Opini
Demokrasi Israel di Ujung Tanduk Netanyahu

Sebuah survei terbaru mengungkapkan bahwa 63% warga “Israel” kini meragukan masa depan demokrasi di negara mereka sendiri. Angka ini mungkin mengejutkan bagi mereka yang masih percaya mitos bahwa entitas zionis adalah mercusuar demokrasi di Timur Tengah. Namun bagi yang memperhatikan bagaimana Benjamin Netanyahu mengobrak-abrik sistemnya, ini bukan sekadar gejala, melainkan diagnosis penyakit yang sudah kronis.
Bayangkan sebuah negara yang selama ini menjual citra sebagai demokrasi paling stabil di kawasan, namun kini warganya sendiri tak lagi yakin apakah demokrasi itu masih ada. Netanyahu, dengan senyum khasnya, mungkin akan menyangkal semua ini. Tetapi bagaimana mungkin demokrasi tetap berdiri ketika perdana menterinya memecat kepala Shin Bet seperti menyingkirkan pion catur yang tak lagi berguna?
Kepala Shin Bet, Ronen Bar digulingkan begitu saja. Alasannya? Netanyahu kehilangan kepercayaan padanya. Oh, betapa mulianya alasan itu! Seorang pemimpin keamanan yang berani berpikir sendiri dan menjalankan tugasnya tanpa menjilat kekuasaan tampaknya tak punya tempat di bawah rezim yang kini lebih mirip junta militer ketimbang pemerintahan sipil. Ronen dijadikan kambing hitam demi menutupi kegagalan Netanyahu dalam menghadapi krisis.
Lucunya, pemecatan Ronen disebut-sebut meningkatkan efektivitas negosiasi sandera dengan Hamas. Tentu saja, ini logika khas Netanyahu: semakin sedikit orang kompeten di pemerintahan, semakin sukses kebijakan yang dijalankan. Tidak peduli bahwa kesepakatan dengan Hamas sudah diamankan jauh sebelum Ronen disingkirkan. Yang penting, Netanyahu harus terlihat sebagai penguasa absolut yang tak butuh pendapat siapa pun.
Sementara itu, kepercayaan rakyat pada institusi demokrasi semakin rapuh. Mahkamah Agung hanya dipercaya oleh 44% rakyat, Jaksa Agung 43%, dan pemerintah? Hanya 17%! Ya, Anda tidak salah baca. Netanyahu berhasil menciptakan pemerintahan yang lebih tidak dipercaya dibandingkan iklan penurun berat badan yang menjanjikan tubuh ideal dalam seminggu. Dan seperti biasa, dia akan menganggap angka ini tidak relevan karena baginya, demokrasi hanyalah alat yang bisa dimanipulasi sesuka hati.
Tapi apakah Netanyahu peduli? Tentu tidak. Sebaliknya, ia semakin gila kekuasaan. Setelah mencopot Ronen Bar, kini ia mengincar Jaksa Agung Gali Baharav-Miara. Wanita ini berani menentang Netanyahu, mengatakan bahwa pemecatan kepala Shin Bet tak punya dasar hukum. Jadi, apa solusinya? Singkirkan dia juga! Karena dalam logika Netanyahu, jika hukum menghalangi langkahnya, maka lebih mudah menghapus hukum daripada mengubah kebijakannya.
Di jalanan, protes besar-besaran pecah. Ribuan orang turun ke jalan, meneriakkan, “Kami tak akan menyerah!” Namun Netanyahu punya solusi sederhana: kirim polisi, gunakan meriam air, dan kalau perlu, tangkap beberapa demonstran untuk memberi contoh. Rezim yang katanya demokratis ini kini mulai bertingkah layaknya kediktatoran dunia ketiga yang sering mereka hina. Netanyahu membuktikan bahwa demokrasi bukanlah hak rakyat, melainkan privilese yang bisa dicabut kapan saja.
Namun ada satu hal yang belum disentuh: pemilu. Kapan pemilu akan digelar? Jawabannya: entah. Netanyahu tahu betul bahwa jika pemilu digelar sekarang, dia akan kalah telak. Maka, skenario terbaik adalah terus memperpanjang perang, menciptakan rasa takut, dan meyakinkan publik bahwa perubahan pemerintahan akan membawa kekacauan lebih besar. Selama ada roket yang bisa ditembakkan dan bom yang bisa dijatuhkan, pemilu akan tetap menjadi wacana tanpa realisasi.
