah neraka kemanusiaan. Lebih dari 50.000 nyawa melayang, kata laporan internasional, akibat bom, kehancuran infrastruktur, dan kelaparan yang sengaja diciptakan. Organisasi kemanusiaan menuding Israel menghalangi bantuan, sementara AS, sekutu setianya, tampak lebih suka membangun dermaga daripada menekan sekutunya itu. Ini seperti menawarkan plester pada luka yang membutuhkan operasi besar. Di kampung kita, kalau tetangga kelaparan, kita kirim nasi, bukan janji proyek jembatan. Tapi di panggung global, politik selalu lebih keras dari kemanusiaan.
Mari kita ke intinya: dermaga ini tak pernah serius. Biaya fantastis, hasil seadanya, dan kesiapan yang ala kadarnya menunjukkan bahwa ini lebih tentang pertunjukan ketimbang penyelamatan. Laporan Inspector General seperti cermin, memantulkan wajah ketidakmampuan yang disembunyikan di balik retorika heroik. Tapi yang lebih menyakitkan adalah kehilangan kepercayaan. Ketika dermaga dikaitkan dengan operasi militer, ia tak lagi jadi simbol harapan, melainkan sinisme. Warga Gaza, yang sudah kehilangan segalanya, kini harus curiga pada bantuan yang datang. Ini seperti ditawari roti, tapi takut ada racun di dalamnya.
Sindiran terbesar ada pada motif di balik dermaga ini. Organisasi kemanusiaan tak henti menegaskan: jalur darat adalah solusi nyata. Tapi AS, dengan segala kuasanya, memilih jalur yang mahal, rumit, dan akhirnya gagal. Ini seperti menyewa helikopter untuk mengantar sayuran ke desa sebelah, padahal ada jalan raya yang cuma perlu dibuka. Dermaga ini, dengan segala gemerlapnya, terasa seperti manuver politik untuk meredam kritik dunia, sambil menghindari konfrontasi dengan Israel. Di negeri kita, kita tahu betul bagaimana proyek megah kadang cuma untuk foto-foto, bukan untuk rakyat.
Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam: apa artinya kemanusiaan di tengah konflik? Dermaga ini, dengan segala kelemahannya, adalah cerminan dari dunia yang lebih suka berpose ketimbang bertindak. Kita bisa menyalahkan cuaca, logistik, atau kompleksitas konflik, tapi pada akhirnya, kegagalan ini adalah soal prioritas. Gaza kelaparan, dan dunia menonton dengan tangan di saku. Kita, yang mungkin cuma bisa mengeluh di media sosial atau ngobrol di warung kopi, juga bagian dari teater ini—penonton yang tahu endingnya tragis tapi tetap duduk manis.
Jadi, apa yang tersisa dari dermaga itu? Sebuah puing, mungkin, di tepi laut Gaza, ditinggalkan ombak yang tak peduli. Atau mungkin sebuah pelajaran, bahwa kemanusiaan tak bisa dibeli dengan dolar atau dibangun dengan besi tanpa kepercayaan. Kita bisa tersenyum miris, membayangkan betapa absurdnya dunia ini: sebuah dermaga megah, dibangun untuk menyelamatkan, malah jadi monumen kegagalan. Tapi di balik senyum itu, ada kemarahan—pada mereka yang punya kuasa tapi memilih bermain-main, dan pada kita yang terlalu sering diam. Dermaga itu sudah tiada, tapi Gaza masih menjerit. Pertanyaannya, sampai kapan kita cuma jadi penutup telinga?