Posisi Netanyahu sendiri kini semakin goyah. Tekanan datang tidak hanya dari oposisi, tetapi juga dari internal partainya sendiri. Faksi-faksi yang dulu loyal mulai mempertanyakan kelayakannya untuk terus memimpin. Ketidakstabilan ini membuka peluang bagi para pesaing politiknya untuk mulai bermanuver, menggalang kekuatan untuk menyingkirkannya. Namun selama Netanyahu masih bisa mengendalikan narasi dan menanamkan ketakutan pada rakyat, ia akan terus berkuasa meski dengan legitimasi yang semakin rapuh.
Jika situasi ini terus berlanjut, masa depan “Israel” akan semakin tidak pasti. Krisis internal yang semakin dalam, protes yang semakin keras, dan kebijakan otoriter yang semakin ekstrem bisa membuat entitas ini menuju kehancuran dari dalam. Tidak menutup kemungkinan, perpecahan di dalam negeri justru lebih berbahaya daripada ancaman eksternal yang selama ini digunakan Netanyahu untuk mengalihkan perhatian.
Sementara itu, perang yang digunakan sebagai alat politik Netanyahu juga semakin tidak memiliki arah yang jelas. Upaya brutal di Gaza yang dikutuk sebagai genosida hanya semakin mengisolasi “Israel” di panggung internasional. Dukungan dari sekutu-sekutunya mulai goyah, sementara ekonomi mereka merosot akibat biaya perang yang terus membengkak. Pada akhirnya, taktik Netanyahu untuk terus berperang demi mempertahankan kekuasaan bisa berbalik menjadi bumerang yang menghancurkan rezimnya sendiri.
Jika Netanyahu tetap bertahan, ada kemungkinan besar “Israel” akan menghadapi krisis politik yang lebih parah. Militer bisa mulai terpecah, dengan faksi-faksi di dalamnya saling bersaing untuk mengisi kekosongan kepemimpinan. Partai-partai oposisi bisa semakin radikal dalam upaya menggulingkannya, bahkan dengan cara yang tidak demokratis. Bisa jadi, Netanyahu sendiri akan mengalami nasib seperti diktator lainnya: disingkirkan oleh kekuatan internalnya sendiri yang muak dengan kegagalannya.
Sejarah telah membuktikan bahwa pemimpin yang bertahan terlalu lama dan menolak realitas sering kali berakhir dengan kehancuran. Netanyahu bukan pengecualian. Dengan ekonomi yang terus melemah, tekanan internasional yang semakin besar, dan rakyatnya sendiri yang kehilangan kepercayaan, masa depannya tampak suram. Jika ia terus memaksakan kekuasaannya, mungkin kita tidak hanya akan menyaksikan kejatuhan Netanyahu, tetapi juga awal dari runtuhnya “Israel” sebagai proyek kolonial yang selama ini ditopang oleh propaganda dan penindasan.
Jadi, inilah realitas “demokrasi” ala Netanyahu. Pemimpin yang tidak bisa dipercaya, institusi hukum yang dilemahkan, oposisi yang dibungkam, dan perang yang dijadikan alat untuk memperpanjang kekuasaan. Jika ini masih disebut demokrasi, mungkin kita juga harus mulai menyebut laut sebagai padang pasir. Narasi “Israel sebagai demokrasi Timur Tengah” kini tak lebih dari lelucon yang bahkan para pendukungnya mulai sulit tertawa mendengarnya.
Mungkin suatu hari nanti, rakyat “Israel” akan benar-benar muak dan menyingkirkan Netanyahu, membawa kembali sisa-sisa demokrasi yang telah ia porak-porandakan. Tapi hingga saat itu tiba, kita hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, bagaimana ilusi demokrasi perlahan hancur di tangan seorang pria yang lebih cocok menjadi diktator ketimbang perdana menteri. Sejarah tak akan lupa, dan demokrasi yang mati perlahan ini akan tercatat sebagai warisan terbesar Netanyahu: penghancur demokrasi yang dulu diagungkan dunia